Mencegah Perkawinan Anak Lewat Pendidikan Moral, Agama, dan Kesadaran Sosial

oleh

Oleh: Mahbub Fauzie, S.Ag., M.Pd & Anda Putra, S.H*

Kami bersyukur dapat turut ambil bagian sebagai narasumber dalam kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) bagi siswa-siswi baru SMA Negeri 1 Takengon pada Kamis, 17 Juli 2025.

Dalam kesempatan tersebut, sesuai yang diamanatkan panitia MPLS, kami menyampaikan materi bertema “Dampak Negatif Perkawinan Anak: Mengenali, Memahami, dan Cara Mencegahnya.”

Sebuah topik yang sangat penting dan perlu terus digaungkan, khususnya di tengah arus pergaulan bebas dan pengaruh negatif media digital yang kian mengkhawatirkan.

Kami berdua berbicara masing-masing di hadapan para siswa baru yang dibagi dalam dua kelompok ruangan. Kelompok A berjumlah 180 siswa dan siswi, serta Kelompok B berjumlah 144 siswa putra dan putri.

Fenomena Perkawinan Anak dan Akar Masalahnya

Perkawinan anak masih menjadi persoalan yang menghantui masyarakat, termasuk di Aceh Tengah. Tidak jarang, kami sebagai penghulu di KUA menemukan permohonan dispensasi nikah untuk pasangan yang masih di bawah usia ideal.

Penyebabnya bervariasi—dari faktor ekonomi, budaya, hingga akibat pergaulan bebas yang berujung pada kehamilan di luar nikah.

Kondisi ini diperparah oleh derasnya arus informasi yang tidak terfilter di media sosial maupun internet. Akses yang begitu mudah terhadap konten pornografi menjadi salah satu pemicu lahirnya perilaku menyimpang pada remaja.

Ditambah kurangnya kontrol orang tua dan minimnya pemahaman agama, anak-anak kita menjadi rentan terhadap jebakan pergaulan bebas yang akhirnya mengalami ‘kecelakaan’ hingga “terpaksa harus menikah di usia dini.”

Dampak Nyata Perkawinan Anak

Perkawinan di usia anak membawa dampak buruk jangka panjang. Kami menekankan kepada para siswa bahwa:

Secara fisik, tubuh remaja belum siap menjalani kehamilan dan persalinan, sehingga berisiko tinggi mengalami komplikasi.

Secara psikologis, anak belum cukup matang mengelola rumah tangga, seringkali berujung pada konflik dan perceraian.

Secara sosial dan ekonomi, perkawinan dini memutus masa depan pendidikan dan mengurung mereka dalam lingkaran kemiskinan.

Pendekatan Moral dan Agama sebagai Kunci Pencegahan

Dalam penyampaian materi, kami tidak hanya mengedepankan sisi hukum dan sosial, tetapi juga menanamkan pesan-pesan moral dan nilai-nilai keagamaan.

Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, dengan tegas melarang segala bentuk kedzaliman terhadap anak, termasuk memaksakan mereka menikah sebelum waktunya.

Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu (secara fisik dan finansial) maka menikahlah. Namun barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa (menahan diri), karena itu adalah perisai baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menekankan pentingnya kesiapan dan pengendalian diri, bukan sekadar mengikuti dorongan nafsu. Ini sejalan dengan pentingnya pendidikan karakter dan bimbingan akhlak sejak usia dini, baik di rumah, sekolah, maupun di lingkungan sosial.

Peran Bersama: Sekolah, Keluarga, dan Lembaga Keagamaan

Upaya mencegah perkawinan anak tidak cukup hanya dengan regulasi. Perlu keterlibatan aktif semua pihak. Sekolah dapat menjadi ruang aman untuk mendidik dan membimbing siswa tentang kesehatan reproduksi dan bahaya pergaulan bebas.

Orang tua perlu membangun komunikasi terbuka dan penuh kasih dengan anak. Sementara KUA, sebagai garda terdepan dalam urusan pernikahan, terus memberikan edukasi dan menolak permohonan perkawinan yang tidak memenuhi syarat.

Kami juga mendorong penguatan pendidikan agama yang menyentuh realita anak muda hari ini—agama yang membumi, membentuk karakter, dan mampu menuntun generasi muda menghadapi tantangan zaman digital.

Sebagai simpulan dalam catatan ini, bahwa upaya mencegah perkawinan anak adalah bagian dari ikhtiar menyelamatkan masa depan bangsa. Ini bukan semata soal usia atau hukum, tetapi soal masa depan, martabat, dan kualitas hidup generasi penerus.

Mari bergandeng tangan—orang tua, guru, tokoh agama, dan lembaga pemerintah—untuk menciptakan lingkungan yang sehat, mendidik, dan penuh kasih. Demi anak-anak kita. Demi masa depan Indonesia. Wallahu a’lam bish shawwab.

*Para Penulis, masing-masing adalah Penghulu dan Kepala KUA Kecamatan Atu Lintang dan Ketol, Aceh Tengah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.