Mainstream-kan Ilmu dan Tanamkan Cinta, Menjawab Tantangan Pendidikan Madrasah

oleh

Catatan: Mahbub Fauzie*

Sebagai ASN Kemenag dengan jabatan fungsional penghulu, yang sehari-hari bertugas membina masyarakat dalam hal pencatatan nikah, pembinaan keluarga sakinah, serta layanan sosial keagamaan lainnya, saya merasa terpanggil menanggapi tulisan salah satu intelektual muda asal Gayo Dr. Marah Halim, MAg. MH berjudul “Main-(stream)-kan Matematika, Bahasa Inggris, dan Arab di Kemenag.” (LintasGayo, 3/9/2025).

Selain itu, pengalaman pernah menjadi guru di MI, MTs dan juga di SMP, membuat saya merasa memiliki kewajiban moral dan profesional untuk ikut menyuarakan arah pendidikan madrasah yang bukan hanya tangguh dalam sains, tapi juga kokoh dalam nilai.

Tulisan cerdas dan bernas Dr Marah Halim tersebut menyoroti pentingnya menjadikan matematika, bahasa Inggris, dan Arab sebagai ilmu alat utama untuk mempersenjatai generasi madrasah menghadapi dunia modern. Saya sepakat penuh.

Namun menurut saya, tiga ilmu tersebut akan lebih bermakna bila dibingkai dalam pendekatan nilai yang manusiawi dan spiritual, sebagaimana ditawarkan oleh Kurikulum Berbasis Cinta (KBC).

Terkait : Main-(stream)-kan Matematika, Bahasa Inggris dan Arab di Kemenag

Cinta Bukan Retorika

Kurikulum Berbasis Cinta bukan narasi kosong. Ia dibangun atas lima nilai dasar (Panca Cinta): 1) Cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) Cinta kepada diri dan sesama; 3) Cinta kepada ilmu pengetahuan; 4) Cinta kepada lingkungan; dan 5) Cinta kepada bangsa dan negara.

Nilai-nilai ini bukan hanya cocok untuk ceramah, seperti disebutkan Dr Marah Halim. Justru sebaliknya, KBC berupaya mentrasformasikan nilai spiritual ke dalam praksis pendidikan yang membumi, misalnya:

Mengajarkan matematika sebagai alat berpikir logis dan jujur, bukan sekadar berhitung dan angka-angka.

Mengajarkan bahasa Inggris dan Arab sebagai jembatan budaya dan pemahaman agama, serta pembedah literasi bukan hanya sekadar alat hafalan.

Membangun relasi guru-siswa yang penuh empati dan kepercayaan, bukan sekadar interaksi memenuhi kewajiban kegiatan belajar mengajar (KBM).

Pendidikan Holistik, Bukan Sekadar Kognitif

KBC hadir sebagai pendekatan holistik. Bukan menafikan pentingnya prestasi akademik, tetapi ingin melengkapinya dengan pembentukan karakter dan kepekaan sosial.

Pendidikan madrasah idealnya bukan hanya menghasilkan lulusan pintar, tapi juga berakhlak mulia, berjiwa nasionalis, dan peduli lingkungan.

Dr Marah Halim mengusulkan adanya “administrasi cinta” agar gagasan besar tidak melayang-layang. Ini tepat. KBC telah mengarah ke sana: mulai dari pelatihan guru yang humanis, integrasi nilai ke dalam semua kegiatan (intra, kokurikuler, dan ekstrakurikuler), hingga pembentukan iklim belajar yang aman dan toleran.

Ilmu Tanpa Nilai Akan Kosong

Benar bahwa matematika penting untuk logika, bahasa Inggris penting untuk globalisasi, dan bahasa Arab penting untuk mendalami agama.

Tapi tanpa nilai, ilmu bisa menjadi alat manipulasi atau bahkan penindasan. Maka KBC menekankan pentingnya mengajar dengan cinta:

Cinta kepada ilmu membuat siswa belajar karena rasa ingin tahu, bukan karena tekanan.

Cinta kepada sesama membuat pendidikan melahirkan warga yang peduli dan bertanggung jawab.

Cinta kepada Tuhan menumbuhkan kesadaran spiritual yang menjadi fondasi etika.

Dari Madrasah untuk Masa Depan Peradaban

Madrasah tidak boleh sekadar menjadi “sekolah plus agama”. Ia harus menjadi institusi yang membentuk manusia seutuhnya: berpengetahuan, beriman, dan berakhlak. Inilah mengapa saya mendukung gagasan mainstreamisasi tiga ilmu alat, tetapi dengan pendekatan cinta sebagai jiwa penggeraknya.

Sebagai penghulu yang sehari-hari menyaksikan realitas kehidupan keluarga dan masyarakat, saya percaya bahwa pendidikan yang mengabaikan pembentukan karakter dan spiritualitas sejak dini hanya akan menciptakan kecerdasan tanpa arah. Maka KBC adalah jalan untuk menjaga agar pendidikan madrasah tetap membumi sekaligus membimbing ke langit.

Akhirnya, tidaklah salah jika kita pahami bahwa Kurikulum Berbasis Cinta bukan gagasan utopis. Ia adalah upaya konkret untuk menyeimbangkan antara pencapaian ilmu dan pembentukan hati.

Maka mari kita satukan semangat: main-(stream)-kan matematika, bahasa Inggris, dan Arab, tetapi jangan lupa tanamkan cinta, agar ilmu tidak kering dari makna, dan pendidikan tidak kehilangan arah.

Madrasah adalah pelita peradaban. Dan cinta adalah cahaya yang membuat pelita itu bersinar dengan terang dan hangat. Wallahul muwafiq ilaa aqwamith thariq.

*Penghulu pada KUA Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah. (Pernah menjadi guru IPA di MI dan Fisika di MTs Jagong tahun 1993, serta guru Bahasa Indonesia di SMPN 16 Takengon pada 2003)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.