Dowa: Suara Sunyi Urang Gayo di Tengah Bising Zaman

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Kuuurrrr Semangat! Di dataran tinggi Gayo, sebelum dunia seramai sekarang, manusia mengenal kesunyian sebagai ruang belajar.

Mereka berjalan di hutan sambil berbisik pada daun, menyentuh tanah sambil menyebut nama Tuhan, dan ketika gelisah, mereka memanggil ketenangan lewat dowa; mantra berbahasa Gayo yang bukan sekadar kata, tapi getaran jiwa.

Dowa bukan hanya rangkaian bunyi. Ia adalah jejak spiritual. Ia hidup dalam peristiwa sederhana: ketika seorang ibu menidurkan anak, seorang petani menanam kopi, seorang pengembara turun dari gunung, atau seorang pemuda hendak mengawali langkah besar dalam hidupnya.

Dowa adalah cara orang Gayo merawat hubungan dengan diri, dengan leluhur, dengan alam, dan dengan Yang Maha Tinggi.

Namun zaman berubah. Dunia hari ini bergerak cepat, hampir tanpa jeda. Manusia berlari, mengejar hal yang kadang tak ia mengerti. Gelisah menjadi normal; sunyi menjadi asing.

Di tengah badai informasi, barangkali kita mulai lupa: ada kekuatan yang tumbuh bukan dari kebisingan, melainkan dari kesadaran yang paling hening.

Kini kita hidup berdampingan dengan kecerdasan buatan, teknologi hiper-digital, dan logika serba instan.

Di era ini, kepercayaan pada yang tidak terlihat sering digugat oleh layar dan data.
Namun, bukankah ada hal-hal yang tidak pernah tunduk pada waktu?

Rindu, takut, cinta, yakin; semua itu tak bisa dijelaskan algoritma. Dan dowa berbicara pada wilayah-wilayah itu.

Ketika dunia modern menawarkan pikiran yang cepat, dowa menawarkan hati yang dalam. Saat teknologi membuka pintu informasi tanpa batas, dowa membuka pintu kesadaran.

Ia bukan tandingan kemajuan; ia adalah ruang teduh di balik hiruk-pikuk kemajuan itu sendiri.

Dalam tradisi Gayo, dowa bukan sekadar permohonan. Ia adalah pengingat bahwa manusia bukan pusat semesta.

Bahwa kita kecil, namun cukup; lemah, namun diberi kekuatan; sementara, namun terhubung dengan kekekalan.

Setiap bait dowa menyimpan nilai:
rendah hati di hadapan Tuhan, syukur atas rezeki sekecil embun pagi di pucuk daun kopi, kesadaran alam sebab pohon, sungai dan kabut adalah sahabat bukan benda mati, dan kesabaran karena segala sesuatu punya waktunya. Di sini, dowa bukan nostalgia. Ia adalah kompas batin.

Banyak pemuda hari ini jauh dari bahasa Gayo, apalagi dari dowa dan peri mustike. Namun warisan tak selalu harus tinggal dalam wujud yang sama.

Dowa bisa hidup dalam bentuk baru:
di buku catatan, lantunan tafakur, karya seni, konten digital, bahkan dalam bisikan pribadi saat hati rawan.

Yang penting bukan bentuknya, tapi kesadaran yang ditanamnya bahwa manusia perlu ruang batin untuk pulang.

Generasi Gayo baru tidak harus menolak teknologi. Mereka hanya perlu memastikan bahwa dalam kecepatan dunia hari ini, mereka tidak kehilangan tempat bersandar.

Dowa mengajarkan satu hal sederhana bahwa kekuatan sejati tumbuh dari dalam diri yang terkoneksi, bukan diri yang tercerabut.

Dan mungkin, di tengah kecanggihan masa depan, kita akan kembali mencari apa yang paling purba: ketenangan kebeningan hati dan hubungan dengan Yang Maha Menghidupkan.

Ketika dunia memanggil untuk bergerak cepat, dowa memanggil untuk kembali hening. Sebab siapa yang mampu menemukan dirinya di dalam sunyi,
ia takkan mudah hilang di dalam bising zaman.

Mendale, Oktober 30, 2025

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.