Menjemput Kesadaran, Dari Danau Lut Tawar ke Masa Depan Gayo

oleh

Oleh : Arifan Nusa*

Kebudayaan tidak pernah lahir begitu saja. Ia terbit dari iklim, kebutuhan, dan keadaan hidup yang menuntut manusia untuk bertahan.

Di Gayo, cerita tentang Lembide di Danau Lut Tawar bukan sekadar dongeng masa kecil. Ia adalah sistem nilai. Ia adalah cara nenek moyang kita menjaga air, menjaga ikan, menjaga danau yang memberi kehidupan.

Dulu, dengan cerita itu, orang-orang menjadi berhati-hati. Mereka tidak serakah. Mereka menghormati danau seolah menghormati sesuatu yang hidup.

Dan lihatlah hasilnya: air yang jernih, ikan-ikan besar, dan danau yang berkilau bagai cermin langit. Itu bukan kebetulan. Itu buah dari budaya yang mengajarkan kehormatan dan keseimbangan.

Tetapi zaman tidak pernah diam. Teknologi datang. Mesin-mesin besar menembus sunyi. Cerita-cerita mulai kehilangan gaungnya, bukan karena mereka salah, tetapi karena dunia yang mereka lindungi sudah berubah.

Sayangnya, keberanian untuk maju tidak diiringi dengan kebijaksanaan untuk menjaga. Maka yang terjadi bukanlah kemajuan, melainkan kerusakan.

Sampah menumpuk. Air keruh. Ikan-ikan menghilang. Danau yang dulunya penuh kehidupan kini terluka dalam diam.

Padahal, Danau Laut Tawar bukan hanya harta budaya. Ia adalah nadi ekonomi Aceh Tengah.

Lihat saja — saat musim libur Idul Fitri 2025, lebih dari 24 ribu tiket tercatat hanya di satu lokasi wisata di tepi danau, Bur Telege. Diperkirakan, total pengunjung mencapai 30 hingga 35 ribu orang dalam 8 hari.

Jika rata-rata setiap pengunjung membelanjakan Rp 500 ribu, maka sekitar Rp 15 hingga 17 miliar uang berputar di Kabupaten Aceh Tengah.

Ini artinya, setiap harinya ada potensi pemasukan tambahan Rp 1,8–2 miliar hanya dari sektor pariwisata danau.
Dan itu baru “wajah” Danau Laut Tawar.

Belum lagi “tenaga” di dalamnya. PLTA Krueng Peusangan 1 dan 2, yang menggantungkan hidupnya pada aliran danau ini, menghasilkan listrik sebesar 88 Megawatt—mengalirkan Rp 425 miliar pendapatan setiap tahun.

Baru dari ”wajah danau” dan ”aliran airnya” potensinya setara dengan separuh APBK Kabupaten Aceh Tengah.
Inilah kenyataannya: danau ini bukan hanya soal pemandangan. Ia adalah hidup kita. Ia adalah darah ekonomi kita.

Eropa pernah mengalami hal serupa. Terkungkung oleh dogma lama, mereka berani bertanya, berani membongkar, bukan untuk menghancurkan warisan mereka, tetapi untuk menghidupkannya dalam bentuk baru yang lebih kuat.

Cina pun begitu. Dari negeri ritual kuno, menjadi kekuatan dunia baru, karena mereka berani mengguncang diri mereka sendiri—bertanya, memilih ulang, membangun ulang.

Sekarang, kita di Gayo juga harus bertanya: Apakah kita cukup berani untuk benar-benar mencintai tanah ini?

Apakah kita cukup peduli untuk memperbaharui nilai-nilai, memperbaiki kebiasaan, memperkuat tradisi menjaga hidup dalam wajah yang baru?

Kalau kita sungguh mencintai Danau Laut Tawar, kita harus berani membangun ulang.

Bukan dengan menghancurkan tanpa arah, tetapi dengan memilah. Memilih. Menciptakan nilai-nilai baru yang lebih mampu menjaga hidup.

Kita tidak menghina leluhur kita dengan memperbaharui. Kita justru menghormati semangat mereka: semangat bertahan, semangat menjaga kehidupan.

Kebudayaan bukan berhala yang harus dibekukan. Ia harus menjadi api yang terus menyala bersama zaman.

Api yang menuntun kita untuk berpikir, bertanya, dan mencipta.Danau Laut Tawar kini memanggil kita.

Ia menangis dalam keruh airnya, dalam sunyi ikannya, dalam rintih tubuhnya.
Apakah kita hanya akan bernostalgia, berpuas diri dengan cerita lama?

Atau kita akan menyalakan keberanian baru, membangun budaya baru, yang lahir dari cinta kepada hidup, cinta kepada air ini, cinta kepada Gayo?

Kita harus membangun ulang. Dengan kesadaran. Dengan keberanian. Dengan cinta.

Karena jika kita tetap diam, kita akan kehilangan lebih dari sekadar danau.
Kita akan kehilangan jiwa Gayo itu sendiri.
Mari bangkit. Mari cintai Gayo dengan tindakan nyata.

Mari selamatkan Danau Laut Tawar, agar ia tetap menjadi kehidupan — untuk kita, untuk anak-anak kita, untuk masa depan Gayo yang lebih kuat, lebih cerdas, lebih bercahaya.

*Penulis adalah Mahasiswa Atmajaya Jurusan Hukum semester 4 Asal Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.