Catatan Mahbub Fauzie*
Wudhu adalah gerbang suci menuju perjumpaan seorang hamba dengan Tuhannya. Ia bukan sekadar ritual membasuh anggota tubuh dengan air, tetapi ibadah yang menyentuh dimensi rohani terdalam.
Di setiap basuhan, tersimpan makna penyucian diri, ketundukan, dan kesiapan hati untuk menghadirkan ketenangan. Seorang yang berwudhu bukan hanya membersihkan diri dari hadas kecil, tetapi juga berusaha menenangkan jiwanya agar siap berdialog dengan Allah.
Begitu pula dalam membangun rumah tangga. Rumah tangga yang penuh kesejukan dan keberkahan tidak akan lahir dari jiwa yang kotor oleh amarah, ego, dan prasangka. Ia memerlukan proses penyucian yang terus-menerus, seperti halnya wudhu yang menjadi syarat sebelum melaksanakan shalat.
Maka, memahami hikmah wudhu sejatinya mengajarkan kita cara menciptakan rumah tangga yang bersih, teduh, dan menyenangkan untuk ditinggali.
Pertama, niat dalam wudhu mengajarkan keikhlasan dalam setiap langkah. Wudhu dimulai dengan niat, satu kalimat yang sederhana namun bermakna dalam: “Aku niat berwudhu untuk mengangkat hadas kecil karena Allah Ta’ala.”
Begitu pula dalam membina rumah tangga, segala sesuatu harus dimulai dengan niat yang lurus. Niat menikah karena Allah, bukan semata karena cinta duniawi.
Ketika niatnya benar, segala tantangan kehidupan rumah tangga akan terasa lebih ringan, karena fondasinya bukan kesenangan sesaat, melainkan ibadah panjang menuju ridha Allah.
Niat yang benar menjadikan setiap pengorbanan terasa mulia. Seorang suami yang bekerja keras menafkahi keluarganya dan seorang istri yang sabar melayani keluarganya, keduanya sedang “berwudhu” dalam makna spiritual: membersihkan niat agar amal mereka tidak ternoda oleh pamrih.
Kedua, membasuh wajah adalah simbol membersihkan pandangan dan ekspresi. Wajah adalah cermin hati. Dengan membasuh wajah, seorang hamba seakan berkata kepada dirinya: “Aku ingin menghadirkan wajah yang bersih di hadapan Allah.”
Dalam rumah tangga, wajah juga menjadi simbol komunikasi. Senyum tulus, tatapan lembut, dan raut sabar bisa menjadi obat bagi pasangan. Wajah yang selalu tersenyum adalah wudhu bagi suasana rumah, menyejukkan dan menenangkan.
Berapa banyak rumah tangga retak bukan karena masalah besar, melainkan karena wajah yang sering cemberut, kata-kata yang dingin, atau tatapan yang tajam.
Maka, belajarlah dari wudhu: basuhlah wajahmu agar setiap ekspresi yang keluar adalah pantulan hati yang bersih.
Ketiga, membasuh tangan hingga siku mengandung pelajaran tentang tanggung jawab dan kerja keras. Tangan adalah alat berbuat dan bekerja. Dengan membasuhnya, kita diingatkan untuk membersihkan perbuatan dari hal-hal yang kotor dan zalim.
Dalam konteks rumah tangga, tangan yang bersih melambangkan tanggung jawab dan kasih sayang. Suami menafkahi dengan tangan yang jujur, istri melayani dengan tangan yang ikhlas, keduanya saling menyentuh tanpa menyakiti.
Rumah tangga yang hangat lahir dari tangan-tangan yang saling menolong. Tangan yang menepuk lembut bahu pasangan di saat lelah, tangan yang menghapus air mata anak, tangan yang mengulurkan maaf, semua itu adalah manifestasi wudhu dalam bentuk nyata.
Keempat, mengusap kepala adalah simbol kebeningan pikiran. Kepala adalah pusat akal dan pikiran. Mengusap kepala berarti membersihkan niat dan logika dari pikiran buruk, kebencian, dan kesombongan.
Dalam rumah tangga, suami istri harus mampu menjaga pikiran mereka dari prasangka dan ego. Pikiran yang jernih akan melahirkan keputusan yang bijak, sementara pikiran yang keruh hanya akan menimbulkan pertengkaran.
Betapa banyak masalah rumah tangga dapat diselesaikan jika masing-masing mau berpikir dengan tenang dan jernih, tanpa dipenuhi emosi.
Mengusap kepala dalam wudhu adalah latihan spiritual untuk itu, menyegarkan akal agar setiap keputusan diambil dengan keseimbangan antara logika dan cinta.
Kelima, membasuh kaki hingga mata kaki mengajarkan tentang arah langkah kehidupan. Kaki adalah simbol perjalanan. Membasuh kaki berarti menjaga langkah agar tetap berada di jalan yang diridhai Allah.
Dalam rumah tangga, langkah bersama harus searah: menuju tujuan yang sama, bukan saling berlawanan. Ketika suami melangkah dalam ketaatan dan istri mendampinginya dengan kesetiaan, maka rumah tangga itu akan terus kokoh meski diterpa ujian.
Wudhu menuntun kita agar setiap langkah di rumah tangga membawa kebaikan, menuju masjid, menuju silaturahmi, menuju amal saleh. Bukan langkah menuju pertengkaran, kebohongan, atau kelalaian.
Dan akhirnya, tertib dalam wudhu mengajarkan pentingnya keteraturan dan kesabaran. Wudhu tidak sah jika dilakukan sembarangan.
Semua harus berurutan dan tertib. Demikian pula kehidupan rumah tangga: perlu tatanan, perlu kesabaran, perlu kesadaran akan proses.
Tidak ada rumah tangga yang langsung harmonis tanpa belajar saling memahami. Ia tumbuh seiring waktu, seperti air wudhu yang mengalir perlahan menyucikan setiap anggota tubuh.
Wudhu bukan sekadar ritual, tetapi latihan spiritual agar kita mampu hidup dengan kesucian lahir dan batin. Dan rumah tangga sejatinya adalah “mihrab kecil” tempat kita beribadah dan membangun ketenangan.
Maka, jika ingin rumah tangga yang sejuk, lakukanlah “wudhu” dalam kehidupan berumah tangga, bersihkan niat, lembutkan wajah, sucikan tangan, jernihkan pikiran, dan luruskan langkah.
Insya Allah, rumah yang dibangun di atas kesucian niat dan kesejukan hati akan menjadi surga kecil di dunia, tempat bernaung dari panasnya kehidupan, tempat beristirahat dari penat dunia, dan tempat mengalirnya rahmat Allah yang tak pernah putus.[]
*Penghulu Ahli Madya KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah







