Oleh : Fauzan Azima*
(Dowa seni nge taring jangin)
Demikian adanya warisan nenek moyang kita berupa mantra telah kehilangan magisnya. Rapalan itu tidak lebih sebagai kalimat puitis yang kehilangan ruhnya. Padahal dulu Gayo identik dengan dowa.
Pada 1948, agresi militer Belanda kedua, orang-orang sakti yang bergabung dalam pasukan Barisan Gurilla Rakyat (Bagura) berangkat berperang ke Tanah Karo mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan hanya bersenjatakan pedang dan dowa. Tapi mampu mengusir penjajah yang mempunyai alutsista yang lengkap.
Pada tahun 1953-1961, demikian juga dengan pejuang DI/TI Resimen V (Daerah tengah tenggara Aceh) mampu menguasai Kota Takengon dan bertahan dengan senjata rampasan karena gerilyawan itu rata-rata masih punya kesaktian yang lahir dari dowa.
Pada tahun 90-an beberapa tempat strategis dikuasai urang Gayo. Terminal Blok M ada Win Gayo, meskipun beliau penyandang distabilitas seluruh preman di Jakarta Selatan itu tunduk kepadanya. Sabil di Tanah Abang, Yusuf di Menteng, Anwar di Terminal Rajabasa Lampung dan di Terminal Amplas Medan ada Bedul.
Tentu saja sebelum mereka meninggalkan kampung halaman untuk mencari kehidupan yang lebih baik telah siap dengan bekal “Akal kin pangkal, kekire kin belenye” serta dowa. Dengan modal peri mustike dan ilmu ghaib mampu menjadi penguasa di negeri orang.
Sayangnya, seiring dengan perjalanan waktu,urang Gayo mulai meninggalkannya. Sehingga silsilah dowa terputus dan keampuhannya semakin tergerus.
Akibat lanjutnya guru kampung atau dukun yang mumpuni dalam mengobati penyakit medis dan non medis sudah tiada. Kita tidak pernah lagi mendengar dukun patah sepopuler Guru Garing yang menyembuhkan cedera tulang “tidak pake lama.”
Begitulah, urang Gayo sudah terlalu lama meninggalkan dowa. Padahal dowa dulu membantu menyelesaikan persoalan hidup. Sekarang urang Gayo pasrah dengan realitas yang ada. Bahkan dowa sebagai syarat merantau telah ditinggalkan.
Percayalah, sejarah perjalanan dowa yang pernah hilang akan bangkit kembali. Pada saatnya nanti urang Gayo pasti butuh dowa. DNA urang Gayo memang berseliweran dengan dowa. Tapi untuk membangkitkan ruhnya, dowa perlu dimodifikasi dan disesuaikan dengan zaman.
Dowa ari muyang datu, diantaranya; langkah, kebel, penimbul, pelayang, pengasih, pemanis, pepiluk, penglimun, uris dan sarang bedil akan bangkit dari tidur panjangnya jika digabungkan dengan prinsif fisika quantum. Percampuran gagasan itulah disebut sebagai “dowa quantun.”
Prinsif fisika quantum menjelaskan perilaku materi dan energi pada skala atom atau sub-atom; elektron, neutron, dan foton. Partikel poton bisa menembus dinding beton yang utuh.
Demikian juga dengan dowa bila diurai dari kalimat, kata dan hurufnya serta faham secara mendalam tentang seluk beluk, filosofi, silsilah dan divisualisasikan dengan detail akan melahirkan frekuensi, vibrasi, energi yang tak terbendung. Pengamalnya akan mampu menembus ruang dan waktu sebagai mana prinsif fisika quantum.
Perlu disadari dowa quantum bukan untuk pengganti tindakan nyata. Tapi sebagai penguat untuk pengembangan diri. Kita tetap harus belajar dan berusaha untuk mengupdrade diri. Jadi dowa quantum bukan sesuatu yang berdiri sendiri.
Andai pendahulu kita, orang sakti di tahun 1990-an yang menguasai terminal di Jakarta dan Sumatera punya pendidikan formal, setidaknya mereka akan seperti pendiri dan ketua Pemuda Pancasila, Yapto Soeryosoemarno yang mendapat fasilitas dari negara.
Keistimewaan pengamal dowa quantum walaupun tidak punya jabatan di suatu negeri, mereka akan menjadi penguasa bayangan. kata-katanya menjadi hukum dan kenangan terhadap dirinya lebih hidup daripada kehadirannya.
(Mendale, September 18, 2025)

											





