Oleh : Fathan Muhammad Taufiq *)
Sekilas penampilan petani muda dari Kampung Rawe Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah ini terlihat sangat bersahaja. Tapi ketika ditelisik lebih dalam, sosok ketua kelompok tani Kala Ilang ini, ternyata menyimpan potensi sumberdaya manusia luar biasa yang jarang dimiliki oleh petani lainnya di dataran tinggi Gayo. Supianto, nama petani muda ini adalah sosok yang punya pemikiran dan orientasi usaha tani masa depan yang sangat brilian. Tak hanya berkutat pada aktifitas budidaya bawang merah yang selama ini ia jalani bersama kelompoknya, Iyan, nama panggitan laki-laki kelahiran Takengon 3 Nopember 1990 ini, juga mulai merintis usaha agribisnis untuk mendukung pemasaran produk pertanian yang dihasilkan bersama kelompok taninya.
Tamat dari SMA sekitar 9 tahun yang lalu, sebenarnya Iyan juga ingin menggapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti teman-teman sebayanya. Namun keterbatasan ekonomi orang tuanya, membuat Iyan tidak memaksakan diri untuk bisa duduk di bangku kuliah. Tanpa sungkan, dia langsung memutuskan untuk terjun ke dunia pertanian, seperti yang dijalani oleh kedua orang tuanya selama ini. ‘Sukses tak selalu dimulai dengan jenjang pendidikan’, begitu yang terpfikir dalam benaknya ketika dia memulai aktifitasnya sebagai petani.
Dengan bimbingan penyuluh pertanian yang bertugas di desanya, Iyan mulai usaha tani dengan fokus pada tanaman semusim atau komoditi hortikultura yang memang potensial di desanya. Berbekal modal seadanya, dia mulai menanam berbagai jenis hortikultura seperti cabai, tomat, kol dan bawang merah.Berbeda dengan petani lainnya yang hanya fokus pada usaha pertanian di lahan, Iyan termasuk petani yang ‘haus ilmu’. Meski tidak melalui jalur formal, dia terus mengikuti perkembangan teknologi pertanian baik dari para penyuluh maupun dengan mengakses informasi melalui internet. Ini yang membuat hasil pertaniannya menjadi lebih baik dari petani lainhya, dan ilmu yang didapatkannya ini kemudian dia tularkan kepada anggota kelompok taninya. Kemauannya yang kuat untuk selalu menambah pengetahuan dan pengalamnannya inilah yang kemudian melahirkan pemikiran cerdas dari petani muda berwajah lugu ini.
Terobos Pasar Tangerang
Meski usaha tani yang dia lakukan baik secara individu maupun secara berkelompok cukup berhasil, namun Iyan masih menyimpan keprihatinan akan nasib para petani di daerahnya, termasuk dia sendiri. Selama ini nasib petani ditentukan oleh ‘permainan’ harga oleh pedagang, sehingga hasil pertanian belum sepenuhnya bisa dinikmati petani. Dia menyadari, semua itu akibat masih lemahya ‘bargaining position’ petani dalam tata niaga produk pertanian, karena minimnya kemauan dan kemampuan petani untuk mengakses informasi dari luar.
Ini yang kemudian membuatnya mulai memutar otak agar petani dan kelompok tani memiliki akses pemasaran produk pertanian sendiri. Dengan demikian, ‘provit margin’ yang akan diterima petani menjadi lebih besar dan kehidupan petani akan lebih sejahtera. Media sosial kemudian menjadi salah satu pilihannya untuk mencoba mencari peluang pasar produk pertanian yang dihasilkan oleh kelompoknya maupun yang dihasilkan oleh petani lainnya.
Dari jejaring sosial inilah, kemudian Iyan mendapatkan berbagai informasi tentang peluang pasar bagi produk pertanian dari dataran tinggi Gayo ini. Beruntung dia kemudian berhasil menjalin link dengan salah seorang pelaku agribisnis di Kota Tangerang, Banten. Kepada sang pengusaha, dia mencoba untuk menawarkan produk pertanian yang selama ini dihasilkan oleh para petani di daerahnya. Karena fokus usaha tani yang dilaksanakan olek kelompoknya saat ini adalah komoditi bawang merah, maka produk pertama yang dia tawarkan dalam kerjasama pemasaran ini adalah komoditi tersebut. Sebuah kebetulan mungkin, pada saat bersamaan, nama bawang merah lokal Gayo mulai dikenal masyarakat luar daerah setelah sering dipublikasikan melalui media. Belakangan Kementerian Pertanian juga sudah memberikan pengakuan kepada bawang merah lokal atau yang dikenal dengan nama ‘lasun Gayo’ sebagai varietas unggul nasional.
Tak ingin hanya sekedar coba-coba dengan terobosanya ini, Iyan pun segera mengirimkan sampel produk bawang merah yang dihasilkan kelompok taninya sebanyak 500 kilogram ke Tangerang. Tanpa dinyana, sampel produk yang dikirimkannya itu mendapat sambutan antusias dari konsumen di kota Tangerang dan sekitarnya. Melihat produk yang ditawarkan mendapat sambutan bagus dari konsumen, relasi bisnis Iyan di Tangerang langsung memintanya untuk mengirimkan produk tersebut secara rutin dalam jumlah tertentu. Namun ketika sang relasi memtok angka 10 ton per minggu, Iyan malah jadi kelimpungan sendiri, untuk memenuhi target tersebut cukup berat baginya, karena kalau hanya mengandalkan produksi dari kelompok taninya, tentu tidak akan terpenuhi.
Namun Iyan adalah sosok petani cerdik, peluang bisnis yang sudah didepan mata ini tidaka akan dia sia-siakan, justru ini bisa menjadi peluang untuk membantu petani bawang merah di daerahnya untuk memasarkan produk yang dihasilkannya dengan harga yang wajar. Diapun mulai mencari dan menampung hasil pertanian dari petani atau kelompok tani lainnya untuk memenuhi target yang diminta kliennya itu. Namun meski mengejar target, Iyan tetap komitmen dengan kualitas barang yang akan dia kirim, itulah sebabnya dia hanya mengirimkan produk dengan grade 1 (premium class) dalam kerjasama bisnis yang dirintisnya ini. Alasannya logis, produk premium clas akan lebih mudah dipasarkan dengan harga yang relatif tinggi, dan penyusutan selama pengangkutan juga rendah. Disamping itu, produk berkualitas memiliki daya simpan yang lebih lama sehingga resiko kerusakan atau busuk di gudang bisa diminimalisir dan kerugian bisa dihindarkan.
Memasuki bulan kedua kerjasama pemasaran yang dirintisnya, Iyan memang belum mampu memnuhi target yang diminta oleh relasinya. Setiap minggu dia baru bisa mengirim 2 – 3 ton bawang merah ke Tangerang, dan Alhamdulillah bawang merah asal Gayo ini ‘laris manis’ di kota yang berdampingan dengan ibukota ini.Bahkan menurut informasi yang dia dapatkan dari relasi bisnisnya itu, bawang merah yang dia kirim mampu bersaing dengan bawang merah yang berasal dari Brebes maupun daerah sentra produksi bawang merah lainnya.
Meski target pengiriman bawang merah sesuai permintaan relasinya belum bisa dia penuhi, namun Iyan adalah sosok yang ‘banyak akal’. Untuk menutupi kekurangan kekurangan target tersebut, dia kemudian ‘menyelipkan’ produk pertanian lain seperti kentang dan tomat, yang permintaan pasarnya di Tangerang juga sangat tinggi. Untuk produk kentang, terakhir dia sudah mengirimkan sekitar 20 ton ke pulau Jawa dan Tomat sekitar 4 ton. Karena dia mampu mempertahankan kualitas produk yang dia kirimkan, akhirnya hasil pertanian petani Gayo inipun mulai eksis di beberapa pasar di kota Tangerang, ini yang membuat Iyan makin bersemangat.
Inginkan pola tanam bergilir.
Berkat terobosan yang dilakukan oleh petani muda ini, peluang pasar produk pertanian dari Gayo semakin terbuka, karena sebenarnya daerah ini memang merupakan penghasil produk hortikultura yang kualitasnya sudah diakui secara nasional. Namun kendala yang masih dirasakan Iyan sampai saat ini adalah kontinuitas produksi yang belum stabil. Pada waktu tertentu produksi berlebih bahkan cenderung over product, tapi di waktu lainnya terjadi kelangkaan produk. Ini yang kemudian sering menjadi kendala ketika petani Gayo ingin menjalin kerjasama dalam pemasaran produk pertanian mereka, karena mitra kerjasama selalu mengingingkan pengiriman produk ini ini secara rutin dalam jumlah tertentu.
Untuk itu Iyan sangat berharap ‘campur tangan’ pemerintah daerah untuk mengatur pola tanam bergilir, khususnya pada komoditi hortikultura, sehingga produk tersebut selalu tersedia setiap saat dan kerjasama pemasarannya pun tidak lagi terkendala.
“Dari segi kualitas, produk pertanian Gayo ini boleh dibilang memiliki keunggulan, tapi kebanyakan petani disini masih menganut pola tanam latah, sehingga pada saat panen terjadi over produksi tapi di saat lainnya terjadi kelangkaan, padahal mitra kita di luar daerah meinta kita untuk bisa mengirim produk tersebut secara rutin” ungkapnya “Kalau petani atau kelompok tani disini mau melakukan pola tanam bergilir, kontinuitas produksi akan bisa terjaga dan kita akan selalu dapat memenuhi permintaan mitra kerjasama kita, untuk mewujudkan pola tanam bergilir ini, peran pemerintah daerah sangat kami harapkan” lanjutnya.
Selain peran pemerintah daerah melalui penerbitan regulasi, sosialisasi kepada petani melalui para penyuluh pertanian juga punya peran penting dalam penerapan pola tanam bergilir ini. Disamping itu kemauan petani untuk belajar mengakses informasi dari luar juga sangat berpengaruh terhadap penerapan pola tanam bergilir ini.
“Kalau petani sudah mampu mengakses informasi pasar dari luar, perlahan akan timbul kesadaran tentang pentingnya pola tanam bergilir ini, dan ketika kontinuitas produksi bisa kita pertahankan, maka masalah pemasaran sejatinya bukanlah sutau kendala bagi petani, selain tentunya tetap mempertahankan kualitas produk yang kita hasilkan” sambung Iyan.
Iyan juga menengarai, fluktuasi harga yang terjadi selama ini, utamanya pada produk hortikultura, salah satunya akibat petani di Gayo belum mampu menjaga kontinuitas produksi. Kedepan, dia sudah memasang tekad untuk bisa menjadi pelopor dalam pemasaran produk pertanian di daerahnya, karena selain Tangerang, tawaran kerjasama pemasaran juga sudah mulai berdatangan dari beberapa daerah baik di Sumatera maupun di Jawa.
“Insya Allah, dengan sinergi kita bersama, masalah pemasaran produksi hortikultura yang selama ini menjadi kendala bagi petani, akan bisa kita carikan solusinya” pungkasnya.
Baru dalam hitungan bulan dia menjalin kemitraan dengan relasinya, dia sudah mulai dapat menikmati hasilnya. Selain dari keuntungan bisnis yang dijalaninya, yang membuat petani ‘ndeso’ ini merasa bahagia adalah karena dia juga bisa membantu rekan-rekannya dalam memasarkan produk pertanian yang mereka hasilkan. Kreativitas seperti ini yang semestinya mendapatkan dukungan dan apresiasi dari pemerintah daerah setempat.
*) Pemerhati bidang pertanian dan ketahanan pangan, berdomisili di Takengon, Aceh.