Oleh : Fauzan Azima*
“APA itu sejarah?” tanya guru kepada siswa. “Ziarah ke masa lalu,” jawab seorang siswa, yakin. “Iya, hakikat ziarah adalah mengetahui dan meluruskan sejarah,” kata guru membenarkan jawaban si murid.
Pertanyaan itu dilontarkan karena si guru bermaksud mengajarkan kepada murid-muridnya untuk mengenali sejarah dan berdamai dengan hal itu. Si guru lantas berkata bahwa rasa pahit di masa lalu tidak perlu disesali.
“Getir peristiwa masa lalu ambil hikmahnya dan perbaiki pada hari ini untuk masa yang akan datang,” kata si guru.
Satu hal yang patut digarisbawahi, dan menjadi pelajaran penting dalam sejarah, kata si guru, ada pada bagian bahwa pada akhirnya tidak ada perbedaan antara pahlawan dan pengkhianat. Semua sisi yang sepertinya berlawanan itu bergantung pada sudut pandang.
Mustafa M Tamy, bekas pemimpin kita di Aceh Tengah ini, adalah pahlawan. Jejak kepemimpinannya, yang menjadi warisan paling penting saat ini, adalah kesungguhannya memajukan Gayo.
Tapi pandangan rival-rivalnya tentu berbeda. Mereka pasti melihat dari sudut lain. Dalam kacamata mereka, bisa jadi Pak Tamy terlihat seperti pengkhianat dan sengaja jejak kepemimpinan, semangat, dan pikiran, dihilangkan dengan segala macam cara.
Namun ada masa di mana pahlawan dan pengkhianat tak lagi jadi persoalan. Tidak mustahil para pihak yang sebelumnya berada di seberang harus bersatu membangun “tesis baru” untuk melawan “antitesis baru”.
Tapi apapun cara pandang itu, kita selayaknya mengedepankan kepentingan bersama. Bahwa kepentingan Gayo harus berada di atas kepentingan kita; “hubbul wathon minal iman”.
Sebab itu cermin kita sebagai manusia. Sejatinya dalam hidup, setidaknya kita berada pada level kesadaran ksatria, sebuah level pemikiran yang meletakkan kepentingan negara.
Sifat ksatria tak bisa diwariskan lewat darah. Belum tentu seorang jenderal akan melahirkan seorang jenderal. Seorang belum tentu ksatria meski melekat padanya berbagai atribut jabatan. Ksatria bukan tentang siapa yang hebat, tapi tentang siapa yang mau berlaku hebat.
Seorang ksatria akan selalu diuji, tentu bukan dengan ujian yang dihadapi oleh kaum dengan kesadaran sudra. Godaannya pasti lebih besar, tak sebanding dengan godaan sudra dan waisa.
Lihatlah sejarah, di Aceh Tengah, pernah ada pemimpin yang jatuh karena tersebab istri dan anak.
Tak peduli seberapa besar kemenangan seorang bupati, musuh-musuhnya tidak tinggal diam. Mereka bakal melakukan apa saja untuk menjatuhkan.
Jika tak sanggup melawan langsung, lawan akan mengincar titik lemah lain, bisa lewat istri, lewat ibu, atau anak. Mereka-mereka itu cenderung tak tahan dengan kilau kekuasaan dan dahsyat puji-pujian.
Ada satu kisah tentang seorang bupati dan istri yang diundang menghadiri jamuan makan siang. Mereka disambut seperti raja dan ratu serta diberi hidangan lauk ikan bawal Lut Tawar dengan bumbu yang populer dengan sebutan Awas 18.
Secara bahasa Awas 18 berarti bumbu dengan 18 jenis rempah-rempah. Sedangkan menurut istilah, Awas 18 adalah jumlah bumbu yang didominasi rasa asam pedas (bahasa Gayo; asam jing) yang terdiri dari 18 belas rempah, termasuk sedikit daun ganja dan andaliman; orang Sumatra Utara menyebutnya lada batak. Rasanya sangat nikmat, menggugah selera. Melenakan bupati dan istrinya.
Setelah Awas 18 tersapu bersih, tuan rumah meminta bupati untuk mengganti sekretaris daerah. Bupati tak menolak permintaan itu, bahkan pemberhentian itu dilakukan saat si sekretaris daerah sedang berhaji.
Dari sinilah muncul istilah “lulus keri lulus jarum”. Ini berarti hal yang besarpun lolos, hal yang kecil apalagi. Setelah sekretaris daerah baru dilantik, dia langsung membangun konspirasi. Tujuannya: menggulingkan si bupati dan menjadikan dirinya sebagai bupati.
Berbagai aktivitas sekretaris daerah baru membuat ruang gerak bupati semakin sempit. Aktivitas terbatas. Dan yang paling berbahaya, pamor meredup. Bahkan saat tes kesehatan, pihak rumah sakit, di bawah kendali si sekretaris daerah, merekayasa hasil sehingga si bupati dianggap terlalu tua dan pikun mengikut pemilihan kepala daerah.
“Pelajaran apa yang bisa kalian ambil dari peristiwa tadi?” kata guru bertanya kepada siswanya. “Anak dan istri adalah pintu masuk jatuhnya jabatan bupati,” jawab seorang siswanya.
“Benar…jawaban lainnya?” kata guru. “Pengkhianat datang dari orang dekat dan orang yang pernah ditolong,” kata siswa lain. “Ok. Sepertinya kalian mulai paham. Mulai sekarang, berhati-hatilah pada orang lain. Kenali mereka yang benar-benar tulus dan menyimpan niat busuk. Kalian akan menghadapi hal ini seumur hidup. Ya, begitulah hidup,” kata si guru menutup kelas sejarah hari itu.
(Mendale, Juli 22, 2025)