Harga Bawang Merah di Gayo Anjlok : Krisis Pasar dan Lemahnya Perlindungan Petani Daerah

oleh

Oleh: Rachmat Jayadikarta, SE (Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Daerah)

Petani bawang merah di kawasan Nosar, Kecamatan Bintang, dan Toweren, Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah kini menghadapi kenyataan pahit. Harga jual bawang merah anjlok drastis hingga hanya Rp20.000 per bambu, padahal sebelumnya bisa mencapai Rp45.000–60.000.

Penurunan harga di tengah panen raya ini membuat jerih payah petani seolah tidak bernilai, bahkan banyak yang merugi besar.

Fenomena ini menggambarkan betapa rentannya sistem ekonomi pertanian rakyat, terutama di sektor hortikultura yang bergantung pada mekanisme pasar tanpa perlindungan harga dasar.

Petani bawang merah di dataran tinggi Gayo sesungguhnya telah menunjukkan produktivitas yang tinggi, namun tidak diikuti dengan stabilitas harga dan sistem distribusi yang sehat.

Secara ekonomi, struktur ongkos tanam bawang merah per hektar mencapai sekitar Rp42 juta, terdiri dari biaya bibit sekitar Rp21 juta, pupuk dan obat-obatan Rp6 juta, tenaga kerja Rp10 juta, serta biaya tambahan seperti irigasi dan transportasi sekitar Rp5 juta.

Dengan produksi rata-rata 1.200–1.400 bambu per hektar, dan harga jual hanya Rp20.000 per bambu, petani hanya memperoleh Rp24 juta — artinya menderita kerugian sekitar Rp18 juta per hektar.

Kerugian ini belum termasuk beban pinjaman modal, yang sebagian besar bersumber dari lembaga keuangan mikro atau sistem ijon dengan tengkulak. Kondisi ini jelas mengancam ketahanan ekonomi keluarga petani dan menurunkan minat tanam pada musim berikutnya.

Ada beberapa faktor penyebab yang bersifat struktural dan sistemik:

  1. Kelebihan pasokan saat panen raya tanpa adanya lembaga penyangga harga.
  2. Ketiadaan fasilitas cold storage yang menyebabkan petani harus menjual cepat agar tidak busuk.
  3. Dominasi pedagang besar dari luar daerah, yang menentukan harga di tingkat petani.
  4. Minimnya diversifikasi produk, seperti pengolahan menjadi bawang goreng atau pasta bawang.
  5. Kurangnya informasi pasar dan prediksi harga akibat lemahnya koordinasi antarinstansi.

Semua faktor tersebut berpangkal pada lemahnya tata kelola pasar hasil pertanian di tingkat daerah, yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan lembaga penyangga.

Paradoks Inflasi dan Anjloknya Harga Bawang Merah Lokal

Menarik untuk dicermati bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh pada Oktober 2025, Kabupaten Aceh Tengah tercatat memiliki tingkat inflasi tertinggi di Aceh yakni 5,95 persen sedangkan inflasi terendah tercatat di Kota Banda Aceh sebesar 3,93 persen.

Namun, di sisi lain, harga bawang merah di sentra produksi lokal justru anjlok. Fenomena ini tampak paradoksal — karena secara teori, inflasi menggambarkan kenaikan harga barang dan jasa secara umum.

Paradoks ini menunjukkan bahwa inflasi di Aceh Tengah bukan disebabkan oleh naiknya harga hasil pertanian lokal, melainkan oleh kenaikan harga barang konsumsi dan bahan pokok yang sebagian besar didatangkan dari luar daerah.

Akibatnya, petani bawang merah dan komoditas lokal lainnya tidak menikmati dampak ekonomi dari inflasi tersebut. Mereka justru terjebak dalam situasi ganda: harga kebutuhan hidup naik, sementara harga hasil panen mereka jatuh.

Dengan demikian, inflasi tinggi tanpa peningkatan pendapatan petani memperburuk ketimpangan ekonomi di daerah. Kondisi ini mencerminkan ketergantungan pasar lokal pada suplai eksternal dan lemahnya pengendalian harga komoditas lokal.

Disinilah pentingnya kebijakan pemerintah daerah untuk menjadikan sektor pertanian lokal sebagai penopang ekonomi riil, bukan sekadar penghasil bahan mentah yang nilainya ditentukan pihak luar.

Peran Lembaga dan Instansi Daerah

Untuk memahami akar masalah, perlu dilihat bagaimana seharusnya peran berbagai institusi terkait dijalankan secara sinergis:

1. Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Tengah

BPS memiliki peran penting dalam menyediakan data luas tanam, hasil panen, dan fluktuasi harga secara berkala. Data ini harus dijadikan dasar kebijakan intervensi harga oleh pemerintah daerah. Namun sayangnya, data BPS sering tidak dimanfaatkan optimal oleh dinas teknis, padahal bisa mencegah surplus produksi yang tak terserap pasar.

2. Perum BULOG Subdivre Takengon

BULOG seharusnya tidak hanya fokus pada beras, tetapi juga berperan sebagai penyangga harga hortikultura. Jika BULOG diberi mandat untuk menyerap bawang merah petani saat harga jatuh, stabilisasi harga akan lebih terjamin. Namun hingga kini, belum ada program resmi di tingkat daerah untuk itu.

3. Dinas Pertanian Aceh Tengah

Dinas Pertanian memiliki peran sentral dalam pendampingan teknis dan pengelolaan pascapanen. Pembentukan kelompok tani pengolah hasil, penyediaan sarana cold storage, dan akses subsidi pupuk menjadi langkah mendesak. Pendampingan juga perlu diarahkan pada penjadwalan tanam bergiliran agar tidak terjadi panen bersamaan dalam skala besar.

4. Dinas Perdagangan Aceh Tengah

Dinas ini berperan dalam mengatur distribusi dan pemasaran hasil panen. Pemerintah daerah harus aktif membuka jalur distribusi antar kabupaten dan antarprovinsi agar pasokan terserap lebih luas. Selain itu, operasi pasar dan promosi digital produk pertanian juga perlu digalakkan, termasuk memanfaatkan platform e-commerce daerah.

5. Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Aceh Tengah

Diskominfo memiliki fungsi yang sering diabaikan, padahal sangat strategis. Dinas ini dapat membangun sistem informasi harga dan produksi pertanian berbasis digital, yang bisa diakses langsung oleh petani melalui aplikasi atau portal resmi.

Melalui kolaborasi dengan BPS dan Dinas Perdagangan, Diskominfo dapat menghadirkan integrasi data pertanian Aceh Tengah, serta menyebarkan informasi harga dan peluang pasar melalui media lokal dan sosial. Ini adalah langkah menuju pertanian cerdas berbasis data (smart farming governance).

6. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah

DPRK memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang sangat penting. DPRK dapat mendorong lahirnya Qanun Perlindungan Komoditas Pertanian Strategis, mengalokasikan anggaran subsidi pupuk dan pembangunan cold storage, serta mengawasi pelaksanaan kebijakan eksekutif di sektor pertanian.

DPRK juga berwenang membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hortikultura untuk menginvestigasi anjloknya harga dan mencari solusi permanen. Fungsi kontrol DPRK terhadap pelaksanaan APBK menjadi kunci agar kebijakan pangan daerah tidak hanya bersifat seremonial.

Untuk memulihkan stabilitas harga dan menjaga keberlanjutan ekonomi petani bawang merah di Nosar dan Toweren, langkah-langkah berikut perlu segera diambil:

1. Membentuk Badan Usaha Milik Petani (BUMP) atau koperasi hortikultura sebagai penampung hasil panen.

2. Membangun gudang penyimpanan berpendingin (cold storage) di wilayah sentra produksi.

3. Mengintegrasikan data panen dan harga antara BPS, Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, Diskominfo, dan DPRK.

4. Memberi mandat kepada BULOG atau BUMD pangan daerah untuk melakukan penyerapan hasil panen petani.

5. Mengembangkan diversifikasi produk: bawang goreng kemasan, bibit unggul kering, atau pasta bawang merah.

Krisis harga bawang merah di Nosar dan Toweren adalah alarm keras bagi pemerintah daerah. Kegagalan menjaga harga petani berarti kegagalan menjaga stabilitas ekonomi rakyat. Diperlukan sinergi nyata antara BPS, Bulog, Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, Diskominfo, dan DPRK Aceh Tengah agar tata niaga bawang merah lebih adil dan berkelanjutan.

Jika sistem pertanian rakyat tidak dilindungi, maka produktivitas petani hanya akan menghasilkan penderitaan. Sudah saatnya Aceh Tengah berdaulat dalam harga, bukan sekadar berlimpah hasil panen. []

 

 

 

 

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.