Oleh : Fauzan Azima*
Orang Gayo sejak dulu memiliki cara yang unik dan halus dalam memperlakukan pendatang. Ada semacam kehormatan batin, “kemalun” kata orang Gayo, yang membuat mereka merasa bersalah ketika tamu merasa segan atau tidak nyaman.
Bagi mereka, tamu bukan sekadar orang asing yang kebetulan singgah, tetapi titipan Tuhan yang wajib dihormati. Karena itu, orang-orang tua kita selalu memasak nasi lebih sedikit banyak dari kebutuhan. “Satu piring untuk kita, dua piring untuk tamu,” begitu pesan orang tua. Bukan karena berlebih-lebihan, tetapi karena mereka tahu, musafir bisa datang kapan saja: lapar, letih, dan membutuhkan tangan yang menolong.
Sikap memuliakan pendatang itu bukan dibuat-buat. Ia lahir dari pandangan hidup orang Gayo: berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.
Orang Gayo tidak suka meninggikan diri, juga tidak nyaman direndahkan. Mereka tidak bangga bila orang takut atau menjaga jarak terhadap mereka; justru itu dianggap aib bagi diri sendiri.
Kalau orang segan kepadanya, itu pertanda sikapnya kurang manis. Maka dalam pergaulan, orang Gayo dibentuk untuk bersahaja, seperti gerakan salat yang menjadi filosofi hidup: tegak dengan rendah hati, sujud tanpa merasa hina, ruku’ tanpa congkak.
Sejak kecil, anak-anak Gayo digembeleng dengan suasana ruhani. Diayun dalam buaian bukan hanya dengan gerakan tangan, tetapi dengan lantunan kalimat tayyibah yang menenangkan hati:
Lailahaillallah anakuni anak mutuah, Lailahaillallah umur lanyut rejeki mudah, Kailahaillallah anakuni anak mutuah,
Lailahaillallah bakti kujema tue taat ku Allah
Kalimat-kalimat itu bukan sekadar doa, tetapi afirmasi awal yang menanamkan nilai dalam alam bawah sadar bayi: menjadi orang baik, hidup berkah, umur panjang, rezeki mudah, dan selalu taat kepada orang tua serta Tuhan.
Orang tua zaman dulu tahu betul, masa transisi antara terjaga dan tertidur adalah waktu emas untuk menanamkan kebaikan pada jiwa. Karena itu, suara ayunan selalu diiringi zikir, Quran murattal, atau nyanyian lembut yang bersih dari kata-kata buruk.
Bila sekarang orang bicara tentang brainwave, healing frekuency atau musik klasik yang baik untuk otak bayi, sesungguhnya nenek moyang kita sudah lama mengamalkannya dalam bentuk yang lebih sederhana.
Dalam bingkai adab inilah, kisah-kisah sufi menjadi bahan renungan. Salah satu yang terkenal adalah kisah Imam Hatim Al-Asham, ulama besar dari Khurasan. Dikisahkan, suatu hari ada seorang perempuan datang bertanya masalah agama.
Ketika duduk di hadapan beliau, tanpa sengaja perempuan itu kentut. Wajahnya merah, tubuhnya gemetar menahan malu. Pada masa itu, peristiwa semacam itu dianggap aib besar bagi perempuan. Melihat keadaan itu, Imam Hatim langsung berkata:
“Angkatlah suaramu, aku kurang pendengaran”
Sejak hari itu, beliau berpura-pura tuli selama tujuh tahun. Bayangkan, tujuh tahun menanggung usaha pura-pura tidak mendengar, hanya demi menjaga kehormatan seorang perempuan yang bahkan tidak dikenal dekat. Begitu tinggi adab seorang sufi dalam menutupi aib orang lain. Tidak menghakimi, tidak membuat malu, tidak membocorkan kisah itu kepada siapa pun.
Hikmah kisah itu bukan pada kentutnya, tapi pada kehalusan adab yang dijadikan bagian dari perjalanan spiritual. Dalam dunia tasawuf, adab lebih tinggi daripada ilmu. Dan inilah nilai yang sebenarnya sangat dekat dengan karakter orang Gayo.
Orang Gayo punya ungkapan tua: “Munutupi kemel ni jema, dis mujege rege diri.”Menutupi aib orang lain berarti menjaga harga diri sendiri. Tidak mencemooh, tidak menyoroti kekurangan orang, terlebih pendatang.
Pendatang adalah orang asing yang datang membawa beban hidup, membawa cerita, membawa kebutuhan; maka menghormatinya adalah bagian dari kebaikan yang kembali kepada diri sendiri.
Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari dulu, setiap pendatang, baik pedagang, guru mengaji, ataupun ulama, sering tinggal di rumah warga tanpa perlu diminta. Tidak ada orang Gayo yang menolak tamu. Bahkan bila tamu itu datang di waktu paling tidak tepat, tetap akan disambut dengan air panas dan nasi yang sudah dimasak lebih. Kadang tuan rumah sendiri belum makan, tetapi tamu dulu yang disuguhkan. Inilah budaya menjaga wajah orang agar tidak malu dan tidak merasa dihinakan.
Kalau kemudian seorang ulama sufi datang ke dataran tinggi Gayo, tentu ia akan menemukan suasana yang sejiwa dengan ajaran adabnya: menghormati, menutupi aib, merendah dalam tutur, dan memuliakan sesama.
Orang Gayo mungkin bukan ahli kitab seperti para sufi, tetapi pada tingkah laku mereka tersimpan ajaran batin yang sama: jangan membuat orang malu, jangan mempermalukan diri sendiri.
Dalam dunia yang semakin keras hari ini, kisah Imam Hatim dan adat Gayo seakan mengingatkan: bahwa di atas kecerdasan, di atas ilmu, yang paling mahal adalah kepekaan terhadap perasaan orang lain. Dan selama kita masih bisa menjaga itu, maka kita masih memegang warisan leluhur yang paling berharga.
Faktanya pendatang ke Gayo untuk menambang, menguasai tanah, merusak lingkungan, mengkriminalisasi bahkan menggerus adatnya dan melakukan aib lainnya. Mereka bukan tidak tahu. Tapi kehalusan budi orang Gayo setara dengan Imam Hatim Al-Asham, pura-pura tuli demi menjaga adab perempuan yang kentut di depannya.
(Mendale, November 23, 2025)





