Perempuan Urat Nadi Kehidupan, Selamat Hari Kartini Perempuan Gayo

oleh

Catatan : Diana Syahputri*

Diana SyahputriPerempuan adalah tiang Negara, tanpa perempuan niscaya Negara tersebut akan kehilangan generasi. Pernah mendengar ungkapan diatas? Sekilas ungkapan tersebut terkesan seakan perempuan hanya diciptakan untuk melahirkan anak demi melanjutkan keturunan saja, namun pada dasarnya perempuan adalah detak jantung sekaligus urat nadi dalam hidup, tak hanya sebagai penerus generasi namun juga pemeran utama dalam terlaksananya siklus rantai kehidupan.

Tak terkecuali perempuan didataran tinggi Gayo. Setiap pagi hari, suhu dingin yang mampu menggetarkan tubuh hingga mengembun uap dari bibir tidak menyulutkan semangat para perempuan-perempuan perkasa ini untuk bergerak, menjalankan tugas multifungsi. Menyelesaikan kewajiban sebagai ibu rumah tangga sekaligus mengambil alih pekerjaan suami sebagai kepala rumah tangga ketika sang suami bahkan belum terjaga dari tidurnya.

Memasak, mencuci hingga beres-beres rumah merupakan pekerjaan biasa bagi seorang perempuan namun ketika tangan-tangan lembut dan cekatan ini berubah melakukan pekerjaan buruh kasar, yang biasa dilakukan seorang laki-laki seperti memetik buah kopi, membersihkan gulma disela-sela tanaman kopi hingga menggendong sebuah tangki alat semprot tanaman yang berisi puluhan liter air beserta campuran pupuk dan zat-zat kimia lain dilakukan seorang perempuan, mereka layak disebut perempuan-perempuan luar biasa. Dan hal ini bukanlah suatu pemandangan yang mengharankan, pemandangan seperti ini sering terlihat dikawasan perkebunan kopi di Gayo.

Selain berkerja membantu suami dikebun milik pribadi, banyak perempuan yang juga menjual jasanya untuk berkerja perkebunan milik orang lain, menukar tenaga mereka dengan pundi-pundi rupiah untuk melakukan aneka pekerjaan mulai dari merawat tanaman hingga memanen, yang dalam bahasa Gayo sering disebut dengan “mangan ongkosen”.

Perempuan-perempuan luar biasa ini memilih menjadi seorang buruh kasar bukan karena tanpa alasan, hal ini dilakukan semata-mata untuk mengepulkan asap didapur rumah-rumah mereka. Walaupun pendapatan dari melakukan pekerjaan ini tidaklah sesuai dengan hasil penjualan komoditas kopi yang telah diekspor hingga keluar negeri bahkan mendapat akreditas nilai best of the best dimata dunia dunia. Bayangkan saja, dalam satu takaran kaleng biji kopi merah (isi sepuluh bambu) yang bisa menghasilkan berpuluh-puluh gelas espresso kualitas dewa hanya dihargai dua puluh ribu rupiah, sedangkan dalam ukuran satu gelas mini espresso dihargai bahkan hingga dua puluh sampai tiga puluh ribu rupiah pergelasnya. Dan, mungkin hanya beberapa dari perempuan-perempuan ini yang pernah mencicipi nikmatnya segelas espresso hasil petikan biji-biji kopi yang mereka kumpulkan butir demi butir setiap harinya, atau mungkin bahkan tidak ada perempuan mangan ongkosen yang pernah mencgecap rasanya sama sekali.

Setelah melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar diperkebunan, para ibu-ibu ini masih harus menjalankan kewajiban sebagai guru sekaligus madrasah bagi anak-anaknya menjelang malam hari dikediaman mereka. Mulai dari membantu mengerjakan perkerjaan rumah sang anak atau sekedar mengulang dan mempersiapkan keperluan sekolah buah hati keesokan harinya. Padahal sebenarnya mereka amat sangat letih dan ingin segera beristirahat, namun sekali lagi kewajiban perempuan-perempuan ini belum berhenti walau malam telah larut.

Bisa jadi saat inipun mereka mungkin tidak ingat bahwa hari ini pahlawan revolusi kaum hawa pernah dilahirkan dan beliau pernah memperjuangkan hak-hak kesetaraan perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak, sama seperti kaum laki-laki. hingga ketika anak-anak mereka telah pulang dari sekolah dan ikut menemani mereka ketika memburuh dikebun, anak-anak lugu itu dengan semangat menyanyikan sebuah lagu yang diajarkan oleh guru-guru disekolah dalam bait-bait awal yang berbunyi “Ibu kita Kartini… putri sejati, putri Indonesia, harum namanya”, tetap saja mereka merasa Kartini hanya tinggal nama. Bukan salah Kartini mengapa mereka berakhir menjadi seorang buruh diperkebunan, namun kembali faktor ekonomi harus dijadikan alasan untuk tidak mengikuti jejak Kartini hingga saat ini.

Namun pilihan pasrah pada pekerjaan itu bukan tidak memiliki power dibaliknya. Sebuah kekuatan akan lahir pada orang-orang yang memiliki keyakinan, dan para perempuan-perempuan Gayo ini yakin kelak putra-putri mereka bisa melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, menjadi orang yang berguna atau sekurang-kurangnya jikapun segala harapan tersebut tak tercapai, mereka ingin agar generasi yang telah dilahirkan memiliki kehidupan yang lebih baik. Demi menjaga tunas-tunas penyemangat agar tetap hidup didalam hati mereka tersebut, pekerjaan kasar yang ditekuni seolah berubah menjadi pekerjaan lembut, selembut mengayak tepung, ringan dan bersih.

Pun ketika terkadang para Kartini-Kartini muda nya mengeluh karena kelelahan dalam menuntut ilmu, sang ibu selalu menyemangati dengan ucapan khasnya, “Belajarlah yang rajin nak supaya engkau pandai dan bisa meraih cita-citamu, sehingga kelak kau takkan hidup susah seperti kami saat ini”.

Hari ini, ketika Kartini telah lahir hingga menutup usia puluhan tahun silam, Kartini-Kartini Gayo sedang dalam usaha membesarkan generasi yang diharapkan kelak mampu melanjutkan mimpi-mimpi Kartini yang belum terwujud. Hari ini perempuan-perempuan Gayo merupakan pahlawan, sama halnya seperti Kartini yang telah menjadi pahlawan bagi perempuan Indonesia. Ketika para laki-laki terutama para bapak-bapak, jika anda sedang membaca catatan ini, besar harapan penulis agar ketika anda bertemu perempuan-perempuan pulang dari “mangan ongkosen”, ibu-ibu pulang dari kantor, mamak-mamak kembali dari berjualan, jangan pandang sebelah mata dan menilai rendah perjuangan mereka. Karena pada bahu dan tangan merekalah kasih sayang Allah diturunkan untuk merawat, mengasuh, mendidik insan-insan muda penerus bangsa. Katakanlah pada mereka “Semoga Kartini-Kartini muda yang sedang engkau besarkan kelak bisa menjadi pahlawan bagi dirimu Serta pahlawan bagi negara.”

Selamat hari Kartini para perempuan Gayo, selamat hari Kartini bagi seluruh perempuan di Indonesia.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.