(Aceh) Menyatukan Pedalaman dan Pesisir dalam Satu Kesatuan Ekonomi Besar

oleh

Oleh : Joni Suryawan (Pegiat ekonomi lokal, tinggal di Aceh)

Sejarah selalu menyimpan cermin bagi masa depan. Jika kita menoleh ke masa lalu Aceh, ada pelajaran berharga tentang bagaimana pedalaman dan pesisir tidak berdiri sendiri, melainkan saling menopang dalam sebuah ekosistem ekonomi yang besar.

Tanoh Gayo dan pedalaman lainnya adalah dapur yang menghasilkan hasil bumi, sementara pesisir Aceh adalah pasar dunia yang menjual dan menyalurkan kekayaan itu ke jaringan internasional. Dua kutub ini, jika disatukan kembali secara strategis, bisa menjadi modal ekonomi Aceh masa kini.

Pedalaman sebagai Dapur Produksi

Tanoh Gayo, Alas, hingga dataran tinggi lainnya sejak lama dikenal sebagai penghasil pangan dan komoditas penting. Tomé Pires, penulis Portugis dalam Suma Oriental (1512–1515), sudah menyinggung betapa Sumatra bagian dalam menghasilkan lada, beras, kayu, dan berbagai komoditas yang menjadi incaran pasar Asia.

Namun, hasil bumi itu tidak langsung dijual oleh penduduk pedalaman. Jalurnya selalu lewat bandar pesisir, yang bertindak sebagai pintu ekspor.

Di era kemudian, Valentijn dalam Oud en Nieuw Oost-Indiën (1724) menggambarkan betapa komoditas dari pedalaman menjadi denyut nadi perdagangan Aceh.

Ia mencatat bahwa kapal-kapal asing tidak mungkin berhubungan langsung dengan pedalaman, karena akses geografis yang sulit. Peran orang-orang pesisir menjadi kunci: mereka yang membawa hasil bumi ke pelabuhan, mereka pula yang bernegosiasi dengan pedagang asing.

Artinya, sejak awal Gayo dan pedalaman adalah produsen, dan keberadaan mereka menentukan hidup-matinya pelabuhan Aceh.

Pesisir sebagai Pasar Dunia

Jika pedalaman adalah dapur, maka pesisir adalah pasar yang terhubung ke jalur perdagangan global. Banda Aceh, Pidie, hingga pelabuhan-pelabuhan kecil di utara dan barat adalah simpul jaringan dagang yang menghubungkan Aceh dengan India, Turki Utsmani, Arab, hingga Eropa.

Dalam laporan VOC abad ke-17, disebutkan bahwa Sultan Aceh sangat bergantung pada pajak yang dipungut dari perdagangan pelabuhan. Pajak itu bukan hanya datang dari pedagang asing, tetapi juga dari komoditas pedalaman.

Mekanisme ini memperlihatkan simbiosis: tanpa barang dari pedalaman, pelabuhan tidak akan makmur; tanpa pelabuhan, pedalaman tidak akan punya nilai ekonomi global.

Bahkan Snouck Hurgronje dalam De Atjehers (1893) menulis dengan jelas bahwa Aceh bukanlah negara dengan sistem pemerintahan sentral, melainkan federasi dari wilayah-wilayah otonom (uleebalang dan kerajaan lokal).

Ia menekankan bahwa tiap wilayah memiliki kemandirian dalam adat, militer, dan pajak, sebuah struktur yang sejatinya cocok dengan sistem federal. Di sini terlihat bahwa Aceh bukan sekadar satu titik kekuasaan di pesisir, melainkan jaringan antara pedalaman dan pesisir.

Kesatuan Maritim Agraris: Sumber Kejayaan Aceh

Pada abad ke-16 hingga ke-17, Aceh dikenal sebagai salah satu kerajaan terkaya dan terkuat di Asia Tenggara.

Kekuatan ini bukan lahir hanya dari kapal perang atau pelabuhan, melainkan dari kombinasi hasil bumi pedalaman ditukar dengan senjata, kain, dan barang-barang mewah lewat pelabuhan pesisir.

Komoditas lada, kayu, dan beras dari pedalaman adalah “minyak bumi” pada zamannya. Tanpa itu, Aceh tidak akan punya daya tawar di mata pedagang Gujarat, Turki, Portugis, atau Belanda. Inilah yang membuat Aceh tampil sebagai kekuatan maritim-agro, sebuah kombinasi unik yang jarang disadari.

Tantangan Sejarah: Perpecahan Pedalaman – Pesisir

Sayangnya, struktur kolonial Belanda dan politik modern pasca kemerdekaan justru sering memisahkan pedalaman dari pesisir. Kolonial Belanda menata ulang wilayah Aceh dengan membatasi peran uleebalang, memisahkan jalur ekonomi, dan memaksakan kontrol sentral.

Pasca Indonesia merdeka, sistem provinsi membuat hubungan pedalaman pesisir semakin tidak terasa sebagai satu kesatuan ekonomi.

Akibatnya, muncul kesan seakan Gayo berdiri sendiri sebagai “penghasil kopi” dan pesisir hanya sibuk dengan urusan maritim. Padahal, sejarah panjang menunjukkan keduanya hanya bisa berjaya bila berjalan bersama.

Pelajaran bagi Masa Kini

Kini, ketika dunia menyoroti potensi kopi Gayo, rempah, dan hasil bumi lainnya, ada baiknya Aceh kembali belajar dari sejarah. Kopi Gayo tidak akan memiliki nilai tinggi jika hanya dijual sebagai bahan mentah.

Ia perlu pelabuhan, branding, jalur ekspor, dan diplomasi dagang yang dulu pernah dikuasai orang-orang pesisir.

Sebaliknya, pelabuhan Aceh baik Lhokseumawe, Banda Aceh, atau pelabuhan lain tidak akan berkembang jika tidak ada komoditas kuat dari pedalaman. Maka, kekuatan Aceh sejatinya lahir dari persenyawaan pedalaman dan pesisir.

Sejarawan Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce (1988) menyebut Aceh sebagai salah satu contoh terbaik bagaimana “ekonomi laut” dan “ekonomi darat” bisa menyatu. Ia menekankan bahwa kekuatan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara yang bertahan lama selalu ditentukan oleh keberhasilan menghubungkan kedua dunia ini.

Menyatukan Gayo dan Pesisir

Jika sejarah menjadi guru, maka masa depan Aceh harus dibangun di atas penyatuan Gayo dan pesisir. Gayo tidak boleh hanya dilihat sebagai penghasil kopi, dan pesisir tidak boleh hanya dilihat sebagai jalur keluar-masuk kapal. Mereka adalah dua sisi dari satu koin: Aceh sebagai kekuatan ekonomi besar.

Dengan sinergi ini, Aceh tidak hanya bisa mengulang kejayaan sejarahnya, tetapi juga tampil sebagai model pembangunan ekonomi berbasis sejarah lokal. Dunia akan kembali melihat Aceh bukan hanya sebagai daerah konflik atau pinggiran, melainkan sebagai pusat perdagangan dan produksi seperti dahulu kala.

Penutup

Sejarah Aceh bukan sekadar kisah raja-raja atau peperangan. Ia adalah kisah tentang dapur pedalaman yang penuh hasil bumi, dan pasar pesisir yang menjualnya ke dunia. Tomé Pires, Valentijn, arsip VOC, hingga Snouck Hurgronje semuanya merekam hal yang sama: Aceh hanya kuat bila pedalaman dan pesisir berjalan bersama.

Kini, tugas kita adalah membaca kembali sejarah itu dengan jernih. Menyatukan Gayo dan pesisir bukanlah romantisme masa lalu, melainkan strategi masa depan. Jika Aceh mampu menyatukan kembali kedua kutubnya, maka Aceh bisa bangkit sebagai kekuatan ekonomi besar di kawasan ini, sebagaimana ia pernah berdiri megah di mata dunia.

Referensi:

Tomé Pires, Suma Oriental (1512–1515)

François Valentijn, Oud en Nieuw Oost-Indiën (1724)

VOC Records (17th century archives, Dutch East Indies)

Snouck Hurgronje, De Atjehers (1893)

Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680 (1988)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.