Membiasakan Ibadah dalam Lintasan Usia dan Tantangan Zaman
Oleh: Ahmad Dardiri
Shalat lima waktu adalah kewajiban yang tidak berubah oleh situasi, tempat, atau usia. Namun kedisiplinan untuk menjalankan shalat berjamaah di masjid—khususnya bagi laki-laki—sering kali tidak semudah menuntaskan kewajiban yang lain.
Kita sering lupa bahwa ketaatan itu tidak selalu lahir dari kenyamanan; ia butuh perjuangan, latihan, dan terkadang “paksaan” terhadap diri sendiri. Dalam konteks inilah saya memahami bahwa shalat itu memang perlu dipaksakan.
Bukan paksaan dalam arti memaksa orang lain, tetapi memaksa diri agar tetap berada di jalan yang lurus. Karena jika ibadah hanya menunggu suasana hati, hampir dipastikan ego dan rasa malas akan menang lebih dulu.
Tarikan Dunia, Lintasan Usia
Seorang laki-laki melewati fase-fase kehidupan yang secara alami memengaruhi kedekatannya dengan masjid.
Saat kecil, ia masih mudah diarahkan. Ayah atau guru dapat menggandengnya untuk ikut shalat ke masjid. Jiwa masih lembut, belum banyak alasan, belum banyak beban.
Saat remaja, pengaruh lingkungan dan pergaulan menjadi ujian besar. Shalat berjamaah mulai terasa “mengganggu aktivitas”. Jika tidak dibarengi kegiatan mengaji, halaqah, atau komunitas yang baik, maka masjid perlahan kehilangan pesona di mata remaja.
Saat SMA dan awal dewasa, komitmen semakin melemah. Kegiatan lebih padat, dorongan belajar atau bekerja meningkat, dan shalat berjamaah sering dianggap bukan prioritas.
Saat menikah dan berkeluarga, tantangannya tambah besar. Laki-laki membawa beban ekonomi rumah tangga. Di titik ini, mudah sekali hati membuat pembenaran: “Yang penting tetap shalat, meski tidak selalu berjamaah. Saya sibuk mencari nafkah.”
Pembenaran seperti ini tampak logis, bahkan terasa benar, tetapi berbahaya jika dibiarkan berlarut-larut. Sebab setelah merasa “yang penting sudah shalat”, seseorang biasanya sulit kembali merasakan nilai spiritual berjamaah.
Ketika Hukum Wajib Tidak Cukup Menggerakkan
Secara fikih, shalat berjamaah di masjid memiliki kedudukan yang kuat bagi laki-laki. Banyak ulama memandangnya sebagai kewajiban, atau setidaknya kewajiban yang sangat ditekankan (muakkadah). Namun kenyataannya, sekadar mengetahui hukum tidak otomatis membuat orang tekun menjalankan.
Ada beberapa sebab:
- Syariat dipahami sebagai beban, bukan kebutuhan ruhani.
- Lingkungan sekitar tidak mendukung. Tetangga, teman sebaya, dan rekan kerja lebih banyak yang abai daripada yang giat.
- Kurangnya keteladanan. Anak laki-laki yang sejak kecil tidak menyaksikan ayahnya shalat di masjid biasanya sulit istiqamah setelah dewasa.
- Faktor kenyamanan. Masjid terasa jauh, kasur terasa dekat.
- Iman naik turun. Dan manusia cenderung mengambil pilihan paling mudah.
Karena itu, mengandalkan hukum saja tidak cukup. Kita perlu menghadirkan lingkungan, ilmu, keteladanan, dan suasana ruhiyah yang membantu.
Mengapa “Memaksa Diri” Itu Penting?
Sebab nafsu tidak akan pernah mendorong kita ke tempat kebaikan. Manusia justru harus menaklukkan rasa malasnya terlebih dahulu. Para ulama salaf sering berkata bahwa seseorang tidak akan pernah merasakan manisnya ibadah tanpa melewati fase memaksa diri.
Imam Hasan al-Bashri berkata: “Aku memaksa diriku shalat malam selama dua puluh tahun, lalu aku menikmatinya selama dua puluh tahun berikutnya.”
Ketaatan dimulai dengan paksaan, diteruskan dengan kesabaran, dan akhirnya berubah menjadi kenikmatan.
Shalat berjamaah juga demikian. Langkah keluar dari rumah mungkin berat, tetapi begitu kaki menapak masjid, hati biasanya menjadi ringan. Dan kita tidak pernah tahu, di antara langkah yang malas itulah Allah bisa mendatangkan ketenangan yang belum pernah kita rasakan.
Jalan Keluar: Lingkungan, Ilmu, dan Keteladanan
Agar laki-laki bisa bertahan dalam rutinitas masjid, ada tiga faktor terbesar:
1. Lingkungan yang baik
Teman-teman yang mengajak ke masjid, suasana kampung yang ramai jamaahnya, atau komunitas pengajian.
2. Ilmu dan pemahaman agama
Orang yang rutin mengaji lebih mudah menjaga semangat ibadah.
Ilmu menyalakan kesadaran bahwa shalat bukan sekadar rutinitas, tetapi penolong hidup.
3. Keteladanan keluarga
Anak yang dibesarkan oleh ayah yang rajin ke masjid akan memiliki memori emosional: masjid adalah rumah kedua.
Penutup: Mari Saling Menopang Istiqamah
Shalat berjamaah bukan hanya kewajiban, tetapi juga sarana menguatkan hati, meredakan beban hidup, dan menata kembali arah jiwa.
Namun semua itu tidak datang otomatis. Ia memerlukan tekad, dorongan lingkungan, dan sedikit paksaan kepada diri sendiri.
Semoga Allah memudahkan langkah kita menuju masjid, menguatkan kaki kita dalam berjamaah, dan memberikan kenikmatan dalam ketaatan yang tidak lekang oleh kesibukan dunia.
Allahumma a’inna ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik.





