Catatan Mahbub Fauzie (Penghulu Ahli Madya KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah)
Ayat ke-5 dalam surah Al-Fatihah, “Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn” — Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan — bukan sekadar kalimat yang dibaca setiap kali kita shalat.
Ayat ini mengandung pesan moral, spiritual, dan sosial yang sangat dalam. Ia menjadi kompas kehidupan yang mengajarkan keseimbangan antara kewajiban dan hak, antara usaha dan doa, serta antara pengabdian dan harapan.
Menarik untuk dicermati bahwa dalam susunan ayat ini, Allah menempatkan kewajiban terlebih dahulu: “Iyyāka na‘budu” (Hanya kepada-Mu kami menyembah), baru kemudian menyebut hak untuk meminta pertolongan: “wa iyyāka nasta‘īn”. Ini bukan kebetulan bahasa, tetapi penegasan prinsip hidup: bahwa sebelum seseorang menuntut haknya, ia harus lebih dahulu menunaikan kewajibannya.
𝐊𝐞𝐰𝐚𝐣𝐢𝐛𝐚𝐧 𝐋𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐃𝐮𝐥𝐮 𝐝𝐚𝐫𝐢𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐇𝐚𝐤
Prinsip ini sesungguhnya sangat relevan dalam kehidupan modern. Dalam rumah tangga misalnya, suami, istri, dan anak masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Rumah tangga akan harmonis bila setiap pihak mendahulukan kewajibannya — suami menunaikan tanggung jawabnya, istri menjalankan perannya dengan ikhlas, anak menghormati orang tuanya. Sebaliknya, bila masing-masing hanya menuntut hak tanpa mau menunaikan kewajiban, maka yang muncul adalah pertengkaran, saling menyalahkan, dan renggangnya kasih sayang.
Demikian pula dalam dunia kerja. Seorang pegawai negeri sipil (PNS) disebut abdi negara — pelayan publik yang bekerja bukan sekadar mencari nafkah, melainkan mengabdi untuk kepentingan masyarakat dan negara. Maka, kewajibannya adalah bekerja dengan disiplin, jujur, dan amanah. Haknya berupa gaji, tunjangan, dan penghargaan akan datang sebagai konsekuensi dari tanggung jawab yang dijalankan.
Sayangnya, di era digital dan teknologi informasi seperti sekarang, banyak yang justru terjebak pada praktik yang menyalahi nilai ini. Dengan kemudahan aplikasi dan perangkat teknologi, muncul godaan untuk memanipulasi tanggung jawab: absensi dilakukan dari rumah dengan memanfaatkan fake GPS, laporan kerja dibuat tanpa turun ke lapangan, atau waktu kerja digunakan untuk kepentingan pribadi.
Padahal, semua bentuk manipulasi seperti itu tidak pernah benar-benar tersembunyi. Manusia mungkin bisa menipu sistem atau atasan, tetapi tidak akan pernah bisa menipu Allah. Sebab, dalam spirit “Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn”, Allah menjadi saksi utama dari semua aktivitas manusia. Ia melihat bukan hanya apa yang tampak, tapi juga niat dan kejujuran yang tersembunyi dalam hati.
𝐄𝐭𝐨𝐬 𝐊𝐞𝐫𝐣𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐮𝐦𝐛𝐮𝐡 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐈𝐛𝐚𝐝𝐚𝐡
Jika kita hayati, “Iyyāka na‘budu” sejatinya mencakup seluruh bentuk ibadah, termasuk pekerjaan profesional. Seorang guru yang mengajar dengan niat ikhlas mencerdaskan anak bangsa, seorang petani yang menanam dengan tekun dan jujur, seorang pedagang yang bertransaksi tanpa menipu — semuanya sedang beribadah. Mereka sedang “menyembah” Allah dalam bentuk kerja yang amanah.
Petani, misalnya, tidak bisa menuntut hasil panen yang baik jika ia tidak menunaikan kewajibannya: menanam, merawat, memupuk, dan berdoa. Pedagang pun tidak pantas menuntut keuntungan jika ia malas membuka toko, berbohong kepada pelanggan, atau mengurangi timbangan. Begitu pula dalam profesi apapun: dokter, guru, aparatur negara, atau buruh, semuanya memiliki kewajiban yang harus ditunaikan sebelum menuntut haknya.
Spirit ayat ini menuntun kita untuk bekerja bukan karena manusia, tetapi karena Allah. Maka, seseorang yang memahami makna “Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn” akan tetap disiplin meski tidak ada yang mengawasi, tetap jujur meski kesempatan berbuat curang terbuka lebar, dan tetap amanah meski tidak ada pujian atau penghargaan.
𝐏𝐫𝐨𝐟𝐞𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦𝐞 𝐝𝐚𝐧 𝐒𝐩𝐢𝐫𝐢𝐭𝐮𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬
Etos kerja yang berakar dari nilai spiritual ini menjadi pondasi bagi kemajuan bangsa. Bangsa yang besar bukan hanya karena kecerdasan dan teknologi, tetapi karena integritas moral warganya. Dalam Islam, bekerja adalah bagian dari ibadah. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Artinya, setiap profesi yang dijalankan dengan niat tulus dan cara yang benar memiliki nilai ibadah yang tinggi.
Ketika seseorang bekerja dengan semangat ‘ubūdiyyah (penghambaan), ia akan merasa bahwa setiap tugas adalah amanah, bukan beban. Ia akan sadar bahwa rezeki bukan semata hasil kerja, tetapi juga karunia Allah. Karenanya, setelah menunaikan kewajiban dengan sungguh-sungguh, ia pun berhak untuk memohon pertolongan: “wa iyyāka nasta‘īn.” Di situlah keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal, antara tanggung jawab manusia dan rahmat Ilahi.
𝐈𝐤𝐡𝐭𝐢𝐭𝐚𝐦
Spirit “Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn” mengajarkan bahwa kesuksesan hidup tidak hanya diukur dari apa yang kita dapatkan, tetapi dari seberapa jujur kita menjalankan kewajiban. Dalam rumah tangga, pekerjaan, dan pengabdian sosial, ayat ini menegaskan prinsip dasar moral: kewajiban dulu, hak kemudian.
Dengan menjadikan ayat ini sebagai kompas moral, kita akan memiliki etos kerja yang berintegritas dan hati yang selalu terhubung dengan Allah. Sebab, apapun profesinya, pada akhirnya setiap manusia adalah abdi Allah — yang bekerja bukan semata untuk gaji, tetapi untuk ridha dan keberkahan dari-Nya.[]