Hibah Parpol: Rakyat Bertanya, Untuk Siapa Uang Rp 29 Miliar Itu?

oleh

Oleh: Joni Suryawan*

Pemerintah Aceh menetapkan alokasi dana hibah partai politik tahun 2025 sebesar Rp 29,3 miliar. Angka ini dihitung dari suara sah Pemilu 2024 dengan tarif Rp 10.000 per suara.

Secara hukum, langkah ini berlandaskan PP No. 5 Tahun 2009 dan Permendagri No. 78 Tahun 2020. Artinya, secara prosedural memang tidak salah.

Namun, sah secara aturan belum tentu pantas secara moral. Di pelosok Aceh, petani masih berjuang mencari pupuk, lapangan pekerjaan sulit didapat, kemiskinan terus menghimpit, harga beras kian mahal, nelayan kesulitan membeli solar, dan pelayanan dasar masyarakat sering tertunda.

Dalam situasi seperti ini, publik wajar mempertanyakan: mengapa partai politik justru mendapat prioritas anggaran yang begitu besar?

Apalagi, lonjakan dari Rp 5 miliar pada 2022 menjadi Rp 29 miliar di 2025 membuat publik semakin curiga. Apakah ada pertanggungjawaban transparan atas penggunaan dana hibah parpol selama ini? Apakah dana benar-benar dipakai untuk pendidikan politik rakyat, atau sekadar berakhir di acara seremonial?

Legalitas memang ada, tetapi akuntabilitas masih gelap. Etika politik seharusnya menuntut partai untuk memberi teladan dalam pengelolaan uang rakyat, bukan justru menambah beban APBA yang sudah terbatas.

Di titik ini, publik berharap lembaga pengawas seperti BPK hadir sebagai penjaga terakhir. Selama ini uang Aceh memang diaudit BPK. Namun jika hasil audit tak sejalan dengan fakta di lapangan, wajar publik bertanya: apakah ada laporan yang “dilunakkan”, atau ada kepentingan yang membuat temuan menjadi tumpul? Bila lembaga pengawas ikut bermain, maka kepercayaan rakyat runtuh, dan itu sama saja dengan mengkhianati amanah publik.

Rakyat Aceh berhak menuntut jawaban: untuk siapa sebenarnya uang Rp 29 miliar itu? Untuk pendidikan politik rakyat, atau hanya untuk menggemukkan partai?

*Pegiat Ekonomi Lokal, Tinggal di Aceh

Comments

comments