8 Dekade Merdeka : Bersyukur, Bergerak, dan Mencintai Negeri Ini dengan Ilmu

oleh

Oleh: Mahbub Fauzie*

Menanggapi kembali tulisan sahabat saya, Dr. Marah Halim, yang menggelitik dengan judul: “80 Tahun Merdeka, Masih Meunan-Meunan: Kritik atas Mental Block Bangsa”, saya merasa perlu kembali menyuarakan pandangan saya.

Bukan untuk membantah, apalagi menafikan keresahan dan curhatan beliau yang sangat relevan, tetapi untuk menambahkan ruang optimisme yang tidak kalah penting dalam diskusi kebangsaan kita.

Saya sepakat: 80 tahun bukan usia muda bagi sebuah bangsa. Kita telah melewati masa-masa getir, luka sejarah, gejolak sosial-politik, dan tantangan pembangunan yang tak pernah selesai.

Maka, sah-sah saja jika kita bertanya, apa capaian kita hari ini? Apakah kita hanya berjalan di tempat? Apakah kita memang akan tetap “meunan-meunan” saja?

Tapi, saya ingin mengajak kita semua untuk berhenti sejenak dari pesimisme. Bukan untuk menghibur diri, tetapi untuk memulai dari rasa syukur.

Betul, kita belum sekuat China dalam teknologi militer. Kita belum sefuturistik Jepang dalam robotik. Kita belum setangguh Jerman dalam manufaktur. Tapi kita punya banyak pencapaian yang perlu diakui dengan jujur, bahwa bangsa ini bergerak. Tidak stagnan.

Lihatlah geliat pendidikan di madrasah (walau secara pribadi saya bukan alumni madrasah seperti Dr Marah Halim), semangat reformasi birokrasi di Kementerian Agama, dan keberanian merumuskan kurikulum yang bukan hanya mencetak “manusia kerja”, tetapi manusia yang utuh, yang mencintai ilmu, lingkungan, sesama, dan Tuhannya.

Terkait : 80 Tahun Merdeka, Masih Meunan-Meunan : Kritik Atas Mental Block Bangsa

Di tengah semua tantangan, ada arah baru yang sedang dibangun. Salah satunya adalah gagasan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang digagas Menag kita saat ini.

KBC bukan sekadar jargon. Ia adalah tawaran konkret dari pemerintah melalui Kemenag untuk menjawab kebuntuan pendidikan yang selama ini terlalu kognitif, terlalu hitung-hitungan nilai, dan minim sentuhan kemanusiaan.

Pendidikan sejatinya bukan hanya soal menghasilkan teknokrat atau akademisi, tapi juga warga negara yang punya empati, tanggung jawab, dan akhlak sosial.

Kritik tentang lemahnya iptek kita sangat valid. Saya juga pernah menyuarakan hal serupa. Namun saya melihat bahwa KBC tidak bertentangan dengan itu.

Justru sebaliknya: KBC ingin menjadi landasan nilai dalam membangun daya tahan bangsa. Kita pinjam istilah dari ilmu sosial profetik ala Koentowijoyo, yang menekankan tiga hal: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Saya melihat KBC mengandung ketiganya.

Humanisasi, karena KBC berupaya memanusiakan proses pendidikan. Menghidupkan relasi yang empatik antara guru dan siswa.

Liberasi, karena ingin membebaskan pendidikan dari sekadar angka dan nilai ujian. KBC ingin membebaskan manusia dari kebodohan struktural, bukan hanya dengan pengetahuan, tapi juga dengan kasih.

Transendensi, karena meletakkan spiritualitas bukan sebagai tempelan, melainkan sebagai jantung pendidikan. Anak-anak tidak hanya diajarkan ilmu, tapi juga kejujuran, tanggung jawab, dan cinta pada sesama.

Di titik inilah saya melihat kritik sahabat saya tidak perlu berseberangan (atau pesimis?) dengan arah perubahan yang sedang dibawa KBC.

Bahkan mainstreamisasi matematika, bahasa Inggris, dan bahasa Arab yang diusulkan beliau justru saya lihat sebagai satu sayap penting dari arah yang sama. KBC menyediakan ruhnya, dan mainstreamisasi ilmu alat menyediakan kerangkanya.

Kita butuh anak-anak madrasah yang bisa menguasai coding, AI, literasi global, tapi juga tidak kehilangan nilai spiritual dan tanggung jawab sosial.

Kita ingin mereka menjadi ilmuwan yang bukan hanya cerdas, tapi juga jujur. Dokter yang bukan hanya terampil, tapi juga empatik. Politisi yang bukan hanya fasih bicara, tapi juga punya nurani.

Oleh karena itu, mari kita satukan semangat ini. Kita tidak boleh puas hanya dengan “slogan kemajuan”, tapi juga jangan cepat putus asa hanya karena kemajuan itu belum secepat harapan kita.

Progres bangsa ini adalah sebuah proses panjang, dan saya yakin, kita sedang berada di jalur yang benar, meskipun belum sampai pada titik yang ideal.

Kita harus terus menyuarakan gagasan, mengkritik dengan cinta, dan menawarkan solusi. Mental block yang disebut oleh Dr. Marah Halim memang nyata. Tapi cara menembusnya bukan hanya dengan marah dan cemas, melainkan dengan membangun dan mencintai.

Seperti pesan Imam Ali: “Ajarkan anak-anakmu bukan sesuai zamanmu, tapi sesuai zaman mereka.” Itulah esensi dari pendidikan profetik: memadukan ilmu dan cinta, kemajuan dan nilai, logika dan nurani.

Kita musti percaya, selama kita mau belajar, bersyukur, dan terus bergerak, bangsa ini tidak akan hilang dari peta sejarah. Sebaliknya, ia akan menjadi bangsa yang disegani, karena kuat dalam daya tahan, bukan hanya daya saing. Dan itu dimulai dari madrasah. Dari kelas-kelas kecil yang diajari bukan hanya untuk menjadi pintar, tapi juga menjadi baik.

Wallahul muwafiq ilaa aqwamith thariq.

Lamnyong, 6 September 2025

*Penghulu, Pemerhati Pendidikan Madrasah, ASN Kemenag.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.