[Artikel]
Yandri Syafputra
MELIHAT hingar-bingar musik di media massa, seperti televisi, radio dan internet saat ini, menarik untuk dibahas dan dikritisi. Apalagi dengan menggunakan kalimat “Musik Indonesia”. Majulah musik Indonesia. Kalimat itu seringkali diucapkan oleh para MC/Pembawa acara di media massa. Di depan layar kaca televisi, di radio, dan sebagainya. Dengan penuh semangat dan rasa nasionalisme, kalimat “majulah musik Indonesia” seakan menjadi kalimat wajib yang harus diucapkan oleh sang pembawa acara pada bagian awal dan pada bagian akhir siaran. Hal lain yang tak kalah menarik juga adalah membahas musik etnis/tradisional yang ada di Indonesia saat ini dengan segala bentuk musik dan kreativitasnya. Begitu juga dengan eksistensi kelompok musik/grup band Indonesia sporadis yang seperti jamur. Ada di mana-mana, namun hampir semua mirip bagaikan anak kembar yang berbeda wilayah. Apakah kelompok musik tersebut, nyanyian dengan bahasa Indonesia dan bentuk musik berbalut musik tradisional saat ini, bisa diklaim sebagai musik Indonesia?
Sejarah
Dari zaman orde lama, tepatnya saat pemerintahan presiden Soekarno, pemerintah sangat sensitif terhadap budaya di luar Indonesia, paham komunis, liberal dan kaum aristokrat. Antipati terhadap budaya luar Indonesia tersebut, juga merambah ke dunia musik. Oleh karena itu, pada zaman orde lama, semua musik Barat (Amerika) di bredel dan dilarang beredar di Indonesia untuk menjadi apresiasi masyarakat. Kebijakan yang nasionalis dan tendensius tersebut, membuat seniman musik Indonesia berlomba-lomba untuk menunjukkan eksistensinya. Baik yang muncul secara personal/maupun dalam bentuk kelompok. Akan tetapi, selalu saja muncul pro dan kontra dari kreatvitas seniman pada masa itu. Sejarah telah mencatat dan tidak bisa melupakan, bagaimana sang penyair WS Rendra dicekal dan dijebloskan ke dalam penjara. Belum lagi, penyair Pramoedya yang hilang tak tau rimbanya. Nano Riantiarno dan “Teater Koma” nya yang selalu menjadi ‘ancaman’ bagi pemerintah saat itu. Pada masa ini, kreativitas seniman tidak sebebas dalam era demokrasi saat ini.
Efek kebijakan anti Barat ini dapat dirasakan juga bagi seniman musik. Sebut saja, kelompok musik “Black Brother” yang tidak mendapat tempat di Indonesia saat itu, sehingga kelompok ini harus berkarir di luar negeri tercinta Indonesia, yakni Jerman. Kelompok musik “Koesploes” yang sangat melegenda di Indonesia pun, pernah juga dibredel dan personilnya sempat menikmati pelayanan hotel prodeo, karena dianggap menjadi oposisi bagi pemerintahan saat itu. Hingga akhirnya, sebagian seniman di Indonesia, khususnya musik menjadi seniman yang ‘taat’ kepada pemerintah. Taat terhadap aturan konvensional. Sehingga, hasil karyanya sangat menunjukkan ‘cinta Indonesia’ secara verbal. Kecintaan Indonesia tersebut diungkapkan secara vulgar melalui lirik lagunya, seperti: Nusantara, Indonesia Raya, Padamu Negeri, dan lain sebagainya. Akan tetapi perlu diingat juga, bahwa tetap ada seniman yang tetap menjadi seorang seniman yang militan, independen dengan mengemukakan konsep seni seharusnya, yakni menunjukkan jati dirinya masing-masing dalam karyanya.
Pilihan berkarya pada masa ini hanya dua, pertama: seniman yang ‘taat’ dengan kebijakan anti Barat tersebut dan aman dalam berkreativitas, kedua: seniman yang tetap menyampaikan pesan tentang kebobrokan sistem pemerintahan Negara dengan kata, dengan musik. Seniman dengan tipikal ini, sering berurusan dengan aparat keamanan untuk diinterogasi berjam-jam sebelum pementasan. Kendati kebijakan tentang anti barat menuai pro-kontra yang panjang di Indonesia, tetap saja ini dapat dipandang sebagai usaha mempertahankan lokal genius agar masuk ke dalam ranah masyarakat, agar masyarakat Indonesia mencintai budayanya sendiri. Di satu sisi, usaha ‘heroik’ tersebut memberi efek terhadap mental seniman untuk bermusik saat ini.
Musik Indonesia?
Pertanyaan sederhana patut diajukan, apakah musik yang berkembang saat ini adalah musik yang menunjukkan khas Indonesia?. Benarkah, musik yang diusung oleh anak muda di Indonesia, sudah mencirikan musik Indonesia?, lalu bagaimana juga dengan musik etnis yang sudah terjangkit musik industri/musik pop?. Apakah dengan penggunaan alat musik etnis dan lirik berbahasa daerah, bisa dieksekusi sebagai musik Indonesia?, lalu bagaimana dengan persoalan tentang alat musik etnis Indonesia yang hanya dipandang sebagai komoditas untuk paket wisata? Bukankah masyarakat Indonesia hanya memandang musik dari kulitnya saja, tanpa memperhatikan aspek isinya? Barangkali pepatah lama “don’t judge a book by its cover” (jangan nilai buku dari sampulnya) bisa menjadi jawaban untuk menjawab semua pertanyaan sinis dan ambigu di atas. Tampaknya, adagium kuno tersebut kurang diyakini dan dipahami oleh masyarakat Indonesia seutuhnya menjadi tolak ukur untuk mengklaim musik yang didengarnya.[SY]. Bersambung…
Yandri Syafputra, Alumnus magister musik Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Pengajar di ISBI Aceh. Dapat dihubungi di: yandri.syafputra06@gmail.com.