Tanoh Gayo di Dadaku, Allah di Atas Langkahku

oleh

(Refleksi menjelang Mubes Keluarga Negeri Antara)

Oleh : Fauzan Azima*

Kalimat itu bukan slogan, bukan sekadar bait puitis untuk dipajang di layar ponsel. Itu adalah kompas bagi jiwa yang berjalan jauh, yang menapaki kota asing, jalan sempit penuh ambisi, dan kesunyian yang sering kali tidak terdengar siapa pun—kecuali Tuhan.

Kalimat itu adalah pengingat bahwa sejauh apa pun seseorang melangkah, ada dua hal yang tidak boleh hilang dari dirinya; akar dan arah

Tanoh Gayo adalah akar, Allah adalah arah.

Dan pemuda yang kehilangan salah satunya, akan menjadi seperti daun kering yang diterbangkan angin zaman: berpindah, terguling, terlihat sibuk bergerak, tapi sesungguhnya kehilangan tujuan.

“Tanoh Gayo di dadaku” berarti lebih dari sekadar kampung halaman. Ia adalah identitas yang melekat di tulang, martabat yang melekat pada nama, dan kehalusan budi yang melekat pada kata.

Ia adalah keberanian pendaki gunung, kesunyian yang menguatkan, dan keteguhan yang lahir dari angin dingin di puncak bukit. Itulah tanah yang mengajarkan bahwa diam tidak berarti takut, dan lembut tidak berarti lemah. Bahwa seseorang bisa rendah hati tanpa tunduk, dan bisa bersuara pelan tanpa kehilangan ketegasan.

Di tanah tinggi itu, kita belajar bahwa dunia dapat berisik, tapi jiwa tak harus ikut bising. Bahwa orang besar bukan yang banyak bicara, tapi yang besar menjaga prinsip.

Di sanalah dada kita ditempa. Dan siapa pun yang membawa tanah itu dalam dadanya, tidak akan mudah goyah di negeri mana pun.

“Allah di atas langkahku” adalah janji sunyi kepada diri sendiri. Untuk tidak berjalan hanya dengan ambisi, tapi juga dengan arah ilahi.

Sebab langkah yang hanya dituntun oleh dunia, akan berhenti ketika dunia tidak lagi tersenyum. Tapi langkah yang dituntun Allah, akan terus maju bahkan dalam gelap, sebab hati mengenal cahaya yang tidak terlihat mata.

Itu adalah perjalanan yang tidak selalu cepat, tidak selalu mulus, tapi pasti bermakna. Karena tujuan seorang mukmin bukan sekadar sampai melainkan sampai dengan mulia.

Mungkin kau tidak punya banyak bekal, mungkin kau berjalan sendiri, mungkin dunia tidak mengerti perjuanganmu, tapi Tuhan mengerti.

Dan bagi jiwa yang membawa Allah di atas langkahnya, setiap susah menjadi pahala, setiap sabar menjadi kemuliaan, dan setiap jatuh menjadi kesempatan untuk bangkit lebih tegak.

Miris, ada pemuda yang pergi meninggalkan kampung, dan kembali menjadi orang asing di kampung sendiri. Bukan karena jarak, tapi karena ia kehilangan tanah di dadanya.

Ada pula yang pergi, tapi setiap langkahnya adalah janji kepada tanah kelahiran: “Aku akan pulang membawa ilmu, membawa terang, membawa amal.” Mereka inilah yang benar-benar merantau: bukan melarikan diri, tapi menjalankan amanah. Sebab tanah yang melahirkan keberanian
menuntut buah dari pengembaraan.

Dan setiap pemuda yang berjalan dengan niat lurus, akan selalu membawa Gayo dalam napas, dan membawa Tuhannya dalam setiap keputusan.

Kalimat itu bukan hiasan. Itu adalah doa, nasehat, janji dan arah hidup.

“Tanoh Gayo di dadaku” agar aku tidak lupa siapa aku dan “Allah di atas langkahku” agar aku tidak lupa hendak jadi siapa aku.

Di dunia yang mudah mengguncang prinsip, dan zaman yang sibuk melahirkan identitas palsu,kalimat ini adalah benteng: akar tidak boleh tercabut dan arahmu tidak boleh boleh berpaling.

Dan selama dua hal itu hidup dalam dirimu, engkau tidak akan pernah benar-benar tersesat. Urang Gayo, terus melangkah. Berjalanlah tegak. Karena pemuda yang membawa tanah di dadanya dan Tuhan di atas langkahnya, tidak hanya sedang mencari rezeki, ia sedang membangun sejarah.

(Mendale, Oktober 31, 2025)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.