“Pane” atau “Pane-pane” ?

oleh
(Foto: Supri Ariu bersama siswi SDLB Mutiara Gayo Lues | Ist)

Oleh: Supri Ariu*

(Foto: Supri Ariu bersama siswi SDLB Mutiara Gayo Lues | Ist)
(Foto: Supri Ariu bersama siswi SDLB Mutiara Gayo Lues | Ist)

KETIKA waktu kecil kita sering diminta menjadi seorang yang pane (Pandai, Gayo: red) baik oleh orangtua ataupun guru di sekolah. Kita dituntut untuk pane dalam memahami segala bentuk pembelajaran baik teori maupun praktik.Memasuki masa dewasa atau ketika duduk di bangku perkuliahan, oleh orangtua kita malah dituntut untuk menjadi orang yang pane-pane (Pandai-pandai, Gayo: red).

Jadi, sebenarnya apa perbedaan antara “pane” atau “pane-pane” ini?

Bukankah ini hanya masalah pengulangan kata? Jika dibaca sekilas pane atau pane-pane bukanlah hal yang menarik untuk dibahas apa lagi untuk membandingkan keduanya. Namun jika ditelisik lagi, ternyata kata antara pane dengan pane-pane memiliki makna atau maksud yang jauh berbeda.

Para orang tua kita (di Gayo) jauh-jauh hari sudah memiliki maksud yang berbeda atas kedua kata ini. Jika kita pada saat sekolah dulu, memang benar, kita dituntut pane dalam hal mata pelajaran misalnya dalam hal fisika, ekstrakulikuler, biologi, sastra, dan lain-lain.

Namun memasuki masa dewasa, saat kita mulai merantau baik untuk mencari kerja atau melanjutkan studi, orangtua kita lebih memaksa kita untuk pane-pane dalam segala hal. Pane-pane dalam hal mencari ilmu, pane-pane bergaul, pane-pane menjaga diri atau pane-pane yang lebih banyak lagi.

Bagi penulis sendiri pane-pane merupakan rumus yang baik dalam hal mencapai tujuan. Tentu seperti yang disebutkan di atas, kita dalam masa menjadi mahasiswa mesti pane-pane dalam segala hal dan dalam kondisi apapun.

Pane-pane ini berlaku untuk segala aktivitas, baik di lingkungan perkuliahan, pergaulan atau kegiatan sosial. Pane-pane menjadi kunci untuk mencapai jawaban yang maksimal.

Jika seandainya kita dihadapkan dengan permasalahan kuliah, kita mesti pane-pane dalammencari teman belajar, pane-pane melakukan pendekatan dengan dosen dan lain-lain.

Sedangkan jika dalam hal kegiatan sosial, tentu kita mesti pane-pane menjaga perasaan orang lain, pane-pane menjaga karakter, pane-pane dalam memutuskan sebuah keputusan.

Jika awalnya penulis menganggap kata pane dengan pane-pane ini bukanlah hal yang menarik untuk dibahas, ternyata salah. Untuk pengembangan diri, belajar menjadi dewasa atau dalam upaya mematangkan diri kata pane-pane sepertinya lebih tepat.

Tanpa sadar kita sering menghiraukan hal yang terlihat sepele ternyata memiliki makna yang penting untuk kehidupan mendatang. Mudah-mudahan kita sebagai kaula muda Gayo mampu mengartikan dan memahami kata pane-pane ini sebenarnya.

Bukan maksud untuk menggurui, penulis merasa kita sebagai makhluk sosial sudah sepantasnya untuk saling mengingatkan, menasehati dan mendukung ke arah yang baik.

Mudah-mudahan rumusan pane-pane ini akan membawa kita kepada tempat yang benar dan baik serta menempa kita untuk memiliki karakter yang membanggakan bagi orang tua kita dan orang lain. Amiin.

#Penulis adalah wartawan LintasGayo.co sekaligus alumni Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh angkatan II tahun 2014 (HPT) angktan 2013.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.