Konser Dilarang, Korupsi Dibiarkan? Mari Lihat dengan Adil

oleh

Oleh: Ahmad Dardiri*

Penolakan ulama terhadap konser di Aceh kembali memicu perdebatan. Sebagian masyarakat mempertanyakan, mengapa ulama begitu keras menolak konser, sementara korupsi, judi online, perempuan yang tak berjilbab berlenggak-lenggok di tik-tok, bahkan tengku (Tgk) yang merudapaksa santriwati seolah dibiarkan.

“Konser dilarang, korupsi dibiarkan,” begitu kira-kira nada sinis yang sering terdengar.

Sekilas kritik itu tampak logis. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, pandangan semacam ini justru menunjukkan ketidakadilan dalam cara berpikir moral.

Sebab dalam Islam, satu kemungkaran tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan kemungkaran lain. Tidak bisa kita berkata, “Biarkan saja konser maksiat, toh koruptor juga masih bebas.”

Ketika ulama menolak konser, itu bukan berarti mereka tutup mata terhadap dosa lain. Ulama sedang melaksanakan tanggung jawabnya dalam amar ma’ruf nahi munkar mencegah keburukan yang ada di hadapan mereka dan mengingatkan umat agar tidak terjerumus.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman.”

(HR. Muslim)

Ulama mengingatkan masyarakat tentang bahaya konser bukan karena anti hiburan, melainkan karena banyak acara hiburan kini melanggar batas-batas syariat: membuka aurat, bercampur bebas laki-laki dan perempuan, serta melalaikan zikir kepada Allah. Itu sebabnya, ulama tidak bisa tinggal diam.

Perlu diingat, empat mazhab besar Islam — Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali — tidak ada yang menghalalkan musik secara mutlak.

Beberapa ulama memang memberi ruang bagi nyanyian yang bernuansa baik, seperti syair religius atau rebana dalam pernikahan. Namun, musik yang melalaikan hati, memicu syahwat, dan menjauhkan dari ketaatan tetap dipandang berbahaya bagi spiritualitas umat.

Sayangnya, sebagian orang justru menjadikan musik dan konser sebagai kebutuhan hidup. Ketika diingatkan akan bahayanya, mereka berdalih, “Hanya hiburan kok, bukan maksiat.” Dari sinilah hati mulai tumpul terhadap dosa kecil hingga terbiasa dengan dosa besar.

Ulama memang harus menegur semua bentuk kemungkaran, termasuk korupsi, judi, dan kekerasan seksual. Namun masyarakat juga harus paham: setiap orang punya tanggung jawab sesuai kapasitasnya.

Ulama menegur secara moral, aparat menindak secara hukum, dan umat wajib mendukung keduanya, bukan saling melemahkan.

Sikap adil adalah kunci. Jangan menolak nasihat hanya karena yang diingatkan bukan dosa kita. Jangan pula membenarkan kesalahan dengan menunjuk kesalahan orang lain.

“Yang benar tetap benar walau sedikit yang membelanya, dan yang salah tetap salah walau banyak yang melakukannya.”

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.