Bangun Pagi Bangun Rumah Tangga, Disiplin dan Adaptasi Hidup Berkeluarga

oleh

Oleh: Mahbub Fauzie, S.Ag., M.Pd*

Pagi hari Rabu, 6 Agustus 2025, berlangsung sebuah prosesi akad nikah yang khidmat di Masjid Besar Raudhatul Muta’alimin, Merah Mege Kecamatan Atu Lintang. Mempelai wanita berasal dari Kampung Merah Mege, berlatar belakang suku Jawa.

Sementara mempelai pria berasal dari Gampong Pulo Raya, Kecamatan Sumpang Tiga, Pidie, dari suku Aceh. Mereka mengawali derap kehidupan berumah tangga di wilayah Gayo, yang juga memiliki karakter budaya tersendiri.

Pernikahan mereka mencerminkan dinamika baru yang semakin sering terjadi: penyatuan dua latar belakang budaya, dua cara pandang, dan dua tradisi hidup yang berbeda.

Dalam konteks ini, pernikahan bukan hanya persoalan hubungan dua individu, tetapi juga interaksi dua sistem nilai yang membutuhkan pemahaman, kelapangan hati, dan kesiapan untuk beradaptasi.

Dalam kesempatan itu, penulis yang kebetulan memandu dan memberikan nasehat pernikahan, menyampaikan pesan yang kerap penulis ungkapkan dalam berbagai prosesi pernikahan, terutama kepada pasangan muda: “Bangun pagi, bangun rumah tangga.”

Ungkapan tersebut bukan sekadar permainan kata, melainkan sebuah filosofi hidup. Disiplin diri yang salah satu bentuk nyatanya adalah membiasakan diri bangun pagi, merupakan fondasi penting dalam membangun kehidupan rumah tangga yang tertib, terarah, dan penuh tanggung jawab.

Waktu pagi dalam Islam adalah waktu yang penuh keberkahan. Rasulullah SAW bersabda, “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya” (HR. Abu Dawud). Bangun Subuh secara tepat waktu bukan hanya urusan kebiasaan fisik, tapi juga cerminan kesiapan mental dan spiritual.

Orang yang membiasakan diri bangun pagi melatih dirinya untuk tidak menunda-nunda, tidak hidup dalam kemalasan, dan siap menjalani hari dengan kesungguhan. Dalam kehidupan rumah tangga, sikap ini sangat penting.

Rumah tangga yang harmonis membutuhkan individu-individu yang disiplin, punya komitmen, dan mampu mengelola waktu dengan baik.

Kebiasaan bangun pagi dapat membuka ruang untuk membangun ikatan spiritual bersama pasangan: salat Subuh berjamaah, berdoa bersama, dan memulai hari dengan komunikasi yang positif. Semua ini adalah fondasi kecil yang mempererat hubungan dan menjaga suasana rumah yang tenteram.

Pernikahan juga bukan ajang pembuktian siapa yang lebih kuat atau dominan. Dalam Islam, hubungan suami istri dibangun atas dasar mubadalah atau prinsip kesalingan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 187, “Mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”

Pakaian berguna untuk melindungi, menutupi kekurangan, dan memberikan kenyamanan. Hubungan suami istri pun seharusnya demikian: saling melindungi, saling menutupi aib, dan saling menumbuhkan ketenangan.

Khusus dalam pernikahan lintas budaya seperti ini, kemampuan untuk saling menyesuaikan diri menjadi mutlak. Masing-masing pasangan membawa tradisi, bahasa, nilai, dan kebiasaan yang berbeda.

Selain itu, mereka akan membangun rumah tangga di lingkungan Gayo yang juga memiliki adat dan cara hidup tersendiri. Maka, adaptasi yang diperlukan bersifat tiga arah: antara suami dan istri, dengan keluarga besar masing-masing, dan dengan lingkungan tempat tinggal baru.

Penyesuaian ini tidak berarti kehilangan identitas, melainkan proses memperkaya kehidupan rumah tangga dengan nilai-nilai positif dari masing-masing latar belakang. Jika dilakukan dengan hati yang lapang dan pikiran yang terbuka, keberagaman ini bisa menjadi kekuatan, bukan tantangan.

Rumah tangga yang mampu menjembatani perbedaan akan menjadi tempat belajar, bertumbuh, dan berbagi makna hidup bersama. Perbedakan yang disatukan akan indah dan penuh harmoni. Corak rupa menjadi hiasan indah jika cerdas dalam mengkondisikan.

Satu hal yang juga penting untuk ditekankan kepada pasangan muda adalah perlunya membangun kedekatan dengan Allah SWT sejak awal, bahkan sebelum pernikahan.

Kesalahan umum yang terjadi adalah menganggap bahwa ibadah dan ketaatan bisa ditunda hingga usia tua atau saat hidup sudah stabil. Padahal, justru masa muda adalah masa terbaik untuk menanamkan kebiasaan spiritual yang kuat.

Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa salah satu dari tujuh golongan yang mendapat naungan Allah di hari kiamat adalah “pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, fondasi spiritual yang dibangun sejak dini akan menjadi pelindung dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupan berumah tangga.

Menghargai waktu, dalam hal ini dimulai dari bangun pagi dan menjaga shalat, adalah bentuk tanggung jawab sekaligus tanda penghargaan terhadap pasangan. Pasangan yang terbiasa menjaga waktu, terutama waktu-waktu ibadah, cenderung lebih tertib dan harmonis.

Sebaliknya, pasangan yang lalai terhadap waktu dan ibadah lebih mudah tergelincir dalam konflik bukan karena persoalan besar, tetapi karena kehilangan kebiasaan baik yang menjadi perekat emosional.

Akhirnya, penulis ingin menegaskan bahwa rumah tangga yang baik tidak dibangun dalam semalam. Ia bukan hasil dari pesta mewah, gelar akademik tinggi, atau tabungan yang tebal.

Rumah tangga yang sakinah dibentuk dari rutinitas kebaikan yang sederhana, tetapi konsisten. Mulai dari bangun Subuh, saling mendoakan, menjaga komunikasi, hingga saling belajar dalam perbedaan.

Semoga setiap pasangan muda, khususnya di Aceh Tengah dan sekitarnya, menjadikan disiplin diri, kesadaran spiritual, dan keterbukaan dalam perbedaan budaya sebagai bekal utama dalam membangun keluarga.

Karena rumah tangga yang kokoh tidak dibangun dengan keinginan semata, melainkan dibentuk oleh kebiasaan baik yang dimulai sejak dini, bahkan sejak Subuh yang penuh berkah. Bangun shubuhnya cepat, insya Allah bisa membangun rumah tangga yang kuat. Wallahu a’lam bish shawab.

*Penghulu Ahli Madya dan Kepala KUA Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.