Spirit Santri Ayah Kami : Renungan Hari Santri dan Estafet Nilai Kehidupan

oleh

Catatan Mahbub Fauzie (Penghulu Ahli Madya KUA Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah)

Peringatan Hari Santri 2025 dengan tema โ€œMengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Duniaโ€ menjadi momentum untuk menelusuri kembali akar spiritual bangsa.

Di balik sejarah panjang kemerdekaan Indonesia, tersimpan jejak para santri dan kiai yang berjuang bukan hanya dengan senjata, tetapi dengan ilmu, doa, dan keteguhan iman.

Bagi saya, tema tahun ini menghadirkan kenangan tentang almarhum ayah โ€” seorang santri tulen yang lahir di tahun 1930-an dan wafat pada 2016.

Beliau usai revolusi kemerdekaan 1945-1949, menimba ilmu di beberapa pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada dekade 1950-an, lalu kembali ke kampung halaman di Cilacap pada awal 1960-an. Setelah itu, aktif di NU dan GP Ansor. Sempat berjibaku bersama rekan-rekan pemuda dan umat Islam menghadapi PKI ketika itu.

Di kampung halaman, beliau mengabdi di tengah masyarakat desa mengajar ngaji, juru dakwah dan menjadi guru agama dengan semangat keikhlasan yang khas santri.

๐๐ž๐ฌ๐š๐ง๐ญ๐ซ๐ž๐ง ๐๐ข ๐‘๐ฎ๐ฆ๐š๐ก

Walau tidak semua anaknya sempat mondok, ayah menghadirkan suasana pesantren di rumah. Setiap pagi kami dibangunkan untuk salat Subuh berjamaah, dilanjutkan dengan mengaji.

Cara beliau mendidik sederhana: memberi teladan tanpa banyak kata. Rutinitas itu menumbuhkan disiplin dan kebiasaan spiritual yang melekat hingga kami dewasa.

Kami belajar bahwa santri bukan hanya status, melainkan sikap hidup โ€” taat beribadah, rendah hati, dan sabar menghadapi hidup.

Ketika kami mulai merantau menempuh pendidikan, nilai-nilai itu menjadi bekal moral yang kuat. Ayah sering berpesan, โ€œHidup ini ladang pengabdian. Ilmu dan amal harus berjalan seiring.โ€

๐‡๐ข๐ฃ๐ซ๐š๐ก ๐ค๐ž ๐€๐œ๐ž๐ก: ๐Œ๐ž๐ฅ๐š๐ง๐ฃ๐ฎ๐ญ๐ค๐š๐ง ๐๐š๐ฉ๐š๐ฌ ๐๐ž๐ฌ๐š๐ง๐ญ๐ซ๐ž๐ง

Tahun 1982, keluarga kami berhijrah ke Aceh, tanah yang baru namun terasa akrab karena sama-sama bernuansa religius. Di Tanah Gayo, ayah tetap membawa semangat santri yang penuh keikhlasan.

Di tengah masyarakat yang beragam, beliau menanamkan nilai persaudaraan dan keterbukaan. Dari sikapnya itu, kami belajar bagaimana ajaran pesantren bisa hidup di mana saja, tidak terbatas tembok dan pondok.

Hijrah itu seperti babak baru dalam perjalanan keluarga kami. Spirit santri yang diwariskan ayah menjadi bekal kami menyesuaikan diri dan menebar manfaat di lingkungan baru.

๐„๐ฌ๐ญ๐š๐Ÿ๐ž๐ญ ๐๐ข๐ฅ๐š๐ข ๐ฎ๐ง๐ญ๐ฎ๐ค ๐€๐ง๐š๐ค-๐€๐ง๐š๐ค

Kini, waktu berputar dan peran berpindah. Kalau dulu kami dididik dengan gaya santri di rumah, kini giliran anak-anak kami yang kami titipkan ke pesantren. Dari empat anak, tiga sudah mondok, sementara satu masih kecil dan belajar di rumah.

Rasanya ada kebahagiaan tersendiri ketika melihat mereka menapaki jalan yang dulu ditempuh kakeknya โ€” belajar agama dengan tekun, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.

Kami ingin menanamkan pada mereka bahwa pesantren bukan sekadar tempat menimba ilmu agama, tetapi tempat belajar hidup: mandiri, disiplin, dan menghargai guru. Pesan Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, dalam Amanat Hari Santri 2025 terasa sangat relevan:

โ€œSantri sekarang tidak hanya menguasai kitab kuning, tetapi juga teknologi, sains, dan bahasa dunia. Dunia digital harus menjadi ladang dakwah baru bagi santri.โ€

Kalimat itu seakan menegaskan pentingnya keseimbangan antara tradisi dan inovasi.

๐Œ๐ž๐ง๐ ๐š๐ฐ๐š๐ฅ ๐ˆ๐ง๐๐จ๐ง๐ž๐ฌ๐ข๐š ๐Œ๐ž๐ซ๐๐ž๐ค๐š

Dalam Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemenag, apel Hari Santri 2025 dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia, dengan semangat kebersamaan dan nasionalisme. Pesan ini sejalan dengan warisan para santri pendahulu: menjaga kemerdekaan bukan hanya dari ancaman fisik, tetapi juga dari penjajahan moral, kebodohan, dan kemalasan berpikir.

Santri masa kini harus mampu menjaga kedaulatan nilai โ€” menegakkan kejujuran, menolak korupsi, dan menyebarkan kedamaian.

Di mana pun berada, termasuk di kantor, sekolah, dan ruang publik, semangat santri dapat hadir dalam bentuk kerja tulus, pelayanan yang adil, dan tutur yang santun.

๐Œ๐ž๐ง๐ฎ๐ฃ๐ฎ ๐๐ž๐ซ๐š๐๐š๐›๐š๐ง ๐ƒ๐ฎ๐ง๐ข๐š

Tema โ€œMenuju Peradaban Duniaโ€ mengingatkan kita bahwa santri tidak boleh berhenti di masa lalu. Seperti pesan dalam amanat resmi Menteri Agama, santri harus menjadi bagian dari solusi bagi dunia: membawa kesejukan, menyebarkan ilmu, dan memperkenalkan wajah Islam yang ramah.

Peradaban dunia yang kita impikan bukanlah kemajuan tanpa arah, melainkan kemajuan yang berakar pada nilai-nilai keagamaan. Pesantren, dengan kearifan lokalnya, sesungguhnya telah lama menanamkan prinsip universal: menghargai perbedaan, menebar ilmu, dan mencintai tanah air.

๐–๐š๐ซ๐ข๐ฌ๐š๐ง ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐‡๐ข๐๐ฎ๐ฉ

Kini, setiap kali memperingati Hari Santri, saya selalu teringat wajah ayah yang tenang dan sabar. Ia mungkin tidak meninggalkan harta berlimpah, tetapi mewariskan sesuatu yang jauh lebih berharga โ€” semangat santri yang tulus dan membumi.

Warisan itu terus hidup: dalam cara kami bekerja, mendidik anak, dan berinteraksi dengan sesama. Spirit santri ayah kami adalah cahaya kecil yang menuntun langkah, dari Cilacap ke Aceh, dari masa lalu menuju masa depan.

Semoga semangat itu terus menyala, menjadi bagian dari ikhtiar besar kita semua dalam mengawal Indonesia merdeka menuju peradaban dunia.

Dirgahayu Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2025. Wallahul muwafiq ilaa aqwamith thariq. []

Atu Lintang, 22 Oktober 2025

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.