Oleh : Hammaddin Aman Fatih*
Ketika aku menatap langit. Tingginya takkan dapat kuraih berjinjit. Tapi tatkala aku menatapnya bersamamu, guruku. Aku dapat menggapai cita setinggi itu. Ketika aku memandang samudera. Hamparan luasnya takkan bisa kupeluk di dada.
Tapi tatkala aku memandangnya bersamamu, guruku. Aku bisa merangkul mimpi seluas itu. Ketika aku melihat gunung. Beratnya takkan mampu kupikul di punggung. Tapi tatkala aku melihatnya bersamamu, guruku. Aku mampu mengangkat ilmu seberat itu. Itulah tinggi, luas dan bertanya jasa yang kau terima.
Berkatmu. Ku Menatap, ku memandang, ku melihat sisi lain dunia. Tuk mengubahnya menjadi bekal kehidupan. Maka setinggi langit, seluas samudera dan seberat gunung. Terhatur terima kasih untukmu, guruku. (Yoga Permana Wijaya-Bersamamu, Guruku)
Lirikan untaian kata-kata diatas menggambarkan tahapan-tahapan begitu pentingnya peran seorang guru untuk mengantarkan seorang anak bangsa untuk bisa berani menatap masa depan.
Orang hebat bisa melahirkan beberapa karya bermutu, tetapi guru yang bermutu dapat melahirkan ribuan orang-orang hebat.
Pendidikan merupakan pintu peradaban dunia. Pintu tersebut tidak akan terbuka kecuali dengan satu kunci. Yakni, seorang atau sosok guru yang peduli dengan peradaban dunia.
Guru yang sejati adalah guru yang bisa membuat peserta didik percaya akan kemampuannya sendiri, dan bangga melihat perkembangan peserta didiknya sekecil apa pun.
Guru sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Bahwa begitulah nasib calo masa depan itu yang hanya mampu berteriak, anakku jadilah kau pemimpin yang adil, jadilah kau dokter, jadilah kau polisi/tantara, jadilah engkau kau seorang arsitektur dan lain sebagainya.
Namun ketika peserta didik sampai kepada tujuannya, seorang guru tetap tak bergerakan ditempatnya. Tetap guru, Walaupun akhirnya kau dianggap beban Negara. Nasib guru bagaikan gula, tidak pernah tersebut jika meraih keberhasilan dan begitu kegagalan menyertainya, barulah mereka tersebut kata “guru”.
Lihat (https://lintasgayo.co/2020/11/25/guru-nasibmu-seperti-gula/). dan ( https://lintasgayo.co/2022/11/24/guru-calo-masa-depan-di-era-digital/)
Beberapa minggu ini viral di media sosial (WhatsApp, Facebook, Tiktok, Twitter. Instagram, dll) disajikan komentar netizen tentang celotehan Menteri Keuangan Republik ini yaitu Sri Mulyani dengan wajah datar dalam forum resmi yang bisa diakses publik yang mengandung arti bahwa guru dianggap beban Negara.
Hingga muncul atau apakah dengan menghapuskan profesi guru, atau peran guru digantikan dengan AI (Artificial Intelligence), yang mengacu pada kemampuan mesin untuk meniru kecerdasan manusia, termasuk pembelajaran, penalaran, dan pemecahan masalah, sehingga keuangan republik ini bisa stabil?
Mungkin dalam wacana anggaran, tidak jarang muncul pandangan seperti itu, bahwa guru justru menjadi beban negara. Ada apa sebenarnya?
Pertama, jumlah guru di Indonesia sangat besar. Dengan jutaan tenaga pendidik, gaji dan tunjangan yang dibayarkan negara otomatis menyerap anggaran pendidikan yang sangat tinggi.
Tidak heran jika sebagian pihak menilai biaya untuk guru lebih banyak habis untuk belanja pegawai ketimbang pembangunan sarana belajar.
Gaji guru memang menyerap porsi besar APBN/APBD, karena jumlahnya sangat banyak (di Indonesia sekitar 3 juta lebih). Namun, ini bukan beban konsumtif, melainkan investasi sumber daya manusia.
Guru berperan membentuk kualitas generasi mendatang. Tanpa pendidikan yang baik, negara justru akan rugi di masa depan (produktifitas rendah dan angka pengangguran tinggi).
Kedua, masalah distribusi dan kualitas. Guru sering menumpuk di kota, sementara daerah terpencil kekurangan tenaga. Selain itu, standar kualitas dan kompetensi juga tidak merata. Akibatnya, anggaran besar tidak selalu sebanding dengan mutu pendidikan yang dihasilkan.
Inilah yang melahirkan persepsi bahwa belanja negara untuk guru “tidak efisien”. Atau sering muncul persepsi “beban” karena anggaran besar belum selalu berbanding lurus dengan kualitas pendidikan.
Masalah seperti ketimpangan distribusi guru (menumpuk di kota, kurang di daerah terpencil), kompetensi yang bervariasi, hingga kesejahteraan guru honorer yang rendah, membuat belanja negara terasa kurang efektif.
Ketiga, status guru honorer menjadi masalah klasik. Banyak yang bekerja dengan gaji minim, berharap diangkat sebagai ASN (PNS dan P3K). Ketika ada kebijakan pengangkatan massal, negara memang terbebani tambahan anggaran besar, tapi tanpa perencanaan matang untuk peningkatan kualitas.
Kempat, negara maju mengalokasikan anggaran pendidikan yang tinggi (OECD rata-rata 5–6% dari PDB), dan sebagian besar untuk gaji guru.
Jadi, wajar jika Indonesia pun mengalokasikan porsi besar. Perbedaannya, di negara maju, ada manajemen dan sistem insentif yang lebih efektif sehingga hasilnya lebih terasa.
Namun, di balik itu semua, menyebut guru sebagai beban negara sebenarnya kurang adil. Guru adalah investasi jangka panjang. Tanpa mereka, kualitas sumber daya manusia bangsa tidak akan pernah naik.
Persoalannya bukan pada “guru yang membebani”, melainkan pada sistem manajemen pendidikan yang belum efisien, dari rekrutmen, distribusi, hingga pelatihan berkelanjutan.
Pertanyaan tanyaan diatas cukup tajam, karena menyentuh isu tentang posisi guru dalam pembangunan bangsa. Ungkapan “guru menjadi beban negara” biasanya muncul dari anggapan bahwa negara mengeluarkan banyak biaya untuk gaji, tunjangan, dan pensiun guru, sementara kualitas pendidikan belum maksimal.
Tapi sebenarnya, guru bukan beban, mereka adalah investasi. Namun, agar tidak dipersepsikan sebagai beban, ada beberapa hal yang bisa atau mungkin bisa dilakukan.
Pertama, Profesionalisme Guru. Guru perlu terus meningkatkan kompetensi, tidak berhenti belajar setelah mendapat sertifikasi. Memanfaatkan teknologi untuk pembelajaran, bukan sekadar metode konvensional dan menunjukkan kinerja yang sepadan dengan penghargaan yang diterima.
Kedua, sistem evaluasi dan pengembangan. Pemerintah perlu membuat sistem evaluasi kinerja guru yang adil, bukan hanya berdasarkan masa kerja dan ada jalur reward and punishment yang jelas agar profesi ini tetap bermartabat dan produktif.
Ketiga, kemandirian dan kreativitas. Guru bisa menjadi agen perubahan sosial, bukan hanya mengajar di kelas, tetapi juga membangun literasi, kewirausahaan, atau inovasi pendidikan di masyarakat dan kegiatan ekstrakurikuler, projek, atau program sosial bisa menambah nilai peran guru di luar gaji yang diterima.
Keempat, pemanfaatan Anggaran yang Efektif. Anggaran pendidikan yang besar (20% APBN) jangan hanya habis untuk gaji, tapi juga untuk peningkatan mutu. Guru bisa menjadi bagian dari solusi dengan mau ikut pelatihan, riset, atau inovasi.
Kelima, mengubah Paradigma. Guru bukan “pekerja administratif” semata, melainkan pembentuk karakter bangsa dan kalau kualitas pendidikan meningkat, justru guru adalah penyelamat bangsa, bukan beban negara.
Penutup
Jadi, ada apa dengan guru sehingga dianggap beban negara? Jawabannya : bukan gurunya yang bermasalah, melainkan bagaimana negara mengelola guru agar benar-benar menjadi kekuatan, bukan sekadar angka dalam tabel anggaran.
Guru tidak bisa dipandang sebagai beban anggaran negara, melainkan investasi jangka panjang. Tantangannya adalah bagaimana anggaran tersebut bisa dikelola lebih efektif bisa meningkatkan kualitas, pemerataan, dan kesejahteraan guru agar dampaknya pada mutu pendidikan nyata.
Sekali lagi, bukan guru yang jadi masalah, tetapi efektivitas kebijakan dan manajemen anggaran pendidikan yang harus diperbaiki dan agar guru tidak dipandang sebagai beban, guru harus menunjukkan bahwa keberadaannya menghasilkan dampak nyata, yaitu peserta didik yang cerdas, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan zaman yang terkadang sangat aneh dan menganehkan.
Takengon, 26 Agustus 2025
*Penulis adalah kepala SMA Negeri 1 Permata dan penulis buku People of the Coffee serta buku Opini Cekgu