Stigma Masyarakat Pada Gangguan Kejiwaan

oleh
Ilustrasi

Herlis Meira Dewi*

Psikologi merupakan salah satu cabang ilmu yang masih cukup awam bagi masyarakat Indonesia terutama Aceh. Ketika seseorang mendengar kata Psikologi, maka yang akan muncul dibenak mereka adalah orang yang mampu membaca pikiran seseorang, mengetahui kepribadian seseorang dari hal fisik yang tampak atau orang yang akan menangani orang yang mengalami gangguan jiwa

Sebenarnya Psikologi sendiri berkembang dari pemikiran masyarakat Yunani Kuno yang kemudian berubah menjadi salah satu cabang ilmu. Psikologi berasal dari perkataan Yunani ”Psyche” yang artinya jiwa, dan ”Logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Secara etimologi Psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakang nya. Psikologi masuk ke Indonesia pada tahun 1953, dikarenakan kebutuhan yang sudah sangat tinggi akan psikologi terapan yang kemudian bermunculanlah fakultas-fakultas Psikologi di Indonesia.

. Seiring berjalannya waktu, masalah gangguan jiwa pun menjadi persoalan serius kesehatan dunia, dan terus meningkat setiap tahunnya di Indonesia. Aceh merupakan penyumbang daerah yang memiliki pasien ganguan jiwa terbesar di Indonesia. Tercatat sejak tahun 2016, penderita masalah gangguan jiwa mencapai 22.033 kasus. Penderita gangguan jiwa di Aceh sebanyak 4.436 jiwa dan hanya 1.584 jiwa yang dirawat oleh tenaga medis (Data RSJ Banda Aceh).

Budaya dapat mempengaruhi kejiwaan seseorang. Baik itu dari segi pemulihan penyakit gangguan jiwa, juga dapat mengakibatkan gangguan jiwa bertambah parah. Stigma umum penderita masalah ataupun gangguan jiwa pada masyarakat Aceh Tengah disebut dengan sebutan orang gila”. Sebutan tersebut sebenarnya dapat menjadi pemicu psikologis seseorang bertambah buruk.  Semua itu dapat kita lihat dari budaya buruknnya perlakuan bagi penderita. Mereka akan cenderung dikucilkan, tidak dibiarkan melakukan segala aktivitas normal, bahkan diisolasi dari kehidupan sosial (pemasungan).

Sebutan “orang gila” itu sangat buruk dan tidak pantas ketika seseorang mengalami masalah atau gangguan kejiwaan dijuluki orang gila. Menurut ilmu Psikologi, masalah (penyakit) dan gangguan itu berbeda. Masalah adalah sesuatu yang berhubungan dengan fisik serta dapat diobati dengan obat. Sedangkan gangguan adalah hal-hal yang dialami seseorang secara mental yang bisa saja diakibatkan oleh trauma. Undang- undang kesehatan jiwapun tidak menggunakan istilah tersebut. Para profesinal kesehatan mendefinisikan penderita dengan sebutan ODMK dan ODGJ.

Menurut UU Republik Indonesia NO.18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, pertumbuhan, perkembangan, sosial, dan kualitas hidup hingga memiliki resiko mengalami ganggun jiwa. Sedangkan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasikan dalam sekumpulan gejala dan perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. ODGJ lebih pada kecendrungan psikologis yang berhubungan dengan psikopatologi atau neorosis seseorang.

Keluarga memiliki peran yang sangat penting, karena pada dasarnya keluarga manapun akan merasa sedih jika bagian dari keluarga mereka mengalami hal yang tidak semestinya. Tapi pada kenyataannya sebagian masyarakat masih memperlakukan penderita dengan cara yang tidak wajar. Pengetahuan masyarakat dalam penanganan penderita gangguan jiwa yang minim. Keluarga sering tidak mengizinkan penderita untuk ditangani pihak medis. Merasa hal tersebut hanya akan menjadi aib keluarga. Lebih mengaitkannya pada kepercayaan-kepercayaan yang berbau mitos atau makhluk ghaib.

Seharusnya keluarga harus meningkatkan kepekaan mereka dengan melakukan pengobatan secara cepat dan tepat agar gejala yang muncul pada penderita tidak berubah menjadi sesuatu yang lebih parah. Memang bukan berarti penderita akan sembuh total dengan melakukan hal tersebut. Tapi penderita cenderung akan lebih mudah untuk proses pemulihan.

Yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana keluarga tetap memberikan dukungan dan menerima kenyataan. Tidak perlu menghubungkan masalah atau gangguan kejiwaan ke dalam hal-hal yang berbau mistis. Terapi pencegahan yang paling tepat adalah dengan mendekatkan diri pada sang pencipta. Ketenangan rohani yang didapat akan menjadi obat ampuh agar seseorang tidak mengalami kecemasan.

*Herlis Meira Dewi adalah mahasiswi Prodi Psikologi Universitas Syiah Kuala. Beru kelahiran Atang Jungket 12 Mei 1998 ini dapat dihubungi melalui email : herlismeiradewi@gmail.com

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.