Refleksi Sumpah Pemuda di Era Digital: Saatnya Pemuda Menyatu dalam Aksi Nyata

oleh

Catatan Mahbub Fauzie (Pelayan Masyarakat, Pemerhati Sosial Keagamaan dan Generasi Muda)

Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda — tonggak penting lahirnya nasionalisme modern. Sumpah Pemuda bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan ikrar moral yang menyatukan cita-cita generasi muda lintas suku, agama, dan daerah: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa — Indonesia.

Ikrar ini bukan hanya simbol kesatuan, tetapi juga refleksi dari kesadaran bahwa kemerdekaan sejati lahir dari tekad kolektif dan semangat pengabdian yang melampaui kepentingan pribadi.

Kini, hampir seabad setelah Kongres Pemuda II tahun 1928, tantangan yang dihadapi pemuda Indonesia berubah bentuk. Jika dahulu perjuangan diarahkan untuk mengusir penjajah, kini perjuangan harus melawan penjajahan gaya baru: kemalasan berpikir, ketergantungan digital tanpa makna, dan ketidakpedulian sosial.

Di tengah derasnya arus informasi, globalisasi, dan polarisasi politik, semangat persatuan sering kali tergerus oleh ego sektoral dan kepentingan sempit. Padahal, inti dari Sumpah Pemuda adalah menyatukan idealisme dalam bingkai kebangsaan.

Pemuda masa kini harus hadir bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku perubahan. Di tangan merekalah masa depan bangsa ditentukan. Pemuda bukan hanya pewaris kemerdekaan, tetapi juga penerus tanggung jawab moral untuk menjaga nilai-nilai luhur bangsa.

Mereka perlu aktif di dua ranah sekaligus: idealis dan realistis. Idealis berarti berani bermimpi besar, berpikir kritis, dan menegakkan kebenaran. Realistis berarti mampu mewujudkan gagasan itu dalam bentuk aksi nyata yang membumi — mengabdi kepada masyarakat, berkontribusi di lingkungan sekitar, dan menghadirkan solusi konkret atas persoalan bangsa.

Organisasi kepemudaan, baik yang independen maupun yang berafiliasi dengan partai atau ormas, seharusnya menjadi wadah pembinaan moral, intelektual, dan sosial. Pemuda religius, misalnya, harus menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin — peduli pada kaum lemah, membela keadilan, dan menegakkan akhlak mulia.

Sementara pemuda nasionalis harus menanamkan nilai cinta tanah air bukan sekadar slogan, tetapi dalam bentuk kepedulian terhadap lingkungan, keadilan sosial, dan integritas publik. Semua harus menjauhi jebakan pragmatisme politik sesaat yang hanya menguntungkan segelintir pihak dan mengikis idealisme perjuangan.

Dalam era digital yang serba cepat, tantangan moral dan informasi semakin kompleks. Media sosial sering menjadi arena pencitraan, bukan pengabdian. Banyak yang ingin viral, tetapi sedikit yang benar-benar ingin bermanfaat.

Karena itu, penting bagi pemuda untuk menumbuhkan kesadaran digital yang etis: saring sebelum sharing, tabayyun sebelum bertindak, dan jadikan teknologi sebagai alat dakwah, pendidikan, serta pemberdayaan sosial — bukan sekadar panggung kepopuleran semu.

Refleksi Sumpah Pemuda seharusnya menjadi momentum untuk memperbarui tekad kolektif generasi muda: membangun bangsa dengan hati yang jernih dan akal yang sehat. Semangat “satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa” perlu diterjemahkan menjadi “satu semangat, satu tanggung jawab, dan satu tujuan”: memajukan Indonesia.

Pemuda sejati bukan yang banyak bicara, melainkan yang bergerak; bukan yang mencari sorotan, melainkan yang memberi teladan. Mereka adalah yang mampu menyalakan lilin di tengah gelapnya zaman, menjaga api idealisme tetap menyala meski diterpa angin zaman.

Sumpah Pemuda bukan hanya milik masa lalu — ia adalah kompas moral bagi masa depan. Bila generasi muda mampu menyalakan kembali semangat itu, maka Indonesia tidak hanya akan berdiri tegak di atas sejarah, tetapi juga melangkah maju dengan martabat, kecerdasan, dan keutuhan jiwa kebangsaan.

— Selamat Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2025.
Mari bersatu dalam karya, berjuang dengan akhlak, dan berkontribusi nyata untuk Indonesia.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.