Catatan Mahbub Fauzie (Kepala KUA Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah)
Jumat, 7 November 2025, jelang waktu shalat, dari kantor saya menyempatkan diri menuju Masjid Al-Fitrah di Dusun Kala Kekelip, Kampung Merah Muyang.
Masjid megah yang bangunannya belum 100 % siap itu berdiri gagah di pinggiran Sungai Atu Lintang, sungai yang mengalir menjadi batas alami antara Kecamatan Atu Lintang dan Kecamatan Jagong Jeget.
Suasana dusun yang asri, udara yang sejuk, dan gemericik sungai memberikan ketenangan tersendiri bagi hati yang datang untuk beribadah.
Kunjungan ini sebenarnya hanya sebatas silaturrahmi. Seperti kebiasaan saya bila tidak ada jadwal khutbah atau agenda lain, saya menyempatkan diri untuk singgah dan berjamaah di masjid-masjid sekitar wilayah tugas.
Silaturrahmi dan memperkuat kedekatan dengan masyarakat sudah menjadi bagian dari tugas, panggilan, sekaligus kebutuhan hati.
Namun, rencana awal berubah. Setelah melaksanakan shalat tahiyyatul masjid, petugas masjid menyampaikan tata pekaksanaan Jumat hari ini, dan secara tulus meminta saya untuk mengisi khutbah.
Saya sempat terdiam. Niat awal hanya untuk hadir sebagai jamaah biasa, tetapi Allah berkehendak lain. Saya mengiyakan, dengan keyakinan bahwa ini juga bentuk amanah.
Ketika naik ke mimbar, saya membuka khutbah dengan dua ayat penting yang menjadi pesan inti bagi kehidupan seorang Muslim.
Pertama, firman Allah dalam Surah Ibrahim ayat 7: “Jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat untukmu. Tetapi jika kamu kufur, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Ayat ini mengandung pesan mendalam tentang syukur, namun syukur yang dimaksud bukan hanya sebatas ucapan alhamdulillah. Syukur adalah gerak jiwa yang melahirkan tindakan.
Syukur harus hadir dalam perilaku, dalam akhlak, dalam cara kita bekerja, dan dalam cara kita memperlakukan sesama. Syukur mendorong manusia menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Syukur bukan hanya menyadari nikmat, tetapi menggunakan nikmat dengan cara yang diridai Allah.
Ayat kedua adalah firman Allah dalam Surah At-Tahrim ayat 6: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”
Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab seorang Muslim tidak berhenti pada dirinya sendiri. Iman harus memancar ke dalam keluarga, mengarahkan, membimbing, dan mengajak anggota keluarga agar hidup dalam ketaatan.
Kita bukan hanya menjaga diri, tetapi juga keluarga, keturunan, dan orang-orang terdekat agar tidak terseret dalam kelalaian hidup.
Dari dua ayat ini, saya mengajak jamaah kembali memperkuat takwa; bukan hanya dalam kata dan wacana, tetapi dalam kehidupan nyata. Takwa adalah kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa hadir, melihat, dan mengawasi.
Takwa terwujud ketika seseorang semakin giat memperbaiki ibadah, memperindah akhlak, dan memperkuat hubungan sesama manusia.
Shalat yang kita dirikan lima kali sehari merupakan tiang agama. Namun shalat bukan sekadar rangkaian gerakan fisik. Ia adalah pendidikan ruhani yang mendidik hati agar senantiasa berserah diri. Gerakan demi gerakan mengandung pesan keheningan, ketundukan, kedisiplinan, dan kebersamaan.
Mulai dari gerakan dan bacaan takbir, sujud, hingga salam; semua mengandung nilai yang jika diterapkan dalam kehidupan, akan membentuk karakter mulia.
Allah menegaskan bahwa shalat yang benar dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Artinya, ukuran keberhasilan shalat bukan semata banyaknya rakaat atau panjangnya bacaan, melainkan seberapa jauh shalat itu memengaruhi sikap kita dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah kita semakin sabar?
Apakah kita semakin jujur?
Apakah kita semakin halus dalam bertutur?
Apakah kita semakin lembut dalam memperlakukan keluarga, tetangga, dan masyarakat?
Jika shalat belum mengubah akhlak, maka sesungguhnya ada sesuatu yang belum kita maknai dengan benar.
Sebagai petani, pedagang, atau pegawai negeri, semua berada pada posisi penting dalam kehidupan masyarakat. Profesi berbeda, tetapi tujuan sama: menjalankan amanah Allah di bidang masing-masing.
Syukur harus tercermin dalam cara bekerja. Tidak berbuat curang, tidak berperilaku merugikan orang lain, tidak menelantarkan tanggung jawab yang sudah dipercayakan.
Ajaran Islam sesungguhnya sederhana: sambungkan hubungan dengan Allah (habluminallah) dan perbaikilah hubungan sesama manusia (habluminannas).
Ibadah yang kuat tetapi akhlak yang buruk belumlah utuh. Akhlak yang baik tanpa ibadah juga belum sempurna. Keduanya harus berjalan bersama.
Maka, marilah kita menjadikan shalat sebagai pondasi kehidupan. Syukur sebagai cahaya hati. Dan keluarga sebagai ladang pertama untuk menanam benih kebaikan.
Semoga Allah membimbing kita menjadi insan yang bersyukur, bertakwa, dan senantiasa memperbaiki diri. Aamiin. []







