Oleh : Fauzan Azima*
Krisis pangan akibat bencana hidrometeorologi Aceh 2025 jelas bukan cerita pendek. Ini novel tebal, berseri, tanpa sinopsis akhir, dengan plot absurd, tragis, dan lucu jika kita memilih tertawa.
Dalam situasi begini, pelajaran penting muncul: jangan terlalu berharap. Bukan anti-pemerintah, ini soal realistis. Pemerintah sibuk rapat, rakyat sibuk mikir besok makan apa.
Karena itu, perencanaan mandiri jadi keharusan. Bukan hanya stok beras, tapi stok akal sehat. Berkebun, menanam ubi, memelihara ayam, atau bersahabat dengan tetangga berkebun.
Dalam krisis, solidaritas lebih mengenyangkan daripada janji. Janji bisa ditunda, nasi tidak. Apalagi janji tanpa lauk, hanya cocok jadi pemanis pidato.
Namun orang Aceh tahu, ikhtiar saja tidak cukup. Saat usaha mentok dan dapur sunyi, doa berubah fungsi: dari ritual menjadi logistik terakhir yang paling setia.
Salah satu doa relevan adalah doa Nabi Ibrahim: Alladzii khalaqanii fahuwa yahdiinii walladzii huwa yuth‘imunii wayasqiinii, tentang Tuhan yang mencipta, membimbing, dan memberi makan.
Doa ini tidak bisa dimasak, tapi menguatkan mental saat beras tinggal segenggam. Ia mengingatkan, rezeki tak selalu datang lewat truk bantuan resmi.
Situasi hari ini mengingatkan masa darurat militer Aceh 2003–2005. Saat blokade makanan, perut kenyang oleh cemas. Kami berjalan di hutan, menyusuri sungai.
Kami bahkan membuat ransel dari karung beras. Bukan tren ramah lingkungan, tapi kreativitas lahir dari keterpaksaan dan rasa lapar yang disiplin.
Ironisnya, kami bertahan. Tidak gemuk, tapi hidup. Tidak nyaman, tapi kuat. Kami belajar manusia bisa hidup sederhana asal harapan dan humor tetap dijaga.
Kini krisis datang dengan nama baru, tapi rasa laparnya sama. Maka mari bersiap: menanam, menyimpan, berbagi, berdoa, dan menertawakan keadaan bersama.
Dalam krisis panjang, yang paling cepat habis bukan beras, melainkan harapan. Jika harapan dijaga bersama, lapar tetap menyakitkan, tapi tidak mematikan. []







