Oleh: Ahmad Dardiri (Kepala MAS Al-Huda Jagong Aceh Tengah)
Belakangan, masyarakat dihebohkan dengan tayangan salah satu stasiun televisi nasional, Trans7, yang dinilai melakukan framing negatif terhadap pesantren. Tayangan itu menuai kecaman dan bahkan memicu aksi demonstrasi dari berbagai pihak yang merasa marwah pesantren dilecehkan.
Namun di sisi lain, ada pula yang membela Trans7 dengan alasan bahwa memang ada sebagian kecil oknum di dunia pesantren yang berperilaku tidak terpuji — seperti kasus memberikan sesuatu kepada santri dengan cara dilempar, bahkan sampai pada perbuatan tercela seperti pelecehan terhadap santriwati.
Kita harus jujur mengakui bahwa memang ada oknum yang mencederai citra pesantren dan mencoreng nama baik para kiai dan ustadz yang selama ini berjuang menjaga nilai-nilai Islam.
Namun, sangat tidak adil jika karena segelintir kasus itu seluruh pesantren digeneralisasi buruk. Pesantren yang benar-benar menjaga adab, ilmu, dan nilai-nilai Islam sejati jauh lebih banyak.
Di pesantren yang sehat, hubungan antara santri dan ustadz dibangun atas dasar adab, penghormatan, dan kasih sayang. Santri menghormati ustadz bukan karena kultus pribadi, tetapi karena ilmu dan keteladanannya.
Tidak ada bentuk penghormatan yang berlebihan, apalagi sampai pada perilaku seperti “ngesot” yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hubungan itu tetap dalam batas-batas yang diajarkan Al-Qur’an, hadis, dan tradisi keilmuan Islam yang tidak bertentangan dengan syariat.
Jika memang ada kesalahan atau penyimpangan dalam penyelenggaraan pesantren, hal itu seharusnya dijadikan bahan introspeksi bersama. Pesantren tidak boleh menjadi lembaga yang menumbuhkan kultur feodalisme — di mana kiai atau ustadz diperlakukan bak raja dan santri menjadi abdi.
Justru sebaliknya, pesantren harus menjadi ruang pembebasan: tempat tumbuhnya kemandirian berpikir, kesucian hati, dan pengabdian yang tulus karena Allah semata.
Saya, sebagai pengajar di madrasah yang berada di bawah naungan yayasan yang juga mengelola pesantren, bersyukur karena tidak melihat perilaku tak senonoh di kalangan asatidz, dan juga tidak pernah melihat santri berlebihan dalam menghormati ustadz. Yang tampak justru suasana kasih, ketulusan, dan kesungguhan dalam menuntut ilmu.
Momen Hari Santri Nasional 2025, yang mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”, sudah sepatutnya pesantren tampil sebagai teladan moral dan peradaban. Pesantren harus mampu melahirkan santri dan ustadz yang merdeka dari hawa nafsu, serta beradab sesuai syariat Islam.
Dengan demikian, pesantren bukan hanya benteng aqidah dan ilmu, tetapi juga cahaya bagi bangsa — yang menuntun Indonesia menuju peradaban dunia yang berkeadaban, berilmu, dan beradab. []






