Catatan Mahbub Fauzie (Penghulu Ahli Madya KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah)
Setelah rukuk, seorang muslim berdiri tegak kembali dalam posisi i’tidal, seraya mengucapkan,
“Sami‘allāhu liman ḥamidah” — Allah mendengar orang yang memuji-Nya, dan dijawab dengan, “Rabbanā wa lakal ḥamd” — Ya Rabb kami, bagi-Mu segala puji.
I’tidal adalah gerakan kembali tegak setelah tunduk. Ia melambangkan keseimbangan dan keadilan, seolah mengingatkan bahwa setelah kerendahan hati, seseorang harus kembali tegak dengan penuh keadilan. Dalam i’tidal, tidak boleh tergesa menuju sujud, karena ketenangan dan kesempurnaan shalat bergantung pada tuma’ninah di dalamnya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak sempurna shalat seseorang hingga ia berdiri tegak lurus dalam rukuk dan i’tidal.” (HR. Muslim)
Gerakan ini menjadi cermin penting dalam kehidupan rumah tangga. Setelah suami dan istri belajar menunduk dalam kerendahan hati, mereka harus mampu berdiri kembali untuk menegakkan keseimbangan, keadilan, dan kehormatan.
Rumah tangga yang bahagia bukan hanya rumah yang penuh cinta, tetapi juga yang penuh keadilan dan keseimbangan peran. Suami menunaikan kewajiban dengan tanggung jawab, istri menjalankan perannya dengan kesadaran, dan keduanya saling menghormati hak masing-masing.
Allah berfirman:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf, tetapi para suami mempunyai satu derajat kelebihan atas mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Ayat ini tidak untuk menegaskan superioritas, melainkan untuk menegakkan keseimbangan peran: setiap pihak memiliki tanggung jawab yang berbeda namun saling melengkapi. I’tidal mengajarkan bahwa dalam setiap hubungan harus ada posisi tegak — tidak berat sebelah, tidak timpang.
Ketika seorang suami berlaku adil, tidak menuntut lebih dari yang ia berikan, tidak menekan, dan tidak semena-mena, maka ia sedang menegakkan i’tidal dalam rumah tangganya.
Demikian pula seorang istri yang menunaikan kewajibannya dengan ikhlas, tanpa melupakan hak dan martabat dirinya — itulah bentuk i’tidal yang hidup dalam keseharian.
Rasulullah SAW mencontohkan keadilan yang sempurna dalam memperlakukan keluarganya.
Beliau bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi)
I’tidal dalam rumah tangga juga berarti memberi ruang bagi pasangan untuk tumbuh. Setiap insan memiliki kelebihan dan kekurangan; adil berarti mampu menimbang keduanya dengan bijak. Kadang cinta harus menunduk (rukuk), kadang harus menegakkan diri (i’tidal). Keduanya adalah dua sisi dari keseimbangan yang saling melengkapi.
Dalam shalat, i’tidal bukan hanya berdiri secara fisik, tetapi juga momen memuji dan mensyukuri. Kalimat “Rabbana wa lakal hamd” mengajarkan bahwa setiap kebangkitan, setiap tegaknya hubungan, harus dimulai dengan pujian kepada Allah. Begitu pula dalam rumah tangga, setiap pemulihan dari konflik harus diawali dengan syukur — bukan penyesalan yang berlebihan, tetapi kesadaran bahwa Allah masih memberi kesempatan untuk memperbaiki.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak menambah bagi seorang hamba yang memberi maaf kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
Dalam i’tidal terkandung dua dimensi: keadilan dan pengangkatan derajat. Barangsiapa mampu bersikap adil, Allah akan meninggikan posisinya di dunia dan akhirat. Maka rumah tangga yang adil — yang menegakkan kejujuran, saling menghormati, dan saling memaafkan — adalah rumah yang diangkat derajatnya oleh Allah.
I’tidal juga mengajarkan keseimbangan spiritual: bahwa setelah tunduk (rukuk), seseorang tidak boleh terus terpuruk. Ia harus bangkit dengan semangat baru, menegakkan kembali niat, dan mengembalikan arah kepada Allah.
Begitu pula rumah tangga: setelah melewati ujian, pasangan suami istri perlu berdiri kembali, menyatukan tekad, dan melangkah bersama dengan keadilan dan cinta yang diperbarui.
Sungguh indah jika rumah tangga dihidupkan dengan semangat i’tidal: suami istri saling menegakkan, bukan menjatuhkan; saling menyeimbangkan, bukan menyaingi; saling menguatkan, bukan melemahkan.
Karena sebagaimana shalat tidak sempurna tanpa berdiri tegak di antara rukuk dan sujud, rumah tangga pun tidak akan sempurna tanpa keadilan yang menegakkan cinta dan keseimbangan yang menjaga kedamaian.[]