Oleh : Joni Suryawan*
Program Makan Bergizi (MBG) selama ini kerap digadang-gadang sebagai solusi peningkatan gizi anak sekolah. Namun kenyataannya, di lapangan program ini rentan bocor, penuh rente birokrasi, bahkan sering lebih menguntungkan vendor ketimbang menyehatkan murid.
Jika tujuan awalnya adalah memastikan anak Indonesia tumbuh sehat, kuat, dan cerdas, maka sudah waktunya kita mengubah skema secara mendasar.
Konsep Dapur Sekolah Plus hadir sebagai jawaban. Bukan sekadar bagi-bagi nasi kotak, tapi membangun dapur permanen di setiap sekolah.
Infrastruktur dapur untuk SD dan SMP dibiayai APBD kabupaten/kota, SMA/SMK/SLB ditanggung APBD provinsi, sementara sekolah keagamaan dibiayai penuh oleh Kementerian Agama.
Dengan pola ini, tanggung jawab pembiayaan jelas, tidak ada lagi lempar-lempar kewenangan antar lembaga.
Operasional dapur melibatkan koki utama profesional yang digaji setara UMR provinsi dari APBD provinsi/Kemenag.
Orang tua murid ikut serta melalui sistem piket bergiliran, namun dengan penghargaan yang adil berupa insentif transport maksimal Rp100 ribu per hari.
Skema ini menegaskan bahwa gotong royong tidak boleh memeras tenaga orang tua tanpa imbalan.
Pengawasan pun harus diperkuat. Tidak cukup hanya Dinas Pendidikan, tetapi juga Dinas Kesehatan wajib terlibat untuk menjamin standar gizi, higienitas, serta keamanan makanan. Dengan begitu, setiap makanan yang masuk ke mulut anak benar-benar sehat dan aman.
Keuntungan sistem ini berlapis: anak sekolah mendapat asupan bergizi, orang tua dilibatkan secara aktif, koki profesional mendapat kepastian kerja, dan ekonomi lokal ikut bergerak karena bahan pangan dipasok dari petani sekitar sekolah. Inilah model pembangunan yang berkeadilan dan berpihak pada rakyat, bukan pada rente birokrasi.
Jika negara serius pada generasi emas 2045, maka Dapur Sekolah Plus bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah kewajiban. Anak-anak berhak mendapat makanan sehat yang dimasak dengan hati, bukan sekadar kotak nasi hasil tender.
*Eks kombatan Linge dengan nama sandi Raja Muda, kini pegiat ekonomi lokal di Aceh