Kenikmatan Sesaat vs Kemandirian : Antara Uang Triliunan dan Janji Tanah 2 Hektar

oleh

Oleh : Fadhli Djailani*

Pada 15 Agustus 2025, di sebuah forum peringatan damai, Panglima Muallem menyampaikan gagasan yang mengejutkan: permintaan kompensasi Rp1 triliun. Alasan yang dikemukakan sederhana tapi tajam—janji tanah 2 hektar bagi mantan kombatan GAM, sebagaimana tercantum dalam MoU Helsinki 2005, hingga kini tak kunjung direalisasikan.

Pernyataan itu segera menimbulkan riak di tengah masyarakat Aceh. Ada yang menganggap angka fantastis itu wajar, ada pula yang bertanya-tanya: benarkah uang triliunan bisa menjawab luka panjang perang? Atau justru hanya menjadi kenikmatan sesaat yang segera lenyap?

Janji dalam MoU yang Terlupakan

Ketika pena ditorehkan di Helsinki dua dekade silam, harapan besar lahir. Salah satu butir paling penting adalah pemberian tanah 2 hektar untuk setiap mantan kombatan. Janji itu bukan sekadar “kompensasi agraria”. Ia adalah simbol kemandirian, harga diri, dan kesempatan membangun hidup baru di atas tanah sendiri.

Tanah memberi ruang untuk menanam, membangun rumah, bahkan diwariskan kepada anak cucu. Dua hektar tanah bisa menjadi sawah, kebun, atau hutan kecil—sumber kehidupan berkelanjutan yang menjaga martabat.

Namun, setelah hampir 20 tahun damai berjalan, janji itu masih sebatas tulisan di kertas. Ribuan mantan pejuang justru hidup dalam keterpurukan. Ada yang sudah kembali kepangguan Ilahirabbi, ada yang jadi elit dilingkaran pejabat, ada yang merantau, banyak yang menjadi buruh kasar, atau sekadar bertahan hidup dengan pekerjaan seadanya.

Uang: Megah Tapi Fana

Di tengah kekecewaan itu, muncul wacana kompensasi Rp1 triliun. Angka ini terdengar megah, tapi sejatinya fana. Uang adalah fatamorgana: bisa hilang dalam sekejap, apalagi jika dikelola tanpa keadilan.

Kekhawatiran yang muncul cukup beralasan: apakah uang itu benar-benar akan mengalir ke ribuan mantan kombatan? Atau hanya berhenti di lingkaran elit? Jika demikian, maka kompensasi itu justru menambah luka baru. Rakyat yang berjuang di garis depan akan kembali menjadi penonton, sementara segelintir orang menikmati hasilnya.

Uang bisa menciptakan ketergantungan. Ia membuat tangan selalu di bawah, bergantung pada belas kasih pemerintah atau uluran elit. Sedangkan tanah memberi kemandirian—sekali diberikan, ia bisa menjadi sumber pangan, sandang, bahkan pendidikan bagi generasi mendatang.

Tanah: Kehidupan yang Abadi

Tanah adalah kehidupan itu sendiri. Dengan tanah, mantan kombatan bisa berdiri tegak. Mereka tidak lagi menunggu bantuan, tidak lagi menjadi beban. Tanah adalah simbol harga diri yang sesungguhnya.

Dua hektar tanah bukan hanya soal agraria, tetapi juga soal penghormatan terhadap kesepakatan damai. Itu adalah janji yang mengikat, janji yang seharusnya ditepati, agar perdamaian Aceh tidak sekadar jadi cerita indah di panggung internasional, tetapi juga kenyataan di desa-desa kecil tempat para pejuang tinggal.

Pelajaran dari Sejarah

Orang tua Aceh pernah berkata: “Belanda disiprek peng grik lam peurde trieng”—Belanda menyebarkan uang logam dalam rumpun pohon bambu. Cerita ini bukan dongeng, melainkan sindiran tajam. Penjajah menebar recehan agar rakyat terlena, sibuk berebut, dan melupakan tanah serta marwah perjuangan.

Kini, sejarah itu seolah berulang. Uang kembali dijadikan umpan, sementara janji tanah—rumah sejati perjuangan—dibiarkan terbengkalai. Rakyat Aceh ditantang: apakah akan mengulang kesalahan leluhur, atau belajar dari sejarah?

Anak Narapidana Politik: Generasi yang Terlupakan

Anak-anak dari mantan narapidana politik masa GAM adalah saksi bisu penderitaan konflik. Mereka tumbuh dalam trauma: ayah dipenjara, ibu hidup dalam tekanan, keluarga tertekan, masa kecil terampas. Dua puluh tahun damai berlalu, namun banyak dari mereka masih hidup dalam keterbatasan—pendidikan rendah, pekerjaan tak layak, dan tanpa akses tanah yang dijanjikan.

Ketika elit bicara angka triliunan, mereka justru masih berjuang sekadar untuk bertahan hidup. Padahal, tanah 2 hektar bukan hanya hak bagi mantan kombatan, tetapi juga harapan bagi anak-anak mereka untuk membangun masa depan yang bermartabat.

Suara Cinta untuk Panglima

Pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul bukanlah tanda kebencian. Justru sebaliknya, itu lahir dari rasa cinta. Kami bertanya karena kami sayang, kami cinta Panglima kami.

Kami berharap Panglima mengkaji kembali keinginan menukar tanah dengan uang. Sebab tanah dan hutan bukan sekadar aset; tanah dan hutan adalah rumah berlindung perjuangan. Dari sanalah para pejuang dulu bertahan, dari sanalah marwah Aceh dijaga.

Kami percaya, cinta Panglima pada rakyat lebih besar daripada sekadar angka-angka. Kami ingin Panglima tetap jadi panutan, bukan sekadar penguasa uang. Karena hanya dengan janji yang ditepati, perdamaian akan abadi.

Renungan

Uang Rp 1 triliun bisa mengilap seperti emas, tetapi ia cepat pudar. Tanah 2 hektar adalah kehidupan yang terus hidup, memberi makan, dan menjaga martabat lintas generasi.

Perdamaian Aceh akan rapuh tanpa keadilan ekonomi. Karena itu, suara rakyat jelas: jangan tukar kemandirian dengan kenikmatan sesaat. Pilihlah tanah, bukan uang. Karena tanah adalah kehidupan, sedangkan uang hanyalah fatamorgana.

*Penulis merupakan petani pedalaman Peudada kabupaten Bireuen

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.