Oleh : Dr. Al Musanna, M.Ag*
Pendahuluan
Perubahan kurikulum dalam sistem pendidikan di Indonesia bukanlah isu yang baru. Perubahan dan pergantian kurikulum telah berulang terjadi dengan sejumlah argumentasi yang melatarbelakanginya.
Meskipun perubahan kurikulum telah menimbulkan pro dan kontra, upaya memperkenalkan kurikulum baru seakan menjadi rutinitas dalam kebijakan publik di tanah air.
Alhamuddin (2019) dalam Politik Kebijakan Pengembangan Kurikulum di Indonesia Sejak Zaman Kemerdekaan Hingga Reformasi (1945-2013) mengungkap secara kritis dinamika dan kontestasi kurikulum.
Salah satu perkembangan mutakhir dalam diskursus kurikulum di Indonesia ditandai dengan peluncuran Kurikulum Berbasis Cinta yang diinisiasi oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.
Kurikulum Berbasis Cinta merupakan pendekatan pendidikan yang menitikberatkan pada titik temu antarumat manusia, bukan perbedaan.
Menteri Agama dalam sambutannya ketika meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta di Asrama Haji Sudiang, Makassar pada hari Kamis (24/7/2025) mengungkapkan bahwa kurikulum ini bertitiktolak dari kegelisahan terhadap berbagai krisis kemanusiaan.
Kurikulum pada institusi pendidikan dipandang sebagai ikhtiar strategis untuk memberi solusi terhadap beragam persoalan kontemporer.
Pendidikan dengan kurikulum yang menyertainya dipandang sebagai penentu perubahan sosial yang lebih mendalam dan tahan lama. Kementerian Agama telah menyusun panduan Kurikulum berbasis Cinta dan menyerahkannya secara simbolis kepada sejumlah guru.
Panduan dimaksudkan untuk menjadi acuan dasar bagi para pendidik dalam mengintegrasikan nilai-nilai cinta ke dalam proses belajar mengajar (pembelajaran).
Perubahan dan pengembangan kurikulum sejatinya merupakan keniscayaan. Perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia yang berlangsung dengan sangat cepat menuntut penyikapan para pengembang dan pelaksana kurikulum (Pinar, et.all., 2004).
Para pengembang kurikulum dituntut untuk memberikan respon kreatif terhadap fenoma masyarakat yang terus berkembang, termasuk nilai-nilai yang hidup di dalamnya.
Tantangan-tantangan baru seperti keberagaman budaya, radikalisme, hoaks, serta krisis iklim menuntut akademisi dan praktisi pendidikan untuk memainkan peran dalam melakukan inovasi kurikulum sehingga dapat berfungsi optimal membentuk karakter siswa.
Kurikulum sebagai salah satu perangkat pendidikan dituntut mampu mengakomodasi pendidikan karakter, toleransi, literasi digital, dan kesadaran lingkungan.
Dengan demikian, perubahan kurikulum bukan hanya soal isi pelajaran, tetapi juga pembentukan kepribadian dan etika generasi muda (Gordon, Taylor, Oliva, 2019). Dalam kaitan tersebut, kurikulum sebagai salah satu perangkat terpenting dalam praksis pendidikan harus beradaptasi sehingga tidak ketinggalan zaman dan berjarak dengan kehidupan nyata.
Kurikulum sebagai jantungnya pendidikan dituntut mencerminkan realitas dan kebutuhan zaman agar peserta didik tidak hanya tahu, tetapi juga mampu beradaptasi dan berkontribusi di dunia nyata.
Idealitas tersebut dalam kenyataannya tidak selalu mudah diterima semua pihak. Apatisme dan pesimisme kerap membayangi inovasi kurikulum. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa perubahan kurikulum dilakukan tanpa pertimbangan yang matang dan dilandasi penelitian dengan pemenuhan standar semestinya (Tilaar, 2002: 362; Surakhmad, 2009: 67; Wahyuddin, 2020: 15).
Artikel berikut ditujukan untuk melakukan pendalaman mengenai Kurikulum Berbasis Cinta yang telah diluncurkan Kementerian Agama beberapa waktu lalu.
Mengingat luasnya cakupan pembahasan, artikel ini membatasi pembahasannya seputar subtansi kurikikulum berbasis cinta, urgensinya dan tantangan implementasi kurikulum ini di institusi pendidikan.
Diharapkan melalui paparan ini dapat memantik diskusi yang lebih mencerahkan dan memperkaya wawasan akademisi dan praktisi kurikulum di tanah air.
Substansi Kurikulum Berbasis Cinta
Kurikulum berasal dari kata curere (jarak yang ditempuh), courier (batas berlari), curir (pelari) atau currere yang berarti tempat berlari atau jalur pacu (Slattery, 2006: 63).
Adapula yang menyatakan bahwa kurikulum berasal dari kata career atau yang dialih-bahasakan menjadi karir atau perjalanan hidup yang berisi rangkaian pengalaman seseorang, sebagaimana tercermin dalam istilah riwayat hidup atau curriculum vitae (Pinar, 2004: 12).
Setelah ditransformasikan ke dalam dunia pendidikan, kurikulum telah dimaknai dengan berbagai perspektif. Franklin W. Bobbit dalam The Curriculum yang terbit pada tahun 1918 dan dipandang sebagai buku kurikulum pertama yang ditulis secara ilmiah mendefinisikan kurikulum sebagai “series of things which children and youth must do and experience by way of developing abilities to do the things well that make up the affairs of adult life; and to be in all respects what adults should be.”
Kutipan tersebut memaknai kurikulum sebagai rangkaian pengalaman yang bertujuan mengembangkan kemampuan seseorang agar dapat melakukan sesuatu dengan baik dalam mencapai kedewasaan atau menyempurnakan perkembangan potensinya sehingga dapat berperan optimal dalam kehidupan sosial.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, kurikulum populer dimaknai sebagai program pembelajaran yang disusun secara sistematis. Hal ini misalnya tercermin dalam pendapat Hirst (2010: 2) yang menyatakan bahwa kurikulum adalah “a program of activities designed so that pupils will attain by learning certain specifiable ends or objectives.”
Kurikulum dipandang sebagai penyusunan program pembelajaran yang melibatkan proses rasional dan linear yang dimulai dari perumusan tujuan, penentuan materi, pengalaman belajar dan evaluasi yang dilakukan untuk mengukur sejauhmana tujuan-tujuan spesifik telah dicapai.
Istilah kurikulum mempersyaratkan setidaknya pemenuhan empat hal berikut: adanya rencana pengalaman belajar; rencana tersebut dipersiapkan dalam lembaga pendidikan; keberadaan kurikulum tertuang dalam dokumen (tertulis); dan dokumen tersebut mencantumkan pengalaman belajar yang dihasilkan.
Dari paparan tersebut tergambar bahwa pemaknaan kurikulum sangat bervariasi dikalangan akademisi. Hal ini berdampak pada sukarnya merumuskan konsensus mengenai definisi kurikulum karena setiap pihak cenderung berpegang pada keyakinannya.
Jackson (dalam Jackson, Ed., 1992: 5) dalam The Handbook of Research on Curriculum menyatakan bahwa keragaman pandangan atau pemaknaan kurikulum perlu ditanggapi dengan lapang dada tanpa harus saling menyalahkan.
Terlepas dari perbedaan definisi, semua pihak menyepakati bahwa kurikulum menjadi hal yang sangat penting dan mempengaruhi pendidik, peserta didik dan masyarakat.
Berikut dilakukan penelusuran mengenai cinta dan kaitannya dengan pembelajaran. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mendefinisikan cinta sebagai perasaan atau keadaan yang mendorong seseorang untuk menyayangi, mengasihi, atau menghargai orang lain.
Cinta dapat mencakup berbagai bentuk, seperti cinta terhadap pasangan, keluarga, teman, bahkan terhadap sesuatu yang lebih luas. Berdasarkan beberapa konsep tersebut, cinta sejatinya merupakan sesuatu yang kompleks, multidimensi, transenden dan dinamis yang menghubungkan individu dengan dirinya sendiri, orang lain, dan dunia di sekitarnya.
Cinta tidak hanya berupa perasaan atau dorongan emosional, tetapi juga melibatkan komitmen, pengorbanan, dan pemahaman yang mendalam.
Cinta memiliki dimensi sosial yang menguatkan hubungan antarindividu dalam masyarakat, serta dimensi spiritual yang mengarah pada pencarian kebaikan dan kedekatan dengan Tuhan (Kementerian Agama, 2025: 11). Cinta berperan sebagai penghubung dan penguat dalam setiap aspek kehidupan, baik fisik, emosional, sosial, maupun spiritual
Dalam perspektif psikologi pendidikan, cinta berperan sebagai kebutuhan dasar yang menunjang keberhasilan belajar. Selain itu, pembelajaran yang berpusat pada peserta didik menyatakan bahwa lingkungan belajar yang aman secara emosional, penuh empati dan non-judgmental adalah kunci pertumbuhan psikologis dan akademik anak.
Hal ini diperkuat oleh hasil-hasil kajian neuropsikologi kontemporer yang menunjukkan bahwa emosi positif meningkatkan fungsi prefrontal cortex, area otak yang bertanggung jawab atas pemrosesan kognitif dan regulasi diri (Snyder dan Lopez, 2007).
Dengan demikian, kurikulum berbasis cinta (curriculum of love) adalah kurikulum yang berorientasi pada hubungan afektif, penghargaan terhadap martabat manusia, serta pembentukan pribadi yang utuh (Kementerian Agama, 2025). Kurikulum Berbasis Cinta bukan sekadar transformasi kurikulum, tapi gerakan nilai.
Sebuah upaya menciptakan ruang belajar yang mengasah nalar sekaligus menghidupkan nurani. Sebuah langkah berani menuju masa depan pendidikan yang tidak hanya membentuk kepala, tetapi juga hati dan karakter bangsa.
Kurikulum berbasis cinta bukan sekadar alternatif moral, melainkan kebutuhan struktural untuk mengoreksi arah pendidikan yang semakin terjebak dalam logika kapitalisme pendidikan.
Dalam sistem pendidikan yang menekankan output, rangking, dan performa kognitif, nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, kepedulian, dan kebermaknaan hidup terpinggirkan.
Akibatnya, proses belajar kehilangan makna eksistensial dan hanya menjadi kompetisi mekanis yang menghasilkan kecemasan dan alienasi psikologis (Latif, 2020: 13). Cinta, dalam konteks ini, adalah prinsip radikal yang menantang rasionalitas teknokratis dan menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah relasi antar subjek—antara manusia dengan manusia, bukan antara mesin dengan target.
Urgensi Kurikulum Berbasis Cinta
Pendidikan modern menghadapi beragam tantangan serius. Di antara tantangan yang semakin menjadi keprihatinan berbagai kalangan adalah terjadinya dehumanisasi dan reduksi makna pendidikan sekadar proses transmisi pengetahuan dan pembentukan keterampilan teknis (Tilaar, 2006).
Latif (2020: 13) menyebut bahwa pendidikan moderen telah mengalami penyusutan menjadi sekedar persoalan kejuruan, pengolahan daya intelektual disusutkan, pembudayaan sikap kritis ditumpulkan.
Hal ini berimplikasi pada simplifikasi makna kurikulum sebatas instrumen yang tujuan akhirnya adalah memenuhi kebutuhan ekonomis, industrialis, liberalis dan sangat mengutamakan kompetisi antar peserta didik.
Pendidikan dengan kurikulum yang sejatinya berfungsi sebagai medium untuk pengembangan kepribadian peserta didik secara holistik mengalami pengaburan makna sebatas pemenuhan kebutuhan dunia industri atau tuntutan lapangan kerja.
Mekanisasi dan industrialisasi yang merambah kehidupan manusia moderen akhirnya mengendalikan praktik pendidikan (Tilaar, 2006: 19).
Dimensi-dimensi insani berupa cinta, kasih sayang, kepedulian, dan beragam karakter luhur yang menjadi penciri manusia sebagai makhluk paripurna akhirnya terabaikan dalam praksis kurikulum dan pendidikan.
Dalam situasi demikian, kesadaran mengenai kebutuhan mendesak untuk merumuskan kembali pendekatan kurikulum yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan menjadi keniscayaan (kementerian Agama, 2025).
Manusia sebagai khalifah di muka bumi mempunyai tugas yang jauh lebih besar dibanding sekedar mempertahankan hidup. Misi pendidikan untuk memanusiawikan manusia (humanisasi) tidak kalah penting dibandingkan sekedar untuk membekalinya dengan seperangkat keterampilan untuk bertahan hidup (homonisasi).
Untuk mencapai titik keseimbangan dalam kedua hal tersebut, kurikulum berbasis cinta menjadi hal yang sangat mendesak untuk dikembangkan dan diimplementasikan.
Pentingnya kurikulum berbasis cinta juga terletak pada kemampuannya membongkar relasi kuasa yang sering kali tidak adil dan otoriter (Tilaar, 2019).
Model pedagogi yang hierarkis dan mekanistis, yang menempatkan relasi pendidik dan peserta didik sebatas proses transfer pengetahuan telah menghilangkan ruang bagi tumbuhnya kesadaran kritis dan kreatifitas (Latif: 2020).
Dalam situasi yang demikian, penumbuhan iklim pembelajaran yang membuka ruang interaksi berbasis cinta menjadi kebutuhan yang mendesak. Cinta tidak dimaksudkan sebagai ruang tidak terbatas yang hanya menyisakan keleluasaan tanpa batas atau kemanjaan tidak berrtepi.
Cinta sejatinya adalah kesadaran pedagogis untuk menghormati otonomi belajar siswa dan otoritas kedewasaan bersikap dan bertindak dari pendidik. Ia mengarahkan pada pembelajaran yang dialogis, partisipatif, dan transformatif (Tilaar, 2003).
Tanpa cinta, pembelajaran berisiko menjadi proyek reproduksi kekuasaan, bukan proses emansipasi manusia. Lebih jauh, kurikulum berbasis cinta berperan sebagai alat kritis untuk membentuk kembali orientasi nilai dalam masyarakat yang semakin terdikte oleh konsumsi dan individualisme.
Ketika sistem pendidikan hanya mendidik untuk berkompetisi di pasar kerja, maka ia gagal mendidik untuk hidup bersama dan memahami penderitaan orang lain (Kementerian Agama, 2025).
Cinta dalam kurikulum dimaksudkan sebagai ikhtiar untuk mengembalikan pendidikan pada tujuannya yang paling mendasar: membangun kepekaan moral dan solidaritas sosial.
Dalam masyarakat yang makin terfragmentasi, pendidikan tanpa cinta hanya akan mempercepat disintegrasi sosial dan menormalisasi ketidakpedulian.
Oleh karena itu, cinta bukan hanya penting dalam pendidikan, tapi bersifat mendesak sebagai landasan kurikulum yang ingin menciptakan manusia utuh dan dunia yang lebih adil
Filosofi dan Fondasi Kurikulum Berbasis Cinta
Filsafat telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam sejarah manusia. Filsafat lahir, tumbuh dan berkembang sebagai perangkat manusiawi untuk mempertanyakan dan sekaligus membuka ruang jawaban atas persoalan-persoalan yang mendasar.
Pendidikan sebagai salah satu dimensi keistimewaan manusia sudah barang tentu membutuhkan filsafat. Meskipun dalam realitas aktualnya, filosofi belum mendapat tempat proporsional dalam diskursus pendidikan dan kurikulum di tanah air.
Filosofi yang seharusnya mendasari pengembangan kurikulum belum mendapat perhatian, khususnya dikalangan para pengambil kebijakan. Filosofi lebih sering disebut daripada dipahami, dibahas secara mendalam dan diaplikasikan secara nyata dalam desiminasi dan implementasi kurikulum.
Surakhmad (2009: 31) mengungkap kritik yang sangat keras terhadap mentalitas pengambil kebijakan (birokrat) dan guru yang dengan serampangan membuat demarkasi yang membuatnya berjarak dari filosofi.
Secara filosofis, kurikulum berbasis cinta berlandaskan pada falsafah Pancasila. Pancasila yang secara legal formal dijadikan sebagai fondasi kurikulum pendidikan nasional.
Pendidikan nasional sejatinya bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia yang berdasar pada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Kementerian Agama, 2025: 12).
Pandangan filosofis tersebut masih sangat abstrak dan memerlukan tindak lanjut operasional dalam praktik pendidikan.
Secara lebih teknis, dalam Pedoman Implementasi Kurikulum di Madrasah disebutkan bahwa Kurikulum Berbasis Cinta dibangun atas lima nilai utama yang disebut Panca Cinta, yakni: Cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa; Cinta kepada Diri dan Sesama; Cinta kepada Ilmu Pengetahuan; Cinta kepada Lingkungan; serta Cinta kepada Bangsa dan Negeri.
Tantangan Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta
Diseminasi kurikulum baru tidak sekadar menyebarkan dokumen kebijakan, tetapi merupakan proses transformasi sistemik yang menuntut pemahaman, penerimaan, dan penerapan di tingkat satuan pendidikan (Tilaar, 2003).
Salah satu tantangan utama implementasi kurikulum baru terletak pada resistensi kultural dan pedagogis di kalangan guru. Banyak pendidik yang telah terbiasa dengan kurikulum sebelumnya cenderung menolak perubahan karena merasa tidak cukup dilibatkan dalam perumusan kurikulum baru (al Musanna, 2017).
Problem diseminasi kurikulum yang bersifat top-down seringkali mengabaikan dan memberi porsi yang tidak memadai pada dimensi sosial dan emosional guru di lapangan sebagai subjek aktif pendidikan.
Dalam situasi yang demikian, guru atau pendidik lebih sering diposisikan sebagai obyek yang diposisikan atau ditempatkan sebagai pelaksana instruksi atau kebijakan kurikulum(Surakhmad, 2007).
Tantangan implementasi kurikulum berbasis cinta berikutnya adalah ketimpangan kapasitas dan infrastruktur antardaerah. Ketika distribusi pelatihan guru, perangkat pendukung, dan akses digital tidak seimbang, maka kurikulum baru berpotensi menciptakan jurang ketimpangan implementasi.
Dalam hal ini, diseminasi tidak hanya persoalan teknis penyampaian informasi, tetapi juga menyangkut keadilan struktural dalam akses terhadap sumber daya pendidikan.
Selain itu, tantangan diseminasi kurikulum juga mencakup ambiguitas kebijakan dan kurangnya kejelasan indikator keberhasilan implementasi (Alhamuddin, 2022).
Kurikulum yang dirancang dengan konsep filosofis dan fleksibilitas tinggi kadang diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh pemangku kepentingan. Tanpa panduan operasional yang kontekstual, guru bisa mengalami kebingungan dalam mengaitkan tujuan makro kurikulum dengan praktik mikro di kelas.
Dengan demikian, penting untug ditegaskan dan dipahami bahwa diseminasi kurikulum berbasis cinta bukan hanya soal sosialisasi administratif, tetapi juga memerlukan pendampingan epistemologis agar para pendidik memahami substansi kurikulum sebagai alat pembebasan yang memerdekakan mereka dalam menjalankan amanah profesinya.
Bercermin dari pengalaman sejumlah kebijakan perubahan kurikulum di masa lalu, respon pendidik yang cenderung apatis terhadap kurikulum baru sering muncul karena adanya kesenjangan antara idealisme perumusan kebijakan dan realitas pelaksanaannya di lapangan (Tilaar, 2003).
Guru dan tenaga kependidikan sebagai pelaksana utama merasa bahwa perubahan kurikulum tidak disertai dengan dukungan yang memadai, baik dalam bentuk pelatihan yang substansial, waktu transisi yang cukup, maupun ketersediaan sarana prasarana.
Akibatnya, mereka cenderung melihat kurikulum baru sebagai beban tambahan, bukan sebagai inovasi yang membebaskan atau mempermudah proses belajar. Ketika perubahan hanya terjadi pada tingkat administratif atau dokumen, tanpa menyentuh kebutuhan riil di sekolah, maka wajar jika muncul rasa jenuh dan tidak percaya terhadap kebijakan baru.
Apatisme juga berakar dari pengalaman historis di mana kurikulum sering berubah namun dampak nyatanya terhadap kualitas pendidikan tidak dirasakan secara signifikan.
Guru sudah terlalu sering mengalami pergantian istilah, pendekatan, dan sistem evaluasi, yang pada akhirnya hanya bersifat kosmetik tanpa perubahan mendalam pada struktur pendidikan.
Ketika perubahan kurikulum tidak menyentuh persoalan mendasar seperti rasio guru-murid, beban kerja guru, dan tekanan administratif, maka motivasi untuk menyambut kebaruan menjadi rendah.
Dalam konteks ini, apatisme merupakan bentuk kelelahan struktural akibat sering “dijadikan obyek perubahan”. Rendahnya partisipasi dan pelibatan guru dalam proses perumusan kurikulum menyebabkan para pengembang kurikulum di tingkat institusi merasa berjarak secara emosional.
Kurikulum dianggap sebagai produk elite birokrasi. Kurikulum menjadi sekadar “aturan dari atas” yang harus dijalankan, bukan sesuatu yang tumbuh dari refleksi dan kebutuhan lapangan.
Padahal, perubahan yang sejati hanya bisa terjadi jika aktor pendidikan merasa menjadi bagian dari proses perubahan itu sendiri. Tanpa rasa kepemilikan, kurikulum baru hanya akan diperlakukan sebagai rutinitas administratif, bukan sebagai alat transformasi pendidikan.
Penutup
Kurikulum kontemporer sebagai representasi visi pendidikan didominasi perspektif yang dibangun atas asas rasionalitas teknokratis, efisiensi, dan orientasi pasar.
Dalam konteks tersebut, dimensi afektif, relasional, dan eksistensial manusia kerap terabaikan. Kurikulum berbasis cinta memiliki dasar rasional dari berbagai disiplin ilmu.
Ini bukan pendekatan sentimental atau utopis, melainkan kritik tajam terhadap dehumanisasi dalam pendidikan modern. Dengan cinta sebagai prinsip dasar, kurikulum dapat mengembalikan pendidikan ke hakikatnya: membentuk manusia yang sadar, merdeka, dan mampu mencintai.
*Wakil Rektor I IAIN Takengon
Pustaka Acuan
Al Musanna. 2016. “Reformulasi Keyakinan Guru dalam Implementasi Kurikulum” dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Balitbang Kemendikbud.
Alhamuddin. 2019. Politik Kebijakan Pengembangan Kurikulum di Indonesia Sejak Zaman Kemerdekaan Hingga Reformasi (1945-2013). Jakarta: Kencana.
Gordon, W.R., Taylor, R.T., Oliva, P.F. 2019. Developing Curriculum: Improved Outcomes Through System Approach. Ninth Edition. New York: Pearson.
Jackson P. W. 1992. Conceptions of Curriculum and Curriculum Specialists, dalam Jackson, P.W. [Ed.] The Handbook of Research on Curriculum: A Project of the American Educational Research Association. New York: Macmillan.
Snyder, C.R., Lopez, S.J. 2007. Positive Psychology: The Scientific and Practical Explrorations of Human Strenghts. New York: SAGE.
Kementerian Agama. 2025. Panduan Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta di Madrasah. Jakarta, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.
Latif, Y. 2020. Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif. Jakarta, Gramedia.
Pinar, W.F., et.all. 2004. Understanding Curriculum: An Introduction to Study of Historical and Contemporary Curriculum Discourse. Third Edition. New York: Peter Lang.
Surakhmad, W. 2009. Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi. Jakarta: Kompas.
Tilaar, H.A.R. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.
Tilaar, H.A.R. 2017. Freedom as A Pillar of National Education: An Indonesian Case. Jakarta: Media Indonesia Publishing.
Tilaar, H.A.R. 2003. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogi Transformatif Untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Wahyuddin, D. 2020. Politik Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.