Oleh : Ahmad Dardiri (Kepala MAS Al-Huda Jagong di Yayasan Ponpes Al-Huda NU Aceh Tengah)
Abstrak
Meskipun bahaya rokok telah diketahui secara luas, tingkat kesadaran dan kepatuhan terhadap peringatan kesehatan masih rendah, terutama di masyarakat yang rokoknya telah menjadi bagian budaya sosial.
Tulisan ini menganalisis mengapa perokok sulit menerima nasihat, dampak kesehatan dan moral rokok terhadap keluarga dan masyarakat, serta strategi edukasi yang dapat dilakukan oleh orang tua, guru, dan tokoh agama.
Analisis ini memadukan perspektif kesehatan publik, psikologi perilaku, dan etika keagamaan.
1. Pendahuluan
Konsumsi rokok telah lama diidentifikasi sebagai salah satu penyebab utama penyakit tidak menular, seperti kanker paru, penyakit jantung koroner, dan berbagai gangguan pernapasan.
Namun pengetahuan mengenai bahaya tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan perubahan perilaku. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: mengapa perokok tetap merokok meskipun mereka mengetahui konsekuensinya?
Dan bagaimana berbagai pihak di lingkungan sosial dapat membangun kesadaran yang lebih efektif?
2. Mengapa Perokok Sulit Menerima Nasihat?
2.1. Ketergantungan Nikotin
Nikotin memiliki sifat adiktif yang kuat, memengaruhi sistem reward di otak dan menciptakan sensasi kenyamanan instan. Dampaknya, perokok sulit menghentikan kebiasaan meskipun sadar akan bahayanya.
Dalam konteks kesehatan perilaku, ini dikenal sebagai fenomena “intention-action gap”—ketidaksesuaian antara niat dan tindakan (Ajzen, 1991).
2.2. Faktor Psikososial dan Normalisasi Budaya
Di banyak masyarakat, rokok telah menjadi simbol kedewasaan, solidaritas, atau bagian dari interaksi sosial. Normalisasi budaya ini membuat nasihat sering berbenturan dengan identitas sosial perokok, sehingga resistensi muncul bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena ketidaknyamanan sosial.
2.3. Persepsi Risiko yang Rendah
Banyak perokok memandang risiko kesehatan sebagai sesuatu yang jauh di masa depan. Dalam studi psikologi kognitif, ini disebut optimism bias—kecenderungan seseorang menganggap bahwa risiko buruk lebih kecil terjadi pada dirinya dibanding orang lain.
3. Dampak Rokok sebagai Isu Kesehatan Publik dan Moral
3.1. Dampak Kesehatan Langsung dan Perokok Pasif
WHO menegaskan bahwa asap rokok mengandung lebih dari 7.000 bahan kimia, ratusan di antaranya toksik, dan puluhan bersifat karsinogenik (WHO, 2023).
Dampaknya tidak hanya pada perokok, tetapi juga individu yang terpapar secara pasif, termasuk anak-anak, lansia, dan anggota keluarga lain.
3.2. Perspektif Moral dan Keagamaan
Dalam khazanah Islam, merokok dipandang sebagai tindakan yang mengandung mudarat besar, terutama karena dampaknya kepada orang lain. Kaidah fikih “lā ḍarar wa lā ḍirār” menegaskan larangan menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan orang lain.
Selain itu, tubuh manusia disebut sebagai amanah yang harus dijaga, sebagaimana ditegaskan dalam hadis, “Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu.”
3.3. Rokok sebagai Pelanggaran terhadap Maqāṣid asy-Syarī‘ah
Salah satu tujuan utama syariat Islam adalah menjaga jiwa (ḥifẓ an-nafs). Imam Asy-Syāṭibī menegaskan bahwa segala bentuk tindakan yang jelas membawa kerusakan terhadap jiwa harus dicegah. Karena itu, rokok bukan sekadar isu medis, tetapi juga persoalan etika keagamaan dan tanggung jawab sosial.
4. Strategi Edukasi dan Perubahan Perilaku
4.1. Peran Orang Tua
Orang tua harus menjadi teladan dengan tidak merokok di rumah, menciptakan lingkungan bebas asap rokok, dan mendampingi anak memahami risiko kesehatan. Studi membuktikan bahwa perilaku orang tua sangat memengaruhi kemungkinan anak menjadi perokok di masa depan.
4.2. Peran Guru dan Institusi Pendidikan
Sekolah perlu menerapkan kebijakan bebas rokok yang konsisten, memberikan pendidikan kesehatan berbasis bukti, serta memfasilitasi program konseling bagi siswa yang telah menjadi perokok aktif. Pendekatan hukuman tanpa pendampingan terbukti kurang efektif.
4.3. Peran Tengku, Ustadz, dan Tokoh Agama
Tokoh agama dapat mengedukasi masyarakat dari perspektif syariat: bahwa merokok mengandung mudarat, bahwa setiap hembusan asap dapat menzalimi orang lain, dan bahwa menjaga kesehatan adalah bagian dari ibadah.
Edukasi keagamaan yang dikemas secara rasional dan empatik lebih efektif dibanding pendekatan yang bersifat menghakimi.
5. Kesimpulan
Rokok bukan hanya masalah kesehatan individual, tetapi isu kompleks yang melibatkan psikologi perilaku, budaya sosial, dan etika keagamaan. Perokok sering kali bukan kurang informasi, melainkan terjebak dalam kombinasi adiksi, tekanan sosial, dan persepsi risiko yang keliru.
Oleh karena itu, pendekatan untuk menyadarkan mereka harus terintegrasi—melibatkan orang tua, guru, dan tokoh agama—dengan strategi edukasi yang konsisten, ilmiah, dan bernilai moral.
Membangun kesadaran bukanlah proses instan, namun perubahan perilaku yang lahir dari pemahaman mendalam dan dukungan lingkungan. []





