Menghadirkan “Syurga”

oleh

(Harapan dan Tantangan Keluarga Muslim)

Oleh: Hasan Basri, S.Ag*

Harapan
Baiti Jannati,
 rumahku adalah surgaku (Al Hadits) merupakan ungkapan sekaligus potret dari keluarga yang dibangun dan dinahodai oleh Nabi kita Muhammad, Rasulullah SAW. Kata “jannat” yang disebut dalam Al Qur’an terkadang diterjemahkan dengan makna “syurga” dan “kebun”. Syurga atau kebun yang disebut dalam Al Qur’an merupakan gambaran dari suatu suasana atau tempat yang dipenuhi dengan keindahan, kebahagian, keteduhan, kesejukan dan ketenangan serta kenyamanan, terlebih bila situasi ini disuguhkan bagi masyarakat Arab yang hidup di wilayah gurun pasir yang tandus dan gersang. Siapapun yang menjadi penghuni “jannat” dipastikan tidak akan merasakan kebisingan, kericuhan dan  kegaduhan di dalamnya.  Gambaran tentang suasana keindahan, kebahagiaan, ketenangan, kenyamanan, kesejukan, keteduhan yang dideskripsikan dan dinarasikan sebagai “jannat” tentu “memungkinkan” untuk dihadirkan dalam ranah kehidupan keluarga muslim.

Upaya kepala keluarga untuk mewujudkan suasana “jannat” (surgawi) dalam keluarga yang dipimpinnya, tentu harus didasari dengan kemauan serta komitmen, tidak hanya dari kepala keluarga tetapi juga dari masing-masing elemen keluarga itusendiri. Kerja sama dan komunikasi intensif dengan istri sebagai orang yang paling akrab dengan anak menjadi sesuatu yang niscaya. Kerja sama seluruh anggota keluarga, komunikasi yang seimbang, toleransi menjadi prasyarat mulusnya “jalan” perwujudan suasana “surgawi”. Terwujudnya suasana “surgawi” dalam ranah kehidupan keluarga, dapat dijadikan standar atau barometer dari “keluarga sakinah”.

Potret keluarga sakinahlah yang “mampu” menghadirkan ketenangan, kenyamanan, kemananan, kebahagiaan juga susana keteduhan dalam tatanan kehidupan keluarganya, mampu menghadirkan suasana dialogis dan komunikasi yang dilandasi dengan “harmonisasi” serta “toleransi” antara masing-masing anggota kelurga, mampu menjamin terpeliharanya ruang privasi yang profesional dan berimbang diantara seluruh anggota keluarganya. Rasa cinta yang hadir di lingkungan keluarga sakinah bukanlah cinta pragmatis dan hedonis, tetapi cinta yang lahir berdasarkan spiritualitas keagamaan.

Keluarga sakinah merupakan sebuah keluarga yang jernih yang diwarnai dengan kehangatan hubungan dengan Allah SWT, serta kelembutan interaksi antar penghuni keluarga. Sehingga di dalam keluarga itu tidak pernah terdengar perkataan kasar dan kotor, di dalamnya penuh dengan “mata air” nasehat, “tahta-tahta” ketakwaan yang ditinggikan, “gelas-gelas” dan “bantal-bantal” kenyamanan yang tersusun serta “permadani-permadani” kebahagiaan yang terhampar. Siapapun yang mampu membangun keluarga seperti yang dideskripsikan ini, artinya telah mampu mengahdirkan suasana “surga” dalam kehidupan di dunia ini (Muhammad Albani: Bila Pernikahan Tidak Seindah Impian, 2007)

Tantangan
Komitmen untuk menghadirkan susana surgawi  pada keluarga tenyata sangat sulit, dikarenakan banyaknya tantangan, rintangan, kesulitan serta kendala yang tidak memungkinkan untuk dihindari, sehingga terkadang sebagian harus “pasrah” dan “menyerah kalah” ketika menghadapi tantangan serta kesulitan tersebut. Selaku muslim kita menyadari bahwa sebagian tantangan dan hambatan “sengaja” diciptakan oleh pihak “tertentu”, terutama mereka yang tidak mengharapkan terwujudnya keluarga muslim dengan suasana “surgawi” (keluarga sakinah) di tengah-tengah komunitas umat Islam.

Pola kehidupan sekulertik dengan implikasi nilai pragmatis, hedonstistik, indivualistik serta materialistik menjadi bagian dari tantangan “tersulit” bagi upaya perwujudan “baiti jannati” (rumahku adalah surgaku) di tengah-tengah keluarga komunitas muslim. Modernisme merupakan suatu “ideology” yang paling bertanggung jawab terhadap penyebaran “virus-virus”  yang menghancurkan sel-sel serta sendi-sendi keluarga muslim. Secara jujur kita harus mengakui bahwa modernitas telah banyak membantu dan mempermudah urusan manusia dan keluarga,  menunjang pencapaian target kesuksesan, mempermudah pola interaksi dan komunikasi, namun disisi lain modernitas juga hadir dengan wajah “keburukan” yang terselubung dan tersembunyi dibalik topeng “kepalsuannya”.

Terbukti dengan keberhasilan imitasi modernitas mendekonstruksi dan mengikis nilai-nilai spritualitas dan moralitas serta tradisi yang telah dipegang teguh dalam kehidupan keluarga muslim selama ini. Modernitas telah hadir dengan “tawaran” sekulerisme, pragmatisme serta nihilismenya, ideologi ini telah berhasil menjauhkan keluarga muslim   dari ajaran moral, etika agama, tradisi dan budaya beradab yang telah diwariskan secara turun temurun dari generasi terdahulunya. Menjadikan pola kehidupan komunitas barat yang cenderung “hedonistik” sebagai acuan dan refrensi.

Kecenderungan para remaja untuk meniru budaya kehidupan sekulerstik, telah melahirkan sikap dan perilaku individualistik dalam ranah keluarga, perilaku negative yang menjadi cikal bakal lahirnya sikap egois dan apatis antara sesama anggota keluarga, sikap egois dan apatis akan mempersempit ruang toleransi dan kepedulian dalam keluarga. Individualistik dan egois menjadi sebab terputusnya komunikasi “intensif”, konstruktif, menjadi pembenar terhadap ruang privasi yang berlebihan.

Upaya untuk merealisisikan “relegiusitas” dan “spritualitas” sebagai prasyarat terwujudnya nuansa surgawi dalam keluarga justru terganggu, bersamaan dengan hadirnya tayangan yang “menarik” dari media, terutama media televisi. Beragamnya jenis tayangan yang disiarkan dengan kemasan yang menarik oleh media televisi berakibat terhadap menyempitnya “ruang” komunikatif dan interaktif antara anggota keluarga.

Kehadiran media televisi  pada lingkungan keluarga, yang diharapkan dapat mendukung proses edukasi, ternyata sulit untuk diwujudkan. Media televisi  justru lebih banyak menghadirkan tayangan-tayangan yang secara perlahan-lahan akan menjauhkan anggota keluarga muslim dari etika dan moral serta akhlaq, mengeraskan hati, melemahkan pikiran, hal ini diperparah dengan masih “digemarinya” jenis tayangan yang justru menggiring penontonnya agar berperilaku konsumtif, glamour, dan ajakan kebebasan dalam pergaulan.

Televisi mendorong penontonnya (terutama anak-anak) menjadi malas, sehingga hanya menghabiskan waktunya untuk “menikmati” seluruh adengan-adengan “kepalsuan” yang pada ahirnya menjadikannya sebagai bagian dari anggota keluarga muslim yang akan “berkiblat” pada televisi. Demikian itulah televisi, anak-anak sebagai bagian dari anggota keluarga telah terjebak dalam perangkap operator dan sponsor, dan hampir mustahil dapat menyelematkan diri darinya. Cobalah cermati, pilihan konten, waktu, cara penayangan, dan iklan sponsornya, sama sekali tidak mempertimbangkan ekses psikologis dan perkembangan jiwa anak. Semua acara bahkan berita sekalipun dikemas sedemikian rupa, sehingga menjadi sangat menarik tetapi sekaligus membahayakan anak-anak (Masruri: Negative Learning, 2011)

Kita tidak mungkin berharap terlalu banyak terhadap lingkungan sosial, untuk “membantu”  hadirnya “suasana surgawi” dalam lingkungan keluarga muslim. Disatu sisi kita tidak mungkin mengisolasi dan menutup diri dari interaksi sosial (tidak bergaul), interaksi dan komunikasi dengan lingkungan sangat urgen untuk diperhatikan, namun disisi lain kita justru sangat khawatir terhadap “resiko” yang harus kita tanggung akibat terlalu opensif terhadap lingkungan.

Dekadensi moral di kalangan anak-anak dan remaja muslim, goyahnya hubungan suami dengan isteri, hilangnya loyalitas dan kepatuhan anak terhadap orang tua adalah bagian dari akibat yang harus dirasakan oleh keluarga muslim, akibat terlalu membuka diri terhadap “lingkungan”. Kita menyadari bahwa lingkungan, merupakan tempat komunitas sosial membangun komunikasi, melakukan interaksi. Bila komunikasi dalam lingkungan telah “sakit”, otomatis akan menularkan “penyakitnya” terhadap siapapun berada di dalam atau yang mendekatinya.

Ditengah kesulitan yang kita hadapi, optimisme diiringi dengan upaya maksimal untuk menghadirkan nuansa surga “jannat” dalam lingkungan keluarga muslim adalah suatu keniscayaan dan keharusan. Susana “surga” ini diharapkan mampu mewarnai lingkungan dan struktur sosial kita. Kehadiran keluarga dengan suasana “surga” di tengah-tengah komunitas masyarakat, dipastikan akan menciptakan suasana ketenangan, keamanan, kenyamanan serta ketenteraman, menghadirkan komunikasi dan interaksi yang dilandasi semangat harmonisasi, toleransi serta konstruktif. (Wallahu a’lamu bis shawab)

*Kepala KUA Kecamatan Celala Kab. Aceh Tengah

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.