Oleh: Ahmad Dardiri*
Di tengah dinamika dunia pendidikan yang terus berubah, guru menghadapi tuntutan yang semakin berlapis. Mulai dari administrasi yang kompleks, tekanan orang tua, ekspektasi masyarakat, hingga tantangan pribadi seperti usia dan stamina.
Fenomena guru hadir di sekolah tetapi tidak selalu berada di kelas—yang belakangan ramai dibahas di media sosial—adalah salah satu cermin dari beban yang tak terlihat ini.
Kelas yang kosong tidak otomatis menunjukkan hilangnya komitmen, tetapi kerap menyingkap sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada guru.
Beberapa komentar publik menyoroti adanya rasa takut guru dalam menegakkan disiplin. Tidak sedikit guru yang memilih “aman”, menghindari potensi konflik dengan orang tua yang reaktif.
Di era ketika laporan polisi bisa muncul dari kesalahpahaman kecil di kelas, ruang bagi guru untuk membentuk karakter siswa semakin sempit. Padahal, pendidikan tanpa disiplin ibarat rumah tanpa tiang: runtuh sebelum berdiri.
Tuntutan administrasi juga menjadi beban yang tidak bisa diabaikan. Guru dituntut menjadi pengajar, konselor, operator data, pengunggah laporan, sekaligus penyedia dokumen kurikulum yang tak ada habisnya.
Ketika perangkat administratif memakan waktu dan tenaga lebih besar daripada pembelajaran itu sendiri, maka wajar bila fokus mengajar menjadi terpecah.
Profesionalisme guru membutuhkan ruang bernapas, bukan kerumitan birokratis yang mematikan kreativitas.
Di sisi lain, kesejahteraan tetap menjadi luka lama yang belum sembuh. Terutama bagi guru honorer di lembaga swasta, ekspektasi profesional sering kali tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima.
Guru yang harus memikirkan biaya hidup tentu tak bisa sepenuhnya mencurahkan energi untuk mengajar.
Sementara itu, guru senior yang telah melewati usia 55 tahun mulai menghadapi tantangan fisik yang nyata. Mengajar bukan hanya pekerjaan intelektual; ia adalah aktivitas yang menuntut energi dan ketahanan.
Namun di tengah tantangan itu, kita tetap melihat banyak guru muda yang hadir dengan disiplin tinggi, idealisme segar, dan komitmen yang kuat.
Keberadaan mereka memberi harapan bahwa standar profesionalisme masih terus terawat. Semangat ini perlu dipertemukan dengan kebijaksanaan guru senior, sehingga sekolah menjadi ruang kolaborasi lintas generasi, bukan arena perbandingan yang melelahkan.
Profesionalisme guru bukanlah gambaran sosok sempurna. Ia adalah proses panjang untuk tetap hadir, tetap berusaha, dan tetap konsisten menunaikan tugas meski tuntutan semakin berat.
Profesionalisme lahir ketika guru terus berupaya mengajar dengan hati, membimbing dengan etika, dan memperbaiki diri meski kondisi tidak ideal. Tetapi proses ini tidak bisa dipikul sendirian.
Ia membutuhkan sekolah yang mendukung, orang tua yang memahami, pemimpin yang melindungi, serta sistem pendidikan yang memanusiakan guru.
Pada akhirnya, tuntutan terhadap guru memang tidak akan pernah bertepi. Namun profesionalisme justru terukir ketika guru mampu menjalani semua itu dengan integritas.
Dan ketika ekosistem pendidikan mampu menghadirkan rasa aman, penghargaan, dan dukungan yang layak, maka guru akan hadir di kelas bukan sekadar karena jadwal, tetapi karena panggilan hati dan martabat profesinya.
Mengukir profesionalisme di tengah tuntutan yang tak bertepi adalah kerja bersama. Dan hanya melalui kerja bersama itulah pendidikan dapat bergerak menuju kualitas yang sesungguhnya. []







