Catatan Mahbub Fauzie (Penghulu Ahli Madya KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah)
Setelah sujud yang penuh kepasrahan, seorang hamba tidak langsung bangkit. Ia berhenti sejenak—duduk di antara dua sujud. Posisi yang tampak sederhana, tetapi menyimpan kedalaman makna. Di sanalah ruh seorang mukmin beristirahat, menghela napas keimanan, dan menengadahkan doa penuh pengharapan.
Duduk di antara dua sujud bukan sekadar transisi gerak, melainkan ruang refleksi dan maaf. Saat dahi telah menyentuh bumi, manusia seakan berkata kepada Tuhannya: “Aku datang dari tanah, dan aku kembali kepada-Mu dengan segala kekuranganku.” Maka, ketika ia duduk, ia seolah sedang berjanji untuk memperbaiki diri, menata hati, dan menyiapkan langkah menuju sujud berikutnya—kepasrahan berikutnya.
Rasulullah SAW mengajarkan doa yang sangat indah pada posisi ini:
“Rabbighfir lii, warhamnii, wajburnii, warfa’nii, warzuqnii, wahdinii, wa ‘aafinii, wa’fu ‘annii.”
“Ya Tuhanku, ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, angkatlah derajatku, berilah aku rezeki, tunjukilah aku, berilah aku kesehatan, dan maafkanlah aku.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Doa ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan peta kehidupan seorang hamba. Ia mencakup seluruh kebutuhan dasar manusia: ampunan, rahmat, kecukupan, kemuliaan, petunjuk, kesehatan, dan maaf. Setiap kata memiliki gema yang menyentuh batin—dan bila direnungkan lebih dalam, doa ini juga menjadi cermin bagi kehidupan rumah tangga.
𝗥𝘂𝗺𝗮𝗵 𝗧𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮 𝗱𝗮𝗻 “𝗝𝗲𝗱𝗮” 𝗱𝗶 𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗗𝘂𝗮 𝗦𝘂𝗷𝘂𝗱 𝗞𝗲𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽𝗮𝗻
Hidup berumah tangga sejatinya juga memiliki “duduk di antara dua sujud”. Setelah melewati dua sujud kehidupan—jatuh dan bangun, kecewa dan bahagia, salah paham dan saling memahami—pasangan suami istri perlu duduk sejenak. Bukan untuk saling menuding, melainkan untuk menenangkan diri, memperbaiki luka, dan memohon ampunan.
Rumah yang mampu menyediakan ruang duduk seperti itu akan menjadi rumah yang penuh rahmat. Sebab setiap manusia, sebaik apa pun, pasti pernah tergelincir dalam kata atau perbuatan. Tapi Allah mengajarkan kita bahwa di antara dua sujud—antara dua ujian, dua kesalahan, dua perjalanan—selalu ada ruang untuk memperbaiki diri.
“𝗥𝗮𝗯𝗯𝗶𝗴𝗵𝗳𝗶𝗿 𝗹𝗶𝗶” — 𝗔𝗺𝗽𝘂𝗻𝗶𝗹𝗮𝗵 𝗔𝗸𝘂
Ini adalah pintu pertama menuju keharmonisan. Tidak ada rumah tangga yang bebas dari kesalahan. Suami bisa salah dalam keputusan, istri bisa khilaf dalam ucapan. Namun keberkahan rumah tangga bukanlah pada tiadanya kesalahan, melainkan pada kesediaan untuk meminta maaf dan memberi maaf.
“Rabbighfir lii” adalah pengakuan bahwa aku tidak sempurna. Dalam rumah tangga, keikhlasan mengucapkan “maaf” jauh lebih berharga daripada pembenaran panjang lebar. Memaafkan bukan berarti melupakan, tetapi membuka ruang bagi perbaikan.
Rumah yang di dalamnya ada ampunan akan menjadi tempat turunnya rahmat. Sebaliknya, rumah yang dipenuhi gengsi dan amarah akan menjadi sempit meski luas. Maka, mintalah ampun kepada Allah—dan belajarlah mengucapkan ampun kepada pasangan.
“𝗪𝗮𝗿𝗵𝗮𝗺𝗻𝗶𝗶” — 𝗥𝗮𝗵𝗺𝗮𝘁𝗶𝗹𝗮𝗵 𝗔𝗸𝘂
Setelah ampunan, manusia membutuhkan kasih sayang. Dalam konteks rumah tangga, “warhamnii” berarti: cintailah aku dengan rahmat-Mu, bukan hanya dengan rasa. Karena cinta yang hanya berlandaskan perasaan bisa pudar, tetapi cinta yang disiram rahmat akan tumbuh sepanjang usia.
Suami yang memiliki rahmah akan memimpin dengan kelembutan, bukan kekerasan. Istri yang berrahmah akan menaati dengan ketulusan, bukan ketakutan. Kasih sayang menjadikan rumah tangga bukan medan kuasa, melainkan taman kehangatan.
Rahmat adalah energi yang menyembuhkan luka-luka kecil dalam perjalanan bersama. Ia menjahit kembali robekan komunikasi, menghapus jejak air mata, dan menumbuhkan harapan baru setiap kali hati mulai letih.
“𝗪𝗮𝗷𝗯𝘂𝗿𝗻𝗶𝗶” — 𝗖𝘂𝗸𝘂𝗽𝗸𝗮𝗻𝗹𝗮𝗵 𝗔𝗸𝘂 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗯𝗮𝗶𝗸𝗶𝗹𝗮𝗵 𝗞𝗲𝗸𝘂𝗿𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻𝗸𝘂
Kata jabr dalam bahasa Arab berarti “menambal sesuatu yang retak”. Doa ini mengingatkan bahwa setiap manusia membawa luka, kekurangan, dan masa lalu yang tidak sempurna. Tidak ada pasangan yang lengkap. Maka, dalam rumah tangga, yang kita butuhkan bukan mencari yang sempurna, tetapi saling menyempurnakan.
“Wajburnii” berarti, “Ya Allah, bila aku memiliki kekurangan, tambalilah dengan kelebihan pasanganku.” Sebab sering kali perbedaan yang awalnya terasa mengganggu, justru menjadi pelengkap ketika diterima dengan lapang dada.
Allah yang Maha Jabbār—Maha Memperbaiki—akan menambal hati-hati yang retak, jika kita rela merendahkan diri di hadapan-Nya.
“𝗪𝗮𝗿𝗳𝗮’𝗻𝗶𝗶” — 𝗔𝗻𝗴𝗸𝗮𝘁𝗹𝗮𝗵 𝗗𝗲𝗿𝗮𝗷𝗮𝘁𝗸𝘂
Kemuliaan sejati dalam rumah tangga bukan karena jabatan, pendidikan, atau harta, tetapi karena ketaatan. Seorang suami mulia bukan karena tinggi penghasilannya, tetapi karena ia menunaikan amanah dengan tanggung jawab. Istri menjadi mulia bukan karena penampilannya, tetapi karena keikhlasan dalam menaati suami dan menjaga kehormatan keluarga.
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Ketika doa ini dipanjatkan, ia menjadi pengingat bahwa rumah tangga adalah ladang untuk saling mengangkat derajat, bukan saling menjatuhkan. Suami yang membimbing dengan lembut, dan istri yang menasihati dengan bijak—keduanya sedang saling mengangkat di mata Allah.
“𝗪𝗮𝗿𝘇𝘂𝗾𝗻𝗶𝗶” — 𝗕𝗲𝗿𝗶𝗹𝗮𝗵 𝗔𝗸𝘂 𝗥𝗲𝘇𝗲𝗸𝗶
Rezeki bukan hanya uang dan harta, tetapi juga rasa aman, kedamaian, dan keberkahan. Banyak rumah tangga yang berkecukupan secara materi, namun miskin ketenangan. Maka mintalah rezeki yang menenteramkan hati, bukan sekadar menambah tabungan.
Doa ini mengingatkan bahwa setiap nikmat datang dari Allah. Ketika rezeki terasa sempit, jangan menyalahkan pasangan, tapi periksa kembali hubungan kita dengan Sang Pemberi Rezeki.
Rezeki yang halal dan penuh berkah akan menjadikan rumah tangga kuat menghadapi badai. Sementara rezeki yang kotor, meski banyak, akan membuat hati gersang.
“𝗪𝗮𝗵𝗱𝗶𝗻𝗶𝗶” — 𝗧𝘂𝗻𝗷𝘂𝗸𝗶𝗹𝗮𝗵 𝗔𝗸𝘂 𝗝𝗮𝗹𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗲𝗻𝗮𝗿
Rumah tangga bagaikan kapal yang berlayar di samudra luas. Tanpa kompas petunjuk, ia akan mudah tersesat di tengah badai. “Wahdinii” adalah permohonan agar suami dan istri tetap satu arah menuju Allah.
Di zaman modern yang penuh godaan, banyak rumah tangga terombang-ambing oleh gaya hidup dan ego pribadi. Doa ini menjadi jangkar agar bahtera keluarga tetap berlayar di jalur syariat.
Petunjuk Allah bukan hanya soal ibadah, tapi juga cara berkomunikasi, bersabar, dan mengambil keputusan. Tanpa petunjuk-Nya, cinta bisa berubah menjadi beban, dan rumah tangga menjadi ladang pertengkaran.
“𝗪𝗮 ‘𝗮𝗮𝗳𝗶𝗻𝗶𝗶” — 𝗦𝗲𝗵𝗮𝘁𝗸𝗮𝗻𝗹𝗮𝗵 𝗔𝗸𝘂
Tidak ada nikmat yang lebih besar setelah iman selain kesehatan. Rumah tangga yang sehat lahir dan batin akan mudah saling mendukung. Suami yang sehat akan mampu bekerja dan menunaikan tanggung jawab. Istri yang sehat akan menjaga rumah dengan gembira. Anak-anak yang sehat akan tumbuh dalam keceriaan.
Namun kesehatan batin juga penting. Luka hati yang tidak disembuhkan dapat merusak cinta lebih cepat dari penyakit tubuh. Maka mintalah kepada Allah agar hati tetap sehat dari iri, benci, dan dendam. Rumah yang sehat batinnya adalah rumah yang setiap harinya diisi doa dan dzikir.
“𝗪𝗮’𝗳𝘂 ‘𝗮𝗻𝗻𝗶𝗶” — 𝗠𝗮𝗮𝗳𝗸𝗮𝗻𝗹𝗮𝗵 𝗔𝗸𝘂
Doa ini menjadi penutup yang sangat lembut. Setelah meminta ampun, rahmat, rezeki, dan petunjuk, hamba itu menunduk lebih dalam: “Maafkanlah aku, ya Allah.”
Dalam kehidupan berumah tangga, ucapan maaf memiliki kekuatan luar biasa. Ia mampu mencairkan kebekuan, menenangkan badai, dan menghidupkan kembali cinta yang hampir padam.
Maaf adalah bahasa para pecinta yang beriman. Mereka tidak menunggu dimintai maaf untuk memberi maaf. Sebab mereka tahu, memaafkan adalah cara Allah memuliakan hati yang lembut.
𝗠𝗮𝗸𝗻𝗮 𝗧𝘂𝗺𝗮’𝗻𝗶𝗻𝗮𝗵: 𝗧𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗜𝗯𝗮𝗱𝗮𝗵
Rasulullah SAW pernah melihat seorang sahabat yang shalat dengan tergesa-gesa. Beliau bersabda:
“Kembalilah dan shalatlah, karena engkau belum shalat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pesan ini tidak hanya berlaku dalam shalat, tapi juga dalam rumah tangga. Jangan terburu-buru menilai pasangan, jangan cepat-cepat memutuskan sesuatu, apalagi menyesali kehidupan. Duduklah sejenak—seperti dalam shalat—bertenanglah, renungkan, dan mohonkan petunjuk.
Tuma’ninah adalah seni melambat di tengah kesibukan, seni mendengarkan di tengah perbedaan, dan seni bersyukur di tengah kekurangan. Dalam rumah tangga, tuma’ninah berarti memberi ruang bagi pasangan untuk bernapas, untuk bercerita, untuk menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.
𝗝𝗲𝗱𝗮 𝗕𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗔𝗸𝗵𝗶𝗿
Setelah duduk di antara dua sujud, seorang hamba kembali bersujud. Ia kembali menundukkan diri, lebih dalam, lebih lembut. Ini mengajarkan bahwa setelah refleksi dan maaf, langkah berikutnya adalah ketaatan.
Begitu pula rumah tangga. Setelah jeda—setelah saling meminta dan memberi maaf—kita harus kembali bersujud dalam arti menaati Allah bersama. Karena pada akhirnya, rumah tangga yang kuat bukanlah yang bebas dari masalah, tetapi yang selalu kembali kepada Allah setelah setiap ujian.
Duduk di antara dua sujud adalah jeda, bukan akhir. Ia adalah ruang perbaikan sebelum penghambaan berikutnya. Demikian pula rumah tangga: jeda bukan berarti menyerah, tetapi kesempatan untuk memperindah perjalanan cinta.
Di titik itu, cinta menjadi ibadah, rumah menjadi madrasah, dan suami-istri menjadi dua insan yang saling menuntun menuju surga.
“Duduklah sejenak dalam cinta, renungkan, maafkan, dan lanjutkan perjalanan menuju sujud berikutnya—menuju Allah.”[]