Oleh: Ahmad Dardiri*
Peringatan Hari Guru Nasional 2025 diwarnai dua tema penting: “Guru Hebat, Indonesia Kuat” dari Kemendikdasmen (Kemdikbud, 2025), dan “Merawat Semesta dengan Cinta” dari Kemenag RI (Kemenag, 2025).
Keduanya lahir dari perspektif berbeda, namun sesungguhnya bertemu pada satu tujuan: membangun manusia Indonesia yang unggul dan berkarakter, sambil menjaga kehidupan dan lingkungan sebagai amanah besar. Tema ini tidak hanya seremonial; ia adalah penanda arah pendidikan bangsa.
Tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat” menegaskan bahwa kualitas bangsa tidak mungkin melebihi kualitas pendidiknya. Pandangan ini sejalan dengan laporan UNESCO tentang peran guru sebagai fondasi kualitas pendidikan (UNESCO, 2022).
Guru hebat bukan sekadar mereka yang menguasai teknologi atau berdiri di sekolah megah, melainkan mereka yang mampu membentuk karakter, menggerakkan perubahan, dan menghadirkan pembelajaran yang bermakna.
Sementara tema Kemenag, “Merawat Semesta dengan Cinta”, memberi dimensi spiritual dan ekologis bahwa pendidikan tidak berhenti pada ruang kelas, tetapi mencakup kepedulian pada murid, masyarakat, dan alam semesta—selaras dengan gagasan pendidikan ekologis Capra dan konsep pendidikan berbasis nilai dalam perspektif Islam (Tafsir, 2012).
Titik temu kedua tema ini begitu jelas: pendidikan yang kuat lahir dari guru yang penuh cinta, bekerja dengan ketulusan, merawat murid dan lingkungan dengan kesabaran, serta terus belajar menjadi pendidik yang profesional.
Guru adalah jantung dari transformasi bangsa sekaligus penjaga harmoni kehidupan. Dari tangan guru—yang kadang sunyi dari sorotan—lahir generasi masa depan yang menjaga bumi, menjunjung nilai, dan membangun negeri.
Sebagai guru yang mengajar di perkampungan dan di lembaga yang masih sederhana, mungkin terselip pertanyaan: apa makna tema-tema besar ini bagi saya yang bekerja dalam keterbatasan? Justru di situlah letak keistimewaannya.
Guru desa memiliki peluang paling otentik untuk memberi teladan tentang cinta, kesederhanaan, dan kegigihan. Banyak studi menunjukkan bahwa pembelajaran kontekstual paling efektif justru lahir dari kedekatan dengan realitas lokal (Johnson, 2017).
Di desa, pembelajaran kontekstual bukan semboyan, melainkan kenyataan: kebun menjadi laboratorium, sungai menjadi sumber pembelajaran IPA, cerita rakyat menjadi bahan literasi, dan kehidupan sehari-hari menjadi sumber nilai karakter.
Keterbatasan bukan alasan untuk berhenti profesional. Profesionalisme merupakan komitmen pada kualitas, integritas, dan kesungguhan, bukan hanya pada fasilitas (Fullan, 2014).
Kesungguhan dalam merencanakan pembelajaran, kehadiran penuh hati di depan murid, kemauan untuk terus belajar, dan integritas meski tanpa pengawasan ketat adalah inti profesionalisme yang sebenarnya.
Murid di desa dapat merasakan kasih sayang yang tulus, bimbingan yang dekat, dan perhatian yang tidak teralihkan oleh formalitas atau teknologi. Semua ini—yang tampak kecil—adalah bagian dari kehebatan seorang guru.
Namun guru tidak bisa berdiri sendiri. Ada hal-hal yang hanya mampu dilakukan pemerintah, orang tua, dan masyarakat.
Dari pemerintah, guru berharap kebijakan yang berpihak pada sekolah kecil: pelatihan yang merata, fasilitas dasar yang layak, administrasi yang tidak membebani, serta penghargaan terhadap kerja guru di daerah terpencil (World Bank Education Report, 2020).
Kualitas pendidikan tidak boleh bergantung pada letak geografis; anak desa berhak pada masa depan yang sama dengan anak kota.
Dari orang tua, guru berharap dukungan moral dan keterlibatan. Riset Harvard Family Research Project menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua meningkatkan motivasi dan prestasi murid secara signifikan (HFRP, 2016).
Tidak perlu tinggi; cukup menghargai guru, memastikan anak hadir, dan membiasakan adab rumah yang mendukung adab sekolah. Pendidikan adalah kerja bersama, bukan semata tanggung jawab guru.
Dari masyarakat, guru berharap lingkungan yang aman, nilai-nilai yang dijaga, serta kepedulian sosial yang menguatkan sekolah.
Dalam pendekatan community-based education, sekolah yang didukung masyarakat lokal akan berkembang lebih cepat dan lebih berkelanjutan (Bray, 2000). Ketika masyarakat merasa memiliki sekolah, maka sekolah itu menjadi pusat kemajuan desa.
Pada akhirnya, tema Hari Guru 2025 mengingatkan kita bahwa bangsa ini tidak hanya dibangun oleh gedung-gedung tinggi, tetapi oleh ruang-ruang kelas sederhana tempat guru mengabdikan hidupnya.
Guru tidak harus sempurna untuk memberi dampak; cukup tulus, tekun, dan berani mencintai murid-muridnya. Pendidikan Indonesia akan kuat bila cinta dan profesionalisme bertemu di tangan guru-guru yang bekerja dalam sunyi, namun tak pernah berhenti berharap.
Selamat Hari Guru Nasional.
Tetaplah menyalakan lilin pengetahuan dan keteladanan, meski dunia kadang terasa gelap.
Sebab dari tangan guru, masa depan bangsa disemai setiap hari. []







