Oleh: Mahbub Fauzie*
Plato, filsuf Yunani Kuno, pernah berkata dalam Republik: “Kecerdasan tanpa karakter adalah senjata yang membahayakan.” Ia mengibaratkannya seperti pedang di tangan anak kecil, tajam, mematikan, tapi tanpa arah moral.
Pandangan ini sejalan dengan pesan-pesan Islam yang menekankan pentingnya akhlak dalam kehidupan, lebih dari sekadar kecerdasan intelektual.
Kita sering terpukau pada orang cerdas: yang pandai bicara, cepat berpikir, dan mampu memenangkan debat. Namun dalam pandangan Plato, dan juga Islam, yang membuat sebuah negara selamat bukanlah otak yang cemerlang, melainkan jiwa yang tertata.
Dalam Islam, karakter yang baik (akhlak) adalah bukti ketakwaan. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Takwa adalah bentuk karakter sejati: jujur, sabar, berani menahan diri, dan adil. Maka cerdas saja tidak cukup jika digunakan untuk menipu, memutarbalikkan fakta, atau sekadar memenangkan ego.
Rasulullah SAW menegaskan: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad)
Ini menandakan bahwa pendidikan dalam Islam bukan hanya soal kecerdasan logika, tetapi juga pembentukan jiwa. Tanpa karakter, kecerdasan justru menjadi alat manipulasi.
𝐀𝐤𝐭𝐢𝐯𝐢𝐬, 𝐀𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐬 𝐝𝐚𝐧 𝐄𝐭𝐢𝐬
Para aktivis muda, khususnya mahasiswa, adalah penggerak perubahan. Mereka hadir untuk mengawal keadilan, mengkritisi kebijakan, dan menyuarakan suara rakyat. Namun keberanian harus diiringi etika.
Kita boleh kritis, tapi tetap etis. Kita bisa menyuarakan ketidakadilan, namun jangan sampai suara kita ditunggangi amarah atau kepentingan politik jangka pendek.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangan. Jika tak mampu, dengan lisan. Jika tak mampu juga, maka dengan hati. Dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Hadis ini tidak hanya menyuruh kita bertindak, tetapi juga menimbang cara. Berubah dengan cara yang tidak tepat, justru menciptakan kemungkaran baru.
𝐏𝐞𝐫𝐛𝐚𝐢𝐤𝐢 𝐃𝐢𝐫𝐢 𝐒𝐞𝐢𝐫𝐢𝐧𝐠 𝐎𝐛𝐬𝐞𝐬𝐢 𝐌𝐞𝐦𝐩𝐞𝐫𝐛𝐚𝐢𝐤𝐢 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢
Dalam perjuangan memperbaiki negeri, jangan lupa memperbaiki diri. Aktivis yang kuat bukan hanya pandai berbicara, tapi juga bisa menjaga shalatnya, lisannya, dan jiwanya dari sifat takabbur.
Allah menegaskan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Aktivisme sejati dimulai dari keteladanan. Jika ingin publik berubah, kita harus menjadi contoh. Jika ingin pemimpin adil, kita harus menanamkan keadilan dalam perilaku kita sehari-hari.
Plato mengibaratkan hidup seperti kapal. Kecerdasan adalah layar yang membuat kapal melaju cepat. Tapi karakter adalah kompas yang menentukan arah. Dalam Islam, layar itu adalah ilmu dan kompetensi. Kompasnya adalah iman dan akhlak.
Jangan hanya kerja cerdas. Kerjalah juga dengan ikhlas. Jangan hanya memburu kemenangan argumen. Jaga pula kebenaran dalam niat dan cara.
Negeri ini tidak kekurangan orang pintar, tapi sering kekurangan orang yang jujur. Maka pertanyaan utama kita bukan hanya: “Seberapa cerdas aku?”, tapi juga: “Seberapa kuat karakternya aku?”
Karena kecerdasan membuat kita dikagumi, tapi karakterlah yang membuat kita dipercaya. Dan hanya kepercayaan yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari jurang yang dalam.
*PENULIS 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎 𝐾𝑈𝐴 𝐾𝑒𝑐𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐴𝑡𝑢 𝐿𝑖𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔, 𝐴𝑐𝑒ℎ 𝑇𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ. 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑓 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑟ℎ𝑎𝑡𝑖 𝑖𝑠𝑢 𝑠𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙-𝑘𝑒𝑎𝑔𝑎𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑖𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑔𝑒𝑛𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑚𝑢𝑑𝑎