Oleh: Ahmad Dardiri (Kepala MAS Al Huda Jagong di Yayasan Ponpes Al Huda NU Aceh Tengah)
Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali menyisakan duka mendalam. Data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat korban meninggal dunia telah mencapai lebih dari seribu jiwa, dengan ratusan orang dinyatakan hilang dan hampir setengah juta warga mengungsi.
Akses jalan terputus, desa-desa terisolasi, serta kebutuhan dasar kian menipis di tengah cuaca ekstrem yang belum sepenuhnya mereda.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaan tentang “siapa penolong kita” kembali mengemuka. Bantuan datang dari berbagai arah: relawan lokal, aparat negara, organisasi kemanusiaan, hingga masyarakat biasa yang mengulurkan tangan sebisanya.
Namun, dalam perspektif iman, pertolongan itu tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari kehendak Allah yang menggerakkan hati manusia untuk saling menolong.
Al-Qur’an menegaskan, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” (QS. Al-Māidah: 2). Ayat ini menemukan maknanya yang nyata ketika masyarakat bergotong royong di tengah bencana.
Ketika kabar musibah menyebar—baik melalui media maupun cerita dari mulut ke mulut—Allah menumbuhkan empati, bahkan kepada mereka yang berada jauh dari lokasi bencana.
Aceh Tengah, Aceh Tamiang, Bener Meriah, hingga wilayah pesisir Sumatera Barat dan Sumatera Utara menjadi contoh bagaimana bencana bukan hanya merusak infrastruktur, tetapi juga memutus akses kehidupan.
Jalan nasional terputus, listrik padam, dan distribusi logistik tersendat. Namun, di tengah keterbatasan itu, solidaritas justru tumbuh: dapur umum didirikan, donasi dikumpulkan, dan doa dipanjatkan bersama.
Para korban menerima bantuan dengan rasa syukur yang tulus. Tidak semua mampu mengucap terima kasih secara lisan, tetapi Alhamdulillah yang terucap dalam hati adalah pengakuan bahwa setiap pertolongan sejatinya bersumber dari Allah. “Apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An-Naḥl: 53).
Menariknya, para penolong sejati tidak merasa besar karena bantuannya. Mereka sadar bahwa yang bekerja bukan semata kekuatan diri, melainkan keimanan yang menggerakkan jiwa.
Banyak relawan datang tanpa sorotan, bekerja dalam diam, dan pulang tanpa meninggalkan nama. Mereka tidak menunggu balasan, bahkan tidak menuntut ucapan terima kasih.
Rasulullah ﷺ mengingatkan dimensi akhirat dari setiap pertolongan: “Barang siapa meringankan satu kesusahan seorang mukmin dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat” (HR. Muslim).
Hadis ini relevan di tengah krisis kemanusiaan Sumatra hari ini: menolong bukan sekadar aksi sosial, melainkan ibadah yang bernilai kekal.
Musibah banjir dan longsor ini juga menjadi cermin bagi kita semua. Ia bukan hanya ujian bagi mereka yang tertimpa, tetapi juga ujian bagi mereka yang menyaksikan dari kejauhan. Apakah kita akan berpaling, atau justru menjadi bagian dari solusi—dengan harta, tenaga, doa, dan kepedulian.
Pada akhirnya, penolong sejati tidak mengenal batas wilayah, sekat identitas, atau perbedaan latar belakang. Ia hadir untuk siapa pun yang membutuhkan, semata-mata karena Allah. Semoga di tengah duka Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, kita termasuk orang-orang yang dipilih Allah untuk menjadi jalan pertolongan-Nya di muka bumi. []





