Catatan Mahbub Fauzie (Penghulu Ahli Madya KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah)
Sujud adalah puncak dari seluruh gerakan dalam shalat. Ketika dahi menyentuh bumi, seorang hamba berada pada posisi paling rendah di hadapan Allah. Namun justru pada titik kerendahan itulah, ia mencapai puncak kedekatan dengan Sang Pencipta.
Dalam sujud, manusia tidak hanya menundukkan tubuh, tetapi juga menundukkan hati—melepaskan genggaman ego dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah.
Rasulullah SAW bersabda: “Seorang hamba paling dekat dengan Rabb-nya ketika ia sedang sujud, maka perbanyaklah doa di dalamnya.” (HR. Muslim)
Dalam sujud, seorang muslim melafazkan doa agung: “Subhāna Rabbiyal A‘lā wa bihamdih. (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi dan segala puji bagi-Nya).
Kalimat pendek ini sarat makna. Ia adalah pengakuan yang jujur dari hati yang sadar, bahwa tak ada yang lebih tinggi selain Allah. Saat dahi bersentuh dengan bumi, keangkuhan luluh, ego runtuh, dan diri sepenuhnya pasrah. Di situlah manusia benar-benar mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya.
Sujud mengajarkan bahwa kehormatan tidak lahir dari ketinggian, melainkan dari kerendahan di hadapan Allah. Di titik ini, manusia menemukan keseimbangan antara kehinaan dirinya dan keagungan Tuhannya. Ia sadar bahwa seluruh daya, upaya, dan keberhasilan hanyalah karena pertolongan Allah semata.
𝗦𝘂𝗷𝘂𝗱 𝗱𝗮𝗻 𝗠𝗮𝗸𝗻𝗮 𝗞𝗲𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽𝗮𝗻 𝗥𝘂𝗺𝗮𝗵 𝗧𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮
Makna sujud yang begitu dalam ini memiliki cerminan yang indah dalam kehidupan rumah tangga. Setelah belajar tunduk dalam rukuk, dan menegakkan keseimbangan dalam i‘tidal, kini suami dan istri diajak menuju puncak spiritual hubungan: kepasrahan dan keikhlasan.
Rumah tangga yang sakinah tidak dibangun hanya di atas cinta, tetapi di atas kesediaan untuk bersujud bersama—secara harfiah maupun maknawi. Ketika dua insan bersujud, mereka sama-sama mengakui keterbatasan, memohon pertolongan Allah, dan menyerahkan masa depan hubungan mereka kepada-Nya.
Allah berfirman: “Dan sujudlah serta dekatkanlah dirimu kepada Allah.” (QS. Al-‘Alaq: 19)
Kata iqtarib (mendekatlah) menunjukkan bahwa sujud adalah jalan taqarub—kedekatan. Semakin rendah seseorang menundukkan dirinya di hadapan Allah, semakin tinggi derajatnya di sisi-Nya. Dan dalam rumah tangga, semakin suami dan istri sama-sama menundukkan hati, semakin dekat pula mereka satu sama lain.
Kepasrahan bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan. Hanya orang yang berani mengalah demi kebenaran yang sesungguhnya kuat. Suami yang berani meminta maaf, istri yang sabar menahan amarah—itulah bentuk sujud dalam makna sosialnya. Mereka bukan kalah, tetapi sedang menang atas diri sendiri.
𝗜𝗸𝗵𝗹𝗮𝘀: 𝗜𝗻𝘁𝗶 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗦𝘂𝗷𝘂𝗱 𝗱𝗮𝗻 𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮
Sujud juga mengajarkan ikhlas. Saat kita mengucap Subhāna Rabbiyal A‘lā, kita tidak meminta apa pun selain ridha Allah. Dalam rumah tangga pun, cinta sejati lahir dari keikhlasan—berbuat baik tanpa pamrih, memberi tanpa menuntut balas, mencintai tanpa harus selalu dimengerti.
Banyak rumah tangga retak bukan karena hilangnya cinta, tetapi karena berkurangnya keikhlasan. Padahal, cinta yang ikhlas adalah cinta yang paling tahan ujian. Suami yang ikhlas memimpin dan istri yang ikhlas mendampingi akan menemukan kedamaian yang tak dapat dibeli dengan apa pun.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah, kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
Demikian pula dalam keluarga: ketika masing-masing mau merendahkan hati, mengalah, dan memaafkan, Allah akan meninggikan derajat rumah tangga itu—bukan hanya di mata manusia, tetapi juga di sisi-Nya.
𝗦𝘂𝗷𝘂𝗱, 𝗧𝗮𝗻𝗮𝗵, 𝗱𝗮𝗻 𝗞𝗲𝘀𝗮𝗱𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗔𝘀𝗮𝗹 𝗨𝘀𝘂𝗹
Dalam sujud, dahi bersentuh dengan tanah—tempat manusia diciptakan. Ini bukan sekadar simbol, melainkan pengingat. Dari tanah yang rendah, Allah menumbuhkan kehidupan. Begitu pula, dari hati yang tunduk, Allah menumbuhkan cinta yang suci.
Rumah tangga yang kokoh bukan dibangun di atas kemewahan, melainkan di atas kesederhanaan, kesabaran, dan kejujuran. Tanah itu lembut, namun kokoh menopang kehidupan. Begitulah hati yang lembut dalam rumah tangga—tidak keras, tidak tinggi, tetapi sanggup menumbuhkan kebahagiaan.
𝗧𝘂𝗺𝗮’𝗻𝗶𝗻𝗮𝗵: 𝗧𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗦𝘂𝗷𝘂𝗱, 𝗗𝗮𝗺𝗮𝗶 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮
Tidak sah sujud tanpa tuma’ninah—berhenti sejenak dalam ketenangan. Begitu pula rumah tangga, tidak akan bahagia tanpa waktu hening untuk menenangkan diri, menahan amarah, atau sekadar merenungi nikmat Allah bersama.
Kadang yang dibutuhkan bukan nasihat panjang, tapi satu sujud yang tulus. Di sanalah hati luluh, air mata jatuh, dan jiwa kembali bersih. Di sana cinta disucikan dari rasa memiliki yang berlebihan, dan dikembalikan menjadi ibadah yang menenteramkan.
𝗦𝘂𝗷𝘂𝗱 𝗕𝗲𝗿𝘀𝗮𝗺𝗮: 𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗠𝗲𝗻𝘆𝗮𝘁𝘂 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗜𝗯𝗮𝗱𝗮𝗵
Ketika suami dan istri bersujud bersama, ketika berjamaah misalnya, dalam ruang hati yang sama, mereka sesungguhnya sedang menghidupkan ruh pernikahan: ibadah bersama menuju Allah. Sujud menjadikan cinta bukan sekadar perasaan, melainkan pengabdian.
Rasulullah SAW bersabda: “Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota: dahi—dan beliau menunjuk hidungnya—kedua tangan, kedua lutut, dan ujung-ujung kedua kaki.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tujuh anggota tubuh ini melambangkan keterlibatan total. Begitulah semestinya rumah tangga dijalani: dengan seluruh hati, tenaga, pikiran, dan waktu. Bukan separuh cinta, tetapi cinta yang utuh dan bertanggung jawab.
𝗧𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗧𝗲𝗿𝗲𝗻𝗱𝗮𝗵, 𝗣𝘂𝗻𝗰𝗮𝗸 𝗧𝗲𝗿𝘁𝗶𝗻𝗴𝗴𝗶
Sujud adalah titik terendah sekaligus tertinggi. Di sanalah keangkuhan manusia lenyap dan kemuliaan cinta tumbuh. Di titik itu pula, rumah tangga menemukan makna terdalamnya: bahwa mereka tidak sedang berjuang melawan satu sama lain, tetapi bersama-sama menempuh jalan menuju ridha Allah.
Ketika sujud menjadi napas rumah tangga—setiap masalah diakhiri dengan doa, setiap kesalahpahaman diselesaikan dengan istighfar—maka rumah itu akan dipenuhi rahmat. Karena di setiap sujud yang tulus, cinta dibersihkan, hati disembuhkan, dan keluarga didekatkan kepada Allah.
Sujud bukan hanya gerak tubuh, tapi bahasa hati. Ia adalah cara seorang hamba berkata: “Ya Allah, aku lemah tanpa-Mu.” Dan ketika suami dan istri mampu mengucapkan kalimat itu bersama, maka sejatinya mereka sedang menegakkan rumah tangga di atas sujud—di atas kepasrahan total yang mengantarkan mereka kepada kemuliaan cinta dan ketenangan jiwa.[]