Catatan Mahbub Fauzie*
Dalam shalat, rukuk adalah rukun yang menandai peralihan dari berdiri tegak menuju pembungkukan penuh penghormatan. Seorang muslim menundukkan tubuhnya, meluruskan punggung, menempatkan telapak tangan di lutut, dan dengan khusyuk mengucap,
“Subhāna Rabbiyal ‘Azhīm”
(Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung).
Gerakan rukuk adalah simbol ketundukan total di hadapan keagungan Allah. Dari posisi tegak—yang melambangkan kekuatan, ego, dan kebebasan manusia—kita diajak menunduk, menyadari keterbatasan diri, dan mengakui kebesaran Tuhan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Adapun rukuk, maka agungkanlah di dalamnya Tuhanmu.” (HR. Muslim)
Rukuk bukan sekadar gerakan fisik, tapi sikap batin: belajar rendah hati di hadapan Yang Maha Tinggi. Dalam konteks rumah tangga, rukuk dapat dimaknai sebagai pelajaran tentang keseimbangan antara ketegasan dan ketundukan, antara hak dan tanggung jawab, antara cinta dan kerendahan hati.
Suami dan istri, masing-masing memiliki posisi tegak dalam kehidupannya. Namun keduanya perlu tahu kapan saatnya menunduk—bukan untuk merendahkan diri di hadapan manusia, tapi untuk menjaga keharmonisan dan kasih sayang.
Rumah tangga sering retak bukan karena kurangnya cinta, tapi karena kerasnya ego yang enggan menunduk. Padahal, rukuk mengajarkan bahwa tidak ada kehormatan yang berkurang karena menunduk; justru di sanalah kehormatan hakiki tumbuh — ketika seseorang mampu menahan diri dan mengalah demi kebaikan bersama.
Rukuk juga mengandung makna keseimbangan. Rasulullah SAW mengajarkan agar punggung saat rukuk “lurus seperti papan,” tidak terlalu menunduk dan tidak terlalu tegak. Dari sini kita belajar bahwa rumah tangga yang bahagia adalah yang seimbang: antara dunia dan akhirat, antara kewajiban dan kasih, antara mendengar dan didengar.
Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini mengandung keseimbangan yang indah: sakinah (ketenangan) dari hati yang tunduk, mawaddah (cinta) dari hati yang memberi, dan rahmah (kasih sayang) dari hati yang mengalah.
Begitu pula rukuk dalam rumah tangga—ia menjadi simbol bagaimana masing-masing pasangan harus siap menundukkan diri demi menjaga keutuhan cinta. Bukan karena lemah, tetapi karena cinta yang sejati menuntut kebesaran jiwa untuk menghormati dan memahami.
Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” (HR. Tirmidzi)
Rukuk mengajarkan kita menundukkan ego agar hubungan menjadi ringan. Saat suami marah, hendaklah ia menahan diri sebagaimana ia menahan punggung saat rukuk, tidak menekan, tidak pula membentak. Saat istri merasa tersakiti, hendaklah ia mengingat bahwa rukuk adalah latihan untuk membungkukkan hati, bukan hanya tubuh.
Dalam setiap rukuk, ada doa yang lembut: “Maha Suci Engkau, ya Rabb, Yang Maha Agung.” Begitu pula dalam rumah tangga, hendaknya setiap perbedaan dan ketegangan dihadapi dengan mengingat keagungan Allah. Bahwa tidak ada keputusan, tidak ada kemenangan, kecuali dengan izin dan ridha-Nya.
Rukuk juga mengajarkan waktu untuk berhenti sejenak. Di tengah rutinitas rumah tangga yang penuh dinamika, perlu ada momen “rukuk bersama”—momen untuk menenangkan hati, menurunkan nada bicara, dan kembali mengingat tujuan utama: mencari ridha Allah.
Dari rukuk kita belajar bahwa yang paling mulia bukanlah yang paling tinggi suaranya, melainkan yang paling dalam ketundukannya. Rumah tangga yang diberkahi Allah bukanlah yang tanpa perbedaan, tetapi yang di dalamnya ada kesediaan untuk tunduk dan saling menghormati.
Maka, sebagaimana rukuk dalam shalat tidak sah kecuali dengan tuma’ninah, demikian pula kehidupan rumah tangga tidak akan tenang tanpa ketenangan hati — berhenti sejenak, saling memahami, dan menunduk bersama di hadapan keagungan Allah.
Ketika dua insan belajar rukuk dalam kehidupan, mereka tidak hanya menjaga cinta, tetapi juga menjaga ibadahnya. Karena rumah yang penuh kerendahan hati adalah rumah yang paling dekat dengan rahmat Allah.[]
*Penghulu Ahli Madya KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah