Gayo Muda dan Keterampilan yang Mengikat: dari Kopi Kita Jaga Marwah, Merawat Masa Depan

oleh

Catatan Mahbub Fauzie, S.Ag., M.Pd (Penghulu dan Kepala KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah)

Gayo Aceh Tengah sejak lama dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil kopi terbaik dunia. Nama “Gayo” bukan sekadar identitas geografis, tetapi representasi mutu, kerja keras, dan kearifan lokal yang teruji lintas generasi.

Aroma Arabika Gayo telah mengharumkan nama Tanoh Gayo hingga ke berbagai belahan dunia, menghidupi ribuan keluarga, dan menjadi warisan kebanggaan yang tak ternilai harganya.

Namun di tengah derasnya arus modernisasi, kita patut bertanya: apakah generasi muda Gayo hari ini benar-benar memahami akar kejayaannya—yakni kopi?

Hampir semua orang tua di daerah ini mampu menyekolahkan anak-anaknya dari hasil kebun kopi. Keberkahan ini semestinya disyukuri sekaligus diperkuat sebagai fondasi masa depan.

Kamis 20 November 2025 pagi, saya mengantar 100 batang bibit kopi varietas Ateng Super ke tempat tinggal Rektor IAIN Takengon, di Kawasan Bebesen.

Bibit itu bukan bibit biasa: saya sendiri yang menyemai, merawat, dan membesarkannya dari biji hingga siap tanam—bibit besar dalam polybag 5 kg, dengan cabang yang sudah mencapai sepuluh. Bibit-bibit ini dibeli Pak Rektor dari hasil patungan dan wakaf pegawai IAIN Takengon untuk ditanam di lahan kampus di Mongal.

Rektor IAIN Takengon, Prof. Dr. Ridwan Nurdin, MCL, putra Gayo asal Tingkem, bersama Drs. H. Hamdan, MA, tokoh Gayo yang kini menjadi dosen dan Ketua BKM Masjid Agung Ruhama, menyambut saya dengan hangat. Obrolan kami ringan tetapi bermakna: tentang bibit kopi, potensi lahan, dan masa depan perkopian Gayo.

Dalam percakapan itu, saya menyampaikan bahwa dalam setiap Bimbingan Perkawinan, saya selalu memotivasi para calon pengantin, terutama putra-putri Gayo, agar memiliki keterampilan dasar tentang kopi—dari memilih bibit, menyemai, merawat, memanen, hingga menjadi bubuk siap seduh. Pengetahuan ini bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi kearifan hidup.

Mendengar itu, Pak Rektor menimpali, “Gayo muda dan keterampilan mengikat…” Sebuah kalimat pendek yang penuh makna, dan langsung saya jadikan judul tulisan ini.

Kopi sebagai Guru Kehidupan

Bagi masyarakat Gayo, kopi adalah guru yang mengajarkan kesabaran dan tata kelola. Dari biji yang kecil hingga menjadi pohon berbuah, setiap tahap mengajarkan ketekunan. Tidak ada yang instan.

Karena itu, generasi muda Gayo seharusnya mengikat keterampilan perkopian sebagai bagian dari jati diri. Tidak semua harus menjadi petani, tetapi memahami marwah kopi Gayo adalah bentuk syukur dan penghormatan terhadap sejarah.

Betapa ironis bila pemuda dari kota besar berbondong-bondong belajar menjadi barista, roaster, atau pengusaha kopi, sementara anak muda Gayo yang tinggal di tengah kebun malah asing terhadap tanaman yang membesarkan daerahnya.

Makna “Mengikat” dalam Perkopian

Keterampilan mengikat bukan sekadar mengikat plastik polybag atau mengikat cabang. Ia bermakna mengikat nilai, etosy kerja, dan kebijaksanaan. Kopi mengajarkan bahwa setiap hasil butuh proses.

Ada musim berbunga, musim buah, masa pemeliharaan, dan waktu panen. Demikian pula kehidupan rumah tangga, pendidikan, dan karier: semuanya menuntut kesabaran dan pengelolaan yang baik.

Itulah sebabnya mengapa saya sering memasukkan narasi kopi dalam Bimbingan Perkawinan. Kopi mengajarkan bagaimana membina keluarga: telaten, bertahap, tidak tergesa, dan penuh perhatian.

Kolaborasi untuk Masa Depan

Langkah IAIN Takengon menanam bibit kopi di Mongal adalah simbol bahwa kampus tidak boleh jauh dari akar budayanya. Pemerintah daerah, KUA, kampus, dan masyarakat harus saling menguatkan ekosistem perkopian: mulai dari penyemaian bibit berkualitas, pengolahan pascapanen, hingga inovasi produk.

Di rumah-rumah, orang tua perlu mengajak anak-anak mengenal kebun. Dari situ tumbuh cinta dan kebanggaan. Cinta itu tidak lahir dari cerita, tetapi dari pengalaman.

Menjaga Marwah, Menjamin Masa Depan

Jika generasi muda Gayo mau mengikat keterampilan kopi, maka masa depan Tanoh Gayo akan terjaga. Dari tangan-tangan muda yang kreatif dan paham nilai lokal, kopi Gayo akan tetap menjadi primadona dunia—bukan sekadar legenda masa lalu.

Semoga bibit-bibit yang saya antarkan ke IAIN Takengon itu tumbuh subur, memberi teduh bagi generasi mendatang, dan menjadi simbol bahwa perubahan besar selalu dimulai dari bibit kecil yang ditanam dengan tekad dan kecintaan.

Lebih dari itu, semoga tumbuh kesadaran baru di kalangan pemuda Gayo bahwa menjaga kopi berarti menjaga marwah Tanoh Gayo sendiri. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.