Oleh : Fathan Muhammad Taufiq *)
PEGAWAI Negeri Sipil atau Aparatur Sipil Negara (ASN) sejatinya adalah abdi Negara dan abdi masyarakat, mereka diangkat, dipekerjakan dan digaji untuk memberikan pelayanan kepada Negara dan masyarakat. Untuk bisa menjadi pelayan yang baik, tentu saja dibutuhkan skill atau pengetahuan dan keterampilan yang memadai, karena tanpa skill yang baik, akan mustahil pula bisa memberikan pelayanan yang baik. Skill bagi seorang ASN bisa didapatkan melalui jenjang pendidikan, tapi juga bisa diperoleh dari pengalaman dan kemauan untuk belajar dan mengembangkan potensi diri.
Faktor pendidikan atau disiplin ilmu, memang merupakan persyaratan penting bagi seorang ASN untuk menjalankan tugas dan fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat, karena dengan pengetahuan yang cukup, seorang ASN tentu akan memiliki skill yang memadai serta mampu menjawab kebutuhan masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Tapi tidak bisa dinafikan, bahwa pengalaman dan kemauan untuk terus mengembangkan potensi diri, juga sangat berpengaruh terhadap skill ASN dalam memberikan pelayanan. Tidak jarang kita dapati, seorang pegawai negeri dengan pendidikan “pas-pasan”, namun mampu memberikan pelayanan terbaiknya karena didukung oleh pengalaman dan kemauan untuk terus meng update pengetahuan sesuai dengan perkembangan zaman. Begitu juga sebaliknya, masih ada juga pegawai negeri dengan pendidikan tinggi, namun belum mampu memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat, karena masih minim pengalaman.
Yang sering menjadi rancu adalah ketika orang hanya mengaitkan skill seorang ASN dengan ijazah atau gelar yang dimilikinya, padahal realita di lapangan, masih sering kita dapati orang-orang yang memegang ijazah atau gelar tertentu tapi tidak memiliki kemampuan sesuai dengan ijazah atau gelar yang dikantonginya,. Semua tergantung bagaimana cara orang tersebut mendapatkan ijazahnya, apakah benar-benar mengikuti semua prosedur akademik, atau memang hanya sekedar “mengejar” ijazah. Contoh kecil, seorang pegawai berijazah sarjana pertanian dan bekerja pada instansi pertanian, tapi ketika seorang petani membutuhkan pelayanan tentang teknis budidaya atau cara pengendalian hama dan penyakit tanaman, pegawai yang bersangkutan tidak mampu memberi pelayanan yang memuaskan kepada petani tersebut. Contoh lainnya, seorang pegawai bergelar sarjana ekonomi, tapi tidak paham dengan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat, tentu saja yang seperti itu tidak bisa di harapkan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Namun regulasi birokrasi yang berlaku sampai dengan saat ini, terkesan masih “mendewakan” ijazah atau gelar. Penempatan seseorang pada sebuah jabatan, masih terpaku kepada tingkat pendidikan yang dibuktikan dengan ijazah atau gelar, bukan berdasarkan skill atau kemampuan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Persyaratan ijazah atau gelar tertentu untuk sebuah jabatan misalya, membuktikan bahwa manajemen ASN yang berlaku saat ini masih terpaku kepada formalitas, bukan lagi berdasarkan kebutuhan pelayanan kepada masyarakat. Indeks kepuasan masyarakat yang masih relatif rendah atas pelayanan ASN kepada mereka, membuktikan bahwa yang dibutuhkan saat ini sejatinya bukanlah ijazah atau gelar, tapi kualitas pelayanan. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya kompetensi dan skill yang memadai, baik yang berijazah dan bergelar pendidikan tinggi maupun mereka yang memiliki skill karena pengalaman mereka dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Mengapa fenomena tersebut bisa terjadi?, jawabannya sangat sederhana, karena saat ini begitu mudahnya seseorang meraih dan mendapatkan ijazah dan gelar kesarjanaan seiring dengan menjamurnya lembaga pendidikan tinggi yang sudah menjangkau seluruh pelosok negeri. Kalau mereka yang benar-benar mengikuti semua rangkaian perkuliahan sesuai standard an kurikulum pendidikan tinggi, tentu kualitas mereka tidak diragukan lagi. Tapi bagi mereka yang hanya “mengejar” ijazah dan gelar dengan tujuan agar bisa meraih jabatan tertentu, apakah ada yang berani menjamin kualitas mereka?, tentu bukan sebuah pertanyaan yang perlu dijawab, tapi cukup dengan dicermati dengan melihat realita di instansi-instansi pemerintah yang nota bene menjadi tempat bertugasnya para ASN, dan masyarakatlah yang bisa menilainya secara obyektif.
Penulis tidak sedang berandai-andai atau ingin menggiring opini publik tentang keberadaan individu-individu ASN saat ini, tapi hanya sekedar mengajak kita semua untuk “membuka mata” terhadap realita keseharian yang sering kita lihat. Sebuah ilustrasi tentang kejadian nyata yang pernah terjadi di sebuah daerah yang tergambar dibawah ini, mungkin bisa jadi referensi bagi para pembaca untuk kemudian bisa memberikan penilaian, begini kisahnya :
Dalam sebuah kesempatan penyerahan secara simbolis kenaikan pangkat pegawai, seorang Kepala Daerah menghimbau kepada seluruh jajaran pegawai negeri sipil dalam lingkungan pemerintah daerahnya untuk terus meningkatkan pendidikan formalnya,
“Kepada saudara-saudara yang saat sudah menerima kenaikan pangkatnya, saya berharap agar saudara terus berupaya untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi, karena bukan tidak mungkin suatu saat saudara akan mendapat kesempatan promosi jabatan, mungkin saudara memang punya pengalaman, skill dan kemampuan, tapi karena klasifikasi pendidikan yang diperlukan tidak dapat saudara penuhi, bisa saja saudara terganjal untuk menduduki jabatan tertentu” begitu kira-kira kata sang Kepala Daerah seperti dilansir oleh beberapa media.
Tidak ada yang salah dari ucapan sang penguasa itu, karena untuk menduduki jabatan structural di jajaran birokrasi, jenjang pendidikan formal memang paling dibutuhkan. Hal itu memang sudah di atur dalam Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 2002, sudah tercantum dalam persyaratan untuk menduduki jabatan struktural disebut dalam point (c) yang bunyinya “Memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan”.
Meski demikian, pernyataan sang kepala daerah tersebut menyiratkan bahwa kemampuan, skill dan pengalaman bukanlah hal yang urgen untuk menempatkan seseorang dalam jabatan, karena formalitas berupa gelar atau ijazah kesarjanaan itulah yang di anggap sebagai persyaratan mutlak. Jadi seorang pegawai negeri yang tidak memiliki gelar kesarjanaan, meski dia punya skill yang memadai serta pengalaman selama bertahun-tahun, sangat kecil kemungkinan untuk di angkat dalam suatu jabatan.
Tidak heran kalo kemudian para aparatur sipil negara itu berlomba untuk memperoleh pengakuan formal dari berbagai lembaga perguruan tinggi, hanya sekedar untuk mendapatkan gelar dan ijazah, soal mutu atau kualitas, akhirnya hanya jadi pertimbangan terakhir, yang penting syarat kulaifikasi pendidikan bisa terpenuhi untuk bisa memperoleh jabatan. Makanya jangan heran kalau ada pemegang gelar Sarjana Akutansi yang tidak mengerti masalah keuangan, ada Sarjana Pertanian yang tidakpaham tentang seluk beluk pertanian, bahkan yang lebih ironis ada Sarjana Pendidikan yang tidak tau tentang apa dan bagaimana pendidikan itu, dan itu memang realita yang sering kita lihat atau kita temui di sekitar kita. Sering kita lihat dalam keseharian, seorang pegawai yang nyaris tidak pernah mengikuti perkuliahan, atau hanya sekali-sekali saja menginjakkan kaki di kampus, tiba-tiba saja sudah menyandang title sarjana S-1 bahkan S-2, dan bermodal gelar itu, mereka bisa “melenggang” menduduki jabatan yang dia inginkan, meski dari segi kualitas masih harus dipertanyakan.
Dan kenyataan di lapangan juga menunjukkan, type sarjana-sarjana seperti itulah yang akhirnya diberi kepercayaan untuk menduduki jabatan.di berbagai instansi, terutama instansi yang ada di daerah, kalau di instansi vertikal yang memang daya kompetensinya sudah cukup tinggi, fenomena ini agak jarang terjadi. Kewenangn yang begitu besar pada daerah sejak diberlakukannya otonomi daerah, semakin memperparah kondisi ini, karena tidak saja pertimbangan kulaifikasi pendidikan yang mengabaikan kualitas, japi faktor politis dan kepentingan pihak-pihak tertentu, seakin memperparah kondisi birokrasi di daerah. Makanya jangan heran kalau kemudian ada seorang Sarjana Pertanian yang menduduki jabatan di Dinas Pekerjaan Umum, ada Sarjana Pendidikan yang jadi Camat, ada Sarjana Sosial yang menjadi pejabat di Instansi Teknis Pertanian dan sebagainya. Pengangkatan pejabat daerah kemudian sering mengabaikan kemampuan teknis dan skill, tapi lebih karena unsur politis dan kepentingan.
Tanpa disadari, akhirnya yang sering hanya dengan pertimbangan politik “balas jasa” atau faktor kedekatan, kemudian jadi bumerang bagi pemerintah daerah sendiri. Banyak program pemerintah yang tidak berjalan sebagaimana mestinya karena memang dikelola oleh orang-orang yang tidak punya kompetensi. Pokoknya, asal punya gelar sarjana, punya kedekatan dan dianggap pernah “berjasa”, maka jalan mulus menuju kursi jabatan sudah menunggu.
Ada yang kemudian terabaikan dari Peraturan Pemerintah itu, yaitu point (e) yang menyebutkan “ memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan”. Kata kompetensi yang berarti memiliki kemampuan, skill, pengalaman yang memadai, seakan tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam mendudukkan seseorang pada suatu jabatan. Tidak mengherankan jika kemudian sering terjadi “miskomunikasi” antara pejabat pusat dengan pejabat daerah, misalnya dalam pertemuan teknis atau rapat koordinasi, pejabat daerah yang memang sebenarnya tidak punya kompetensi, kemudian “tidak nyambung” dengan apa yang di sampaikan oleh pejabat pusat dalam pertemuan atau rapat-rapat tersebut. Blunder semacam ini tentunnya akan sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah pusat untuk mengalokasikan program pembangunan di daerah tersebut, karena akan muncul asumsi kalaupun di alaokasikan ke daerah tersebut, tidak akan optimal hasilnya, karena dikelola oleh orang-orang yang tidak kompeten.
Kebijakan pengangkatan pejabat, utamanya yang terjadi di daerah yang hanya memperhatikan aspek “legal formal” jenjang pendidikan dan mengabaikan aspek kompetensi, sering membuat pegawai-pegawai potensial yang punya pengalaman, kemampuan dan skill akhirnya “terbuang”, hanya karena tidak memiliki ijazah atau gelar kesarjanaan, makanya sering terjadi di berbagai instansi, seorang staf justru lebih pintar dari atasannya. Tapi karena si staf tidak memiliki kewenangan apapaun, semua kemampuan yang dimilkinya seakan mubazir, karena tidak pernah dimanfaatkan pimpinan untuk mengambil sebuah kebijakan.
Memang kalau hanya mengandalkan azas “legal formal”, seorang pegawai tamatan SMA ya pantasnya hanya menduduki jabatan “caraka” yang kerjanya hanya seputar mengetik, mengagendakan surat masuk dan keluar, mengantar surat, dan tugas-tugas “ringan” lainnya. Padahal tidak sedikit pegawai tamatan SMA yang punya pengalaman, memiliki skill bahkan punya kompetensi, tapi akibat terganjal oleh peraturan “legal formal” tersebut, mereka terpaksa harus membuang jauh-jauh untuk di angkat menjadi pejabat, bahkan untk level terendah eselon IV sekalipun. Dan kenyataan di lapangan juga menunjukkan, mereka yang punya kemampuan dan kompetensi itu justru memang tidak “berminat” atau terobsesi untuk menduduki suatu jabatan. Karena rata-rata mereka itu berjiwa idealis, tidak mau menjilat atau cari muka, mereka hanya ingin dihargai dan diapresiasi hanya karena kemampuan mereka, bukan karena selembar ijazah yang mereka miliki, oleh karenanya, banyak diantara mereka yang enggan untuk “mengejar” gelar kesarjaan mereka.
Dan fenomena seperti itu terus berlangsung karena memang seperti sudah di”kondisi”kan, tenaga-tenaga potensial yang sebenarnya telah bekerja secara professional, justru banyak yang tidak “terpakai”. Kompetensi dan profesionalisme pegawai negeri yang sering digembar gemborkan oleh para pejabat pun seakan hanya sebatas slogan yang tidak bermakna apa-apa, karena realitanya, hanya mereka yang punya gelar formal saja yang akan direkomendasikan untuk menduduki jabatan, bukan berdasar kapasitas atau kualitasnya.
Jadi kalau anda adalah pegawai negeri yang hanya punya ijazah SMA atau sederajat, meski anda punya prestasi bagus, punya skill memadai dan punya pengalaman bertahun-tahun dalam pekerjaan, jangan pernah “bermimpi” untuk bisa menduduki suatu jabatan, karena terganjal persyaratan “wajib” yang tidak anda penuhi yaitu gelar kesarjanaan. Dan kalau memang anda punya ambisi atau obsesi menduduki sebuah jabatan, nggak ada cara lain, anda harus bisa memperoleh gelar kesarjanaan, bagaimanapun caranya, karena tanpa itu, prestasi sebaik apapun yang anda tunjukkan, tidak bakal “dilirik” oleh atasan anda. Bukan sebuah pesisimisme, tapi itulah realita kekinian yang terjadi dalam dunia birokrasi kita.[]
*Penulis tetap di LintasGayo.co, tinggal di Takengon