Pola Komunikasi Eksekutif dan Legislatif dalam RAPBA 2018

oleh

Oleh : Rukiah*

Angaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2018, berdasarkan undang-undang sistem perencanaan semestinya harus disahkan dan ditetapkan oleh Pemerintah Aceh dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Pengesahan RAPBA sunggguh membuat kekhawatiran kita semua karena keterlambatan pengesahan. Masing-masing dari pihak pemerintahan pun mempunyai alasan tersendiri baik eksekutif maupun legislatif. Mereka tidak memusyawarahkan secara cepat mengenai masalah tersebut.

Keputusan tetap berada di tangan pemerintah walaupun rakyat juga berdampak besar terhadap keterlambatan RAPBA, tapi rakyat seolah dibungkam karena hanya bisa menonton dalam permasalahan ini, walaupun eksekutif dan legislatif merupakan wakil dari rakyat banyak.

Ada apa dengan RAPBA tahun ini? Apa yang melatar belakangi molornya keterlambatan RAPBA kali ini?. Siapakah pihak yang bertanggung jawab masalah ini?

Keterlambatan ini juga pernah terjadi pada tahun 2009 sehingga sangat merugikan masyarakat karena menghambat proses pertumbuhan perekonomian di Aceh.

Pengesahan RAPBA seperti drama yang bergulir tak kunjung-kunjung selesai yang pada akhirnya berujung pada pola komunikasi yang buruk, antara eksekutif dan legislatif. Sedangkan masyarakat terus-terusan menerima imbasnya karena permainan drama tersebut, di mana setiap pihak dari mereka menyelipkan kepentinganya masing-masing. Sehingga kita dapat melihat bahwa mereka terkesan tidak serius dalam menangapi permasalahan ini atau tak mau memprioritaskan penyelesaian masalah tersebut.

Kemacetan RAPBA merupakan akibat dari kelalaian dari kedua pihak yaitu eksekutif dan legislatif yang mementingkan kepentingan dari elitnya sendiri atau mendahulukan urusan di luar tupoksi pemerintahan. Sebenarnya dari pihak eksekutif sendiri ada keinginan untuk membangun Aceh namun hal atau cara yang dilakukannya kurang efektif atau kurang elegan. Karena pola komunikasi dari gubernur dapat dikatakan kurang efektif yang dilakukanya di media sosial atau lebih khususnya di facebook.

Banyak hal yang lebih baik pola komunikasinya yaitu bisa mengadakan musyawarah terlebih dahulu dengan jajaranya sebelum memposting ataupun berkomentar di facebook sehingga hal yang dianggap bisa diselesaikan dengan anggotanya, tidak perlu masyarakat tahu permasalah yang sedang terjadi, karena beliaulah orang nomor satu di Aceh, dapat memberikan solusi bukan menambah permasalah dengan cara menyebarkan masalah di publik.

Jika hal tersebut tetap dilakukan di media sosial dengan begitu banyak orang yang menanggapi komentar tersebut, itu bisa berujung kepada perdebatan jika ada yang tidak berkenan di hati pembaca ataupun lawan politiknya. Belum lagi ditambah dengan pengesahan RAPBA yang tak kunjug usai, masyarakat semakin muak dengan lamanya pegesahan tersebut. Bahkan kekecewaan yang mungkin dialami masyarakat karena lamanya pengesahan RAPBA oleh pihak eksekutif dan legislatif.

Alasan masyarakat sangat menginginkan cepatnya pengesahan APBA karena semakin memperlambat proses perekonomian dan pembagunan masyarakat Aceh, karena bergantung pada APBA, jangan sampai hal yang dimainkan oleh segelintir elit politik memberikan dampak yang besar bagi masyarakat Aceh.

Besarnya ketergantungan rakyat Aceh kepada APBA bahwa kinerja pemerintah sangat berpengaruh terhadap perekonomian Aceh, jika kinerja pemeritah baik dalam pengelolaaan anggaran akan besar juga pengaruhnya terhadap meningkatnya perekonomian di Aceh. Oleh karena itu sangat disayangkan jika perbedaan pendapat di antara elit politik yang belum bisa menghilangkan kepentingan pihak eksekutif dan legislatif demi kemashalatan rakyat Aceh. Padahal realita di Tanoh Rencong, masih banyak kaum miskin, dhuafa, dan lain sebagainya.

Dalam pemecahan masalah ini menurut hemat penulis, pihak eksekutif maupun legislatif mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan problematika APBA tahun 2018. Dengan cara membagun pola komunikasi yang bijak di antara lembaga instansi pemerintah tersebut. Karena mereka merupakan representasi dari wakil rakyat yang harus menampung aspirasi rakyat.

Perdebatan hal yang biasa terjadi, mengenai persoalan di pergubkan atau di qanunkan APBA bagi masyarakat banyak atau petani itu tidaklah menjadi masalah, yang penting dana APBA di cairkan. Dalam mempergubkan atau mengqanunkan pasti ada perdebatan, oleh karena itu sudah semestinya membagun komunikasi yang baik. Jika seorang pemerintah yang tidak mau berdiskusi atau musyawarah dengan staf atau jajaranya itu merupakan hal konyol dan bukan mencerminkan pribadi dari seorang pemimpin yang bijak.

Jadi pola komunikasi harus tetap di perbaiki walaupun APBA sudah disahkan. Karena hampir setiap tahun Aceh selalu terlambat dalam penyaluran APBA, maka seharusnya kejadian yang terjadi tahun sebelumya harus menjadi pelajaran dan pengalaman pahit tahun ini harus menjadi renungan bagi pemerintah untuk tahun selanjutnya baik eksekutif maupun legislatif. Agar tidak terjadi kesalahan yang sama dan benih tersebut tidak tersemai benih keributan yang bisa berakibat pada keterlambatan pengesahan APBA kembali pada tahun 2019 mendatang.

Semoga persoalan ini tidak berlarut begitu panjang, eksekutif dan legislatif harus searah dan seide saling bahu membahu dan saling melengkapi di antara kedua belah pihak, tidak bertahan dalam ke egoisanya. Dengan hal tersebut dapat mengubah pandangan masyarakat bahwa politik itu tidak kejam, yang seperti apa yang di perkirakan sebelumnya, tentunya mengubah hal ini harus dengan menampakan pola komunikasi politik baik, yang elegan, dan pro rakyat. Segala sesuatu harus dengan musyawarah dalam menyelsaikanya demi menyelamatkan uang rakyat.

 

*Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala asal Kabupaten Gayo Lues

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.