Menghidupkan Masjid sebagai Garda Depan Umat

oleh
Masjid Jami Al-Huda Jagong Jeget Foto: Mahbub Fauzie

Oleh : Mahbub Fauzie, S.Ag., M.Pd*

Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah melaksanakan kegiatan penting bagi umat, yakni Pelatihan Peningkatan Kapasitas Imam Kampung yang diikuti 765 imam dari 295 kampung di 14 kecamatan.

Kegiatan ini berlangsung selama 10 hari, mulai 16 hingga 25 September 2025, di Aula Hotel Penemas Takengon, dengan menghadirkan imam kampung dan imam rawatib. Pelaksana kegiatan adalah Pemkab Aceh Tengah di bawah kepemimpinan Bupati Drs. Haili Yoga, M.Si.

Program ini patut kita syukuri dan apresiasi. Ia menunjukkan perhatian serius pemerintah daerah terhadap penguatan peran imam sebagai garda depan syariat Islam sekaligus penggerak sosial kemasyarakatan.

Tidak berlebihan jika langkah ini disebut sebagai investasi peradaban, sebab masjid bukan hanya pusat ibadah, melainkan juga pusat peradaban umat Islam.

Dalam sambutannya, Bupati menegaskan bahwa imam kampung tidak cukup hanya memimpin salat, tetapi juga harus tampil sebagai pelayan umat.

Masjid harus menjadi pusat pelayanan sosial, tempat belajar, sekaligus ruang membangun solidaritas. Bahkan beliau mencontohkan bahwa kotak amal masjid sebaiknya dibagi untuk anak yatim, fakir miskin, dan pembangunan. Pesan ini sarat makna: masjid mesti hadir di tengah umat dengan memberi manfaat nyata.

Dari Pelatihan ke Tindak Lanjut Nyata

Meski demikian, pelatihan tidak boleh berhenti pada seremoni atau sekadar memperoleh sertifikat. Tantangan berikutnya adalah tindak lanjut yang konkret. Imam-imam yang telah mendapat pembekalan perlu didukung dengan sistem manajemen masjid yang lebih baik, serta partisipasi jamaah yang berkelanjutan.

Dalam tradisi pengelolaan masjid, dikenal tiga konsep utama: idarah (manajemen), imarah (kemakmuran), dan riayah (pemeliharaan). Tiga aspek ini harus berjalan seimbang agar masjid benar-benar hidup.

Idarah, Tata Kelola yang Rapi dan Indah

Tidak sedikit masjid di kampung-kampung kita yang masih dikelola seadanya. Jadwal imam, muazin, bahkan khatib Jumat sering belum tertata rapi. Tak jarang, muazin hanya orang yang sama dari waktu ke waktu, bahkan yang sudah renta, sementara anak-anak muda enggan tampil.

Karena itu, inventarisasi khatib setempat di tingkat kampung, kecamatan, hingga kabupaten menjadi penting. Mereka bisa dijadwalkan secara bergiliran, sehingga jamaah memperoleh keragaman khutbah.

Selain itu, perlu dipikirkan insentif sederhana untuk muazin dan khadam masjid. Bukan soal jumlah, tetapi soal penghargaan terhadap pengabdian mereka. Dengan manajemen yang rapi, kepercayaan jamaah akan meningkat, dan regenerasi bisa berlangsung baik.

Imarah, Menghidupkan Masjid Libatkan Anak Muda

Pertanyaan yang sering muncul adalah: di mana anak muda ketika azan dikumandangkan? Tidak jarang, muazin hanyalah orang yang sama, bahkan sudah lanjut usia. Generasi muda sering terlihat di warung kopi atau sibuk dengan gawai.

Di sinilah peran sarakopat (reje, imem, petue, dan rayat genap mupakat) sangat penting. Mereka dapat mengambil inisiatif untuk melibatkan remaja masjid dalam jadwal azan, tadarus, pengajian, atau kegiatan sosial. Dengan sistem giliran, anak muda terbiasa memikul tanggung jawab keagamaan.

Jika hal ini terwujud, masjid akan menjadi ruang interaksi lintas generasi: orang tua memberi teladan, anak muda belajar sekaligus mengabdi. Inilah proses regenerasi kepemimpinan umat yang alami, dimulai dari masjid.

Riayah, Pemeliharaan Masjid sebagai Bentuk Ibadah

Masjid juga harus dirawat secara fisik agar tetap nyaman. Kebersihan, fasilitas air wudhu, toilet, dan ruang salat adalah bagian dari pelayanan.

Apalagi Aceh Tengah merupakan daerah tujuan wisata. Wisatawan muslim yang singgah akan menilai tidak hanya alamnya, tetapi juga kenyamanan masjidnya.

Hal sederhana seperti menyediakan air minum, kipas angin, atau ruang istirahat bisa meninggalkan kesan mendalam. Jika masjid-masjid kita mampu memberikan pelayanan terbaik, maka Aceh Tengah tidak hanya dikenal dengan keindahan Danau Lut Tawar atau kopi Gayo, tetapi juga keramahan masjidnya.

Sarakopat sebagai Penggerak

Dalam tradisi Gayo, sarakopat adalah struktur sosial yang berwibawa. Reje, imem, petue, dan rayat genap mupakat dapat menjadi motor penggerak untuk memastikan masjid benar-benar menjadi pusat kegiatan kampung. Mereka bisa menata jadwal imam, muazin, dan khatib, sekaligus memotivasi masyarakat agar rutin hadir di masjid.

Kerja sama ini akan semakin kuat bila didukung pemerintah daerah, KUA, serta penyuluh agama. Imam kampung tidak boleh berjalan sendiri. Dukungan kelembagaan dan sosial sangat menentukan keberhasilan.

Menuju Kampung Qur’ani

Bupati juga menyampaikan rencana untuk menetapkan satu kampung Qur’ani di setiap kecamatan. Gagasan ini sangat baik. Kampung Qur’ani bukan hanya tempat orang pandai membaca Al-Qur’an, tetapi juga tempat masjid dikelola dengan baik, imam dan muazin muda aktif, khatib terjadwal, serta jamaah terlayani. Jika model ini berhasil, ia bisa menjadi teladan bagi kampung lain.

Masjid adalah jantung kehidupan umat Islam. Dari masjid, lahir cahaya ilmu, ibadah, dan solidaritas. Apa yang dilakukan Pemkab Aceh Tengah dengan melatih ratusan imam kampung adalah langkah strategis untuk menguatkan peran masjid.

Namun, pelatihan hanyalah awal. Yang lebih penting adalah tindak lanjut nyata: menguatkan manajemen, melibatkan anak muda, merawat masjid, dan memperkuat peran sosialnya.

Dengan idarah yang baik, imarah yang hidup, dan riayah yang terjaga, masjid akan benar-benar menjadi garda depan umat. Dari sanalah lahir generasi Qur’ani yang siap memimpin, masyarakat yang solid, dan peradaban Islam yang lebih bermartabat.

Mari bersama memakmurkan masjid. Karena masjid yang hidup adalah tanda umat yang kuat []

*Kepala KUA Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.