Takèngën Perlu Pusat Informasi Wisata

oleh
Turis Peranci di Loyang Mendale Takengon. (LGco_Kha@Zaghlul)

Catatan Win Wan Nur*

Win Wan Nur (palimg kiri)
Win Wan Nur (palimg kiri)

SEMUA orang Gayo tahu, kalau Takèngën secara khusus dan Gayo secara umum memiliki banyak potensi wisata yang kalau digarap dengan serius bisa menghasilkan devisa yang lumayan. Di zaman media sosial ini, kita dengan mudah menemukan foto-foto keindahan tanah Gayo.

Tapi sayangnya potensi yang sangat besar itu sampai sejauh ini hanya tetap menjadi potensi tanpa pernah bisa tergarap dengan optimal untuk menghasilkan devisa yang besar. Mengapa Aceh Tengah yang memiliki potensi wisata sedemikian besar tidak didatangi oleh banyak wisatawan?

Patut diduga kalau itu terjadi karena kita tidak paham apa yang harus kita lakukan dalam menggarap pariwisata ini.

Memang benar, tak bisa dipungkiri ada banyak sekali tempat yang indah di Gayo dan banyak orang dari kabupaten-kabupaten tetangga, dari luar provinsi, bahkan luar Indonesia yang mau berkorban dengan segala keterbatasan moda transportasi, datang ke Gayo untuk menikmati segala potensi wisata yang ada.

Tapi sayangnya, ketika sampai di Gayo, rata-rata wisatawan itu tidak tahu harus kemana. Benar ada danau yang indah, ada perkebunan kopi yang terkenal, ada perkebunan nanas, hutan yang masih asri, air terjun,arung jeram dan lain-lain. Tapi bagaimana cara mengaksesnya?. Tak ada yang tahu.

Kira-kira sebulan yang lalu saya berkunjung ke Malang, meski tentu saja bukan pertama kalinya saya ke Malang. Tapi hari itu ada satu hal yang menarik perhatian saya, yaitu adanya di tengah kota. Kelihatannya itu milik pemerintah (pastinya saya tidak tahu karena saya hanya melintas di depannya, tidak mampir).  Jadi saya tidak benar-benar tahu informasi apa saja yang disediakan di sana.

Tapi berkaca pada Tourist Information Centre di daerah-daerah yang sudah maju pariwisatanya, seperti Bali dan Bangkok misalnya. Pusat Informasi Wisata seperti ini menyediakan segala informasi tentang layanan wisata apa saja yang bisa dinikmati di daerah itu. Di Bali dan di Bangkok, di Pusat Informasi Wisata itu kita bisa menemukan informasi di mana hotel tempat menginap dengan berbagai kategori sesuai dengan kondisi kantong. Ada informasi tentang arung jeram, bagaimana cara mengaksesnya, ada informasi tentang bagaimana cara menikmati kunjungan ke Tanah Lot, ke Bedugul dan sebagainya.

Di Bali, Tourist Information Centre ini dikelola oleh swasta. Di sini ketika ada wisatawan yang ingin menikmati pelayanan wisata, petugas di Tourist Information Centre ini akan mengatur semuanya. Sebab mereka sudah bekerja sama dengan operator tur, perusahaan arung jeram, perusahaan penyelaman, perusahaan transportasi dan lain sebagainya. Dari sana nanti mereka akan mendapatkan fee.

Mari kita bandingkan dengan Takèngën, bayangkan ada seorang wisatawan dari Jakarta datang berkunjung dan ingin ke Ceruk Mendale. Bagaimana caranya?. Dia tidak tahu, kemudian mungkin mencoba menanyakan kepada orang di jalan, tapi belum tentu tahu. Terus dia ingin ke Loyang Koro, ingin ke kebun nenas, ingin mencicipi Kopi, ingin memetik kopi di kebun, ingin bersepeda, bagaimana caranya?. Dia tidak tahu, dan juga tidak tahu harus bertanya kemana.

Tapi bayangkan kalau ada pusat informasi pariwisata. Petugas di tempat itu bisa langsung mengarahkan ke Mendale, ke sana naik becak, sekian harganya semua jelas. Bahkan kalau mau lebih maju, pemerintah bisa membina beberapa tukang becak yang teregistrasi untuk mengantarkan ke tujuan yang dimaksud.

Begitu juga kalau dia ingin mencicipi kopi Gayo yang terkenal itu langsung di tempat produksinya,  pusat informasi menyediakan segala informasi tentang itu. Mana saja tempat roasting kopi, Aroma Coffee, Haji Rasyid, Wine Coffee Sabirin dan sebagainya. Bagaimana cara mengaksesnya, semua ada di pusat informasi dan bagaimana untuk ke sana, semua jelas.

Karena aksi seperti ini belum memiliki nilai ekonomi. Maka untuk Takèngën, mau tidak mau pada tahap awal ini, pemerintahlah yang harus mengambil peran. Daripada menghamburkan uang APBK untuk kebijakan yang tak tentu arah. Jelas lebih baik kalau dinas pariwisata Aceh Tengah sedikit memberi perhatian pada masalah ini.

Inventarisir segala informasi tentang objek pariwisata unggulan, letaknya di mana, bagaimana cara mengaksesnya, ada berapa hotel dan berapa kapasitasnya dan berapa biayanya, semua dikumpulkan dan dipublikasikan melalui pusat informasi wisata.

Untuk lebih efektif, daripada mengeluarkan uang secara khusus untuk membangun gedung pusat informasi. Dinas bisa bekerjasama dengan warung-warung Kopi seperti WRB Coffee misalnya. Jadikan warung itu sebagai pusat informasi wisata dan berikan sedikit insentif. Jadi tidak harus ada satu pegawai yang ditugaskan khusus menjaga tempat itu.

Kalau ini mau dilakukan oleh pemerintah Aceh Tengah, Insya Allah dalam waktu tidak berapa lama, kita akan melihat ada gerak maju yang positif dalam perkembangan pariwisata di daerah kita.[]

*Pemerhati wisata

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.