Catatan: Mahbub Fauzie*
Setelah Al-Fatihah dibacakan dalam shalat, seorang muslim dianjurkan untuk melanjutkannya dengan membaca surah atau beberapa ayat dari Al-Qur’an. Di titik inilah kalamullah menggema di antara keheningan semesta — menjadi percakapan rahasia antara hamba dan Rabb-nya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak sah shalat bagi siapa yang tidak membaca Ummul Kitab (Al-Fatihah) dan sesuatu dari Al-Qur’an bersamanya.” (HR. Muslim)
Bacaan setelah Al-Fatihah bukanlah sekadar pelengkap, melainkan wujud cinta yang hidup antara hamba dan Tuhannya. Ayat-ayat yang mengalun adalah sapaan lembut dari langit — penuntun, pengingat, dan penyejuk hati yang gersang. Allah SWT berfirman:
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Isra’: 82)
Dalam konteks rumah tangga, bacaan setelah Al-Fatihah dapat dimaknai sebagai nafkah ruhani. Bila Al-Fatihah ibarat niat dan fondasi — “meluruskan arah dan tujuan hidup” — maka bacaan setelahnya adalah perjalanan kehidupan itu sendiri: bagaimana ayat-ayat Allah menjadi panduan langkah dalam suka dan duka berumah tangga.
Sebuah rumah tangga tanpa Al-Qur’an ibarat jasad tanpa ruh. Banyak keluarga tekun memenuhi kebutuhan jasmani — makanan, pakaian, tempat tinggal — namun lalai memberi santapan bagi jiwanya: tilawah, tadabbur, dan dzikir.
Rasulullah SAW bersabda:
“Perumpamaan rumah yang dibacakan Al-Qur’an dan rumah yang tidak dibacakan di dalamnya Al-Qur’an adalah seperti orang hidup dan orang mati.” (HR. Muslim)
Maka, bacaan setelah Al-Fatihah mengingatkan kita bahwa rumah tangga pun memerlukan “ayat-ayat lanjutan” — nilai-nilai yang terus hidup setelah akad terucap. Tidak cukup hanya niat baik di awal pernikahan; ia harus terus disirami dengan cahaya wahyu agar tidak layu di tengah perjalanan.
Setiap ayat memiliki pesan yang bisa menjadi cermin kehidupan rumah tangga.
Ketika membaca Al-‘Ashr, kita diingatkan bahwa waktu terus berjalan; kebersamaan harus diisi dengan iman, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran serta kesabaran.
Saat melantunkan Adh-Dhuha, kita belajar untuk saling menenangkan ketika salah satu merasa ditinggalkan, karena janji Allah jelas: “Dan sungguh, Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak (pula) membencimu.”
Dalam Al-Ikhlas, kita belajar ketulusan — bahwa cinta sejati bukanlah karena pamrih, tetapi karena Allah Yang Maha Esa.
Membaca Al-Qur’an dalam shalat adalah latihan mendengarkan Allah berbicara kepada kita. Membaca Al-Qur’an dalam rumah tangga adalah upaya menjadikan seluruh keluarga hidup di bawah suara itu — suara kasih, tuntunan, dan cahaya.
Ketika suami dan istri menjadikan Al-Qur’an sebagai bacaan bersama, rumah mereka akan dipenuhi ketenangan. Anak-anak yang tumbuh di bawah lantunan ayat-ayat suci akan terbiasa lembut hati dan beradab terhadap orang tuanya. Rumah seperti itu tidak hanya berdinding batu, tetapi berdinding cahaya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Maka di antara tugas besar keluarga muslim adalah menjadikan Al-Qur’an bukan sekadar bacaan dalam shalat, tetapi bacaan dalam kehidupan — dibaca dengan lisan, direnungkan dengan hati, dan dihidupkan dengan perilaku.
Seperti bacaan setelah Al-Fatihah yang memperindah dan menyempurnakan shalat, demikian pula nilai-nilai Al-Qur’an akan memperindah dan menyempurnakan rumah tangga. Sebab rumah tangga tanpa bimbingan wahyu hanya berjalan dengan logika, sementara cinta sejati hanya tumbuh dengan petunjuk Ilahi.
Dan di sanalah letak keindahan hakiki: ketika rumah tangga menjadi taman yang dialiri ayat-ayat Allah — tempat cinta tumbuh dalam cahaya, dan setiap napas menjadi dzikir yang menenangkan jiwa []
*Penghulu KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah





