Oleh : Mahbub Fauzie, S.Ag., M.Pd*
Pada Kamis, 7 Agustus 2025 pukul 10.30 WIB, selaku Penghulu KUA, kembali saya berkesempatan memimpin prosesi akad nikah di Kampung Damar Mulyo, Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah. Mempelai pria berasal dari Kampung Despot Linge, Kecamatan Linge, sementara mempelai wanita adalah warga asli Damar Mulyo. Seperti umumnya pelaksanaan akad nikah di kampung-kampung, suasana berlangsung khidmat dan penuh haru.
Namun, ada hal istimewa yang menyertai prosesi ini. Selain menjadi penghulu, saya juga bertindak sebagai wali hakim karena mempelai wanita tidak memiliki wali nasab. Dalam ketentuan hukum Islam dan regulasi negara, jika seorang perempuan tidak memiliki wali nasab yang sah, maka wali hakim dapat mengambil peran tersebut. Dalam struktur Kementerian Agama, Kepala KUA secara otomatis adalah wali hakim di wilayah kerjanya. Ini adalah bentuk pelayanan keagamaan negara kepada masyarakat yang membutuhkan.
Setiap kali saya memimpin akad, saya tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menyampaikan nasihat pernikahan. Bukan hanya karena itu bagian dari tugas bimbingan perkawinan dan pembinaan keluarga sakinah sebagai Penghulu, tetapi karena saya meyakini, pesan yang baik pada hari penting itu bisa menjadi bekal batin bagi pasangan dalam membina rumah tangga.
Saya selalu mengajak pasangan untuk menata niat sejak awal. Menikah bukan hanya untuk menyatukan cinta dan membangun keluarga, tetapi harus diniatkan sebagai ibadah karena Allah SWT. Niat yang benar akan menuntun langkah yang benar. Sebuah rumah tangga yang dibangun di atas niat ibadah insya Allah akan lebih kuat menghadapi tantangan kehidupan.
Menikah juga menjadi titik tolak untuk meningkatkan kualitas diri. Dua individu yang berbeda latar belakang, sifat, bahkan cara pandang akan dipertemukan dalam satu atap. Ini menuntut kedewasaan, kelapangan hati, dan kesadaran untuk terus belajar memahami satu sama lain.
Dalam rumah tangga, kita perlu saling mengasah untuk tumbuh, saling mengasihi sebagai bentuk cinta, dan saling mengasuh sebagai wujud tanggung jawab bersama. Nilai-nilai ini juga sejalan dengan falsafah Jawa: tepo seliro, saling menghargai dan menjaga perasaan pasangan.
Saya juga mengingatkan pentingnya peran suami sebagai pemimpin dalam keluarga. Al-Qur’an dengan tegas menyebut bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Namun, kepemimpinan dalam rumah tangga bukan berarti dominasi, melainkan amanah yang penuh tanggung jawab.
Seorang suami harus mampu menjadi teladan, mencari nafkah yang halal, melindungi keluarga, dan membimbing istri dan anak-anak dalam nilai-nilai kebaikan.
Sementara itu, istri bukan hanya pendamping, tetapi juga mitra yang setara dalam mengelola rumah tangga. Dalam kehidupan suami istri, tidak boleh ada rasa ingin menang sendiri. Yang ada adalah kerja sama, saling memahami, dan saling menopang.
Nilai-nilai tersebut juga penting dalam kehidupan bermasyarakat. Di mana pun kita tinggal, prinsip “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” harus menjadi pegangan.
Dalam masyarakat Aceh, termasuk di Dataran Tinggi Gayo, adat dan kearifan lokal sangat dihargai. Menghormati orang tua, menyayangi yang muda, serta menjaga silaturahmi keluarga besar adalah bagian dari budaya yang harus kita jaga bersama.
Sebagai warga Aceh Tengah, kita juga tidak bisa melepas identitas kita dari kopi arabika Gayo. Komoditas ini bukan hanya dikenal dunia, tetapi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Banyak keluarga di sini hidup dari kopi, dari pembibitan, panen, hingga pengolahan.
Saya sering menyampaikan kepada generasi muda Gayo, termasuk para pengantin baru, bahwa penting untuk memahami kopi, bukan hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai identitas. Mulailah mengenali kopi dari hulunya—pohon dan biji—hingga hilirnya, yaitu bubuk yang siap dinikmati. Jika generasi muda tidak memahami warisan ini, maka lambat laun kita bisa tercerabut dari akar budaya sendiri.
Saya percaya, pernikahan yang dilandasi niat ibadah, semangat perbaikan diri, dan kepedulian terhadap nilai-nilai sosial budaya akan melahirkan keluarga yang kuat. Keluarga seperti inilah yang kelak menjadi fondasi masyarakat yang sehat dan maju.
Akhir kata, saya ingin berpesan kepada pasangan-pasangan muda yang baru menikah ataupun yang sedang mempersiapkan diri: nikah adalah awal dari perjuangan, bukan akhir dari pencarian. Bangunlah rumah tangga dengan kesungguhan, komunikasi yang sehat, dan niat tulus untuk saling menguatkan.
Jadilah pribadi yang terus belajar, bukan hanya untuk keluarga sendiri, tetapi juga untuk masyarakat sekitar. Semoga keluarga-keluarga muda di negeri Gayo ini tumbuh menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, sekaligus menjadi penjaga nilai dan budaya yang luhur. Wallahu a’lam bish shawab.
Atu Lintang, 7 Agustus 2025
*Penghulu Ahli Madya dan Kepala KUA Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah