Zakat Fitrah, Antara Makanan dan Harganya

oleh
Prof. DR. Al Yasa' Abubakar. (aceh.kemenag.go.id )

Diantara hal yang krusial tentang zakat fitrah adalah mengenai apa yang wajib atau boleh dibayarkan serta berapa jumlah atau takarannya. Hal inilah yang menjadi fokus tulisan ini.

Diantara hadis tentang zakat fitrah yang relevan dengan tujuan tulisan ini, penulis terjemahkan sebagai berikut:

Hadis riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, dan al-Daraquthni dari Ibnu `Abbas, dia berkata, Rasulullah mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perbuatan keji (al-laghw) dan sia-sia (al-rafats) dan untuk makanan bagi orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (`Id) maka ia merupakan zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya sesudah shalat maka ia merupakan sedekah biasa saja (SS 1:470, M 4:377).

Selanjutnya, Hadist (atsar) riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Turmudzi, Ibnu Majah dan al-Nasa’i dari Abu Sa`id al-Khudhri, dia berkata: Kami (para Sahabat) pada masa Rasulullah, mengeluarkan zakat fitrah untuk orang yang sudah dewasa ataupun anak-anak, yang merdeka ataupun budak, sebanyak satu sha` makanan (yaitu), satu sha` aqith (susu kering), satu sha` munsya`ir, atau satu sha` tamar. Kami selalu mengerjakan seperti itu sampai pada satu waktu Mu`awiyah datang Ke Madinah dalam rangka berhaji atau `umrah. Ketika itu beliau berkhutbah (ceramah) di mimbar dan diantara yang dia sampaikan, “menurut pendapatku dua mud samra’ al-Syams (gandum Syam) sama dengan satu sha` tamar.” Lalu orang-orang beramal mengikutinya; Sedang aku tetap beramal seperti semula sepanjang hidupku (SS 1:471, YQ 2:932, M 4:421).

Hadis lain, riwayat Jamaah dari Ibnu Umar, dia berkata: Rasulullah mewajibkan zakat fitrah karena (puasa) Ramadhan satu sha’ tamar, atau satu sha’ gandum, atas orang yang menjadi hamba, orang yang merdeka, yang laki-laki, yang perempuan, yang kecil, dan yang besar dari kalangan umat Islam (YQ 2:932, M 4:376).

Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Nasa’i secara mursal dari al-Hasan, yang menyebutkan: Rasulullah mewajibkan zakat fitrah satu sha` tamar, satu sha` sya`ir atau setengah sha` qamh (YQ 2:935).

Catatan: kelihatannya qamh, hanthah dan samra’ al-Syam adalah jenis gandum unggul pada masa tersebut, yang diimpor dari luar Jazirah Arab. Mungkin juga semua istilah ini merupakan nama yang berbeda-beda untuk satu jenis makanan saja.

Sebuah hadis lain, Rasulullah menyuruh (para Sahabat) mengeluarkan zakat fitrah, lalu membagi-bagikannya pada hari raya Idul Fitri, kemudian beliau berkata: kayakanlah (cukupkanlah keperluan) mereka (orang-orang miskin), sehingga tidak berkeliling meminta-minta pada hari ini. Yusuf al-Qaradhawi (dan buku lainnya tidak) menyebutkan sanad dan rawi hadis ini, mereka hanya merujuk ke kitab Nayl al-Awthar jilid 4, hlm 195 (YQ 2: 958). Menurut al-Mawardi hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi. Beliau mengutip pendapat al-Nawawi yang mengatakan bawa sanad hadis ini dha`if (M 4:395).

Jumhur ulama sepakat bahan yang utama untuk pembayar zakat fitrah adalah makanan yang disebutkan di dalam hadis. Setelah ini jumhur memperluasnya pada makanan lain, yang menjadi makanan pokok di sesuatu daerah (boleh jadi merupakan hasil tumbuhan dan boleh jadi juga berasal dari hewan).

Jadi meurut Jumhur boleh membayar zakat fitrah dengan makanan yang tidak disebutkan di dalam hadis, asalkan dengan hasil tanaman atau produk hewan yang menjadi makanan pokok di daerah tersebut, dengan takaran satu sha` untuk makanan jenis apapun.

Namun Abu Hanifah berbeda dengan Jumhur. Beliau membedakannya. Untuk tamar, sya’ir, aqith dan zabib, yaitu makanan utama yang ada di Arab pada masa Rasulullah haruslah satu sha`, sama seperti pendapat Jumhur ulama. Sedang untuk makanan lain yang di impor ke Madinah, yang kualitasnya lebih baik, yaitu samra’ Syam, qamh dan hanthah cukup setengah sha` saja (dua mud). Pendapat ini telah berkembang sejak masa Sahabat, tetapi bukan pendapat mayoritas. Jadi Beliau mengikuti pendapat Sahabat yang kurang populer (merupakan minoritas).

Lebih dari itu terjadi perbedaan pendapat mengenai besaran takaran satu sha’ diantara ulama.

Takaran yang digunakan Abu Hanifah lebih besar dari yang digunakan jumhur, yaitu satu setengah (1,5) kali takaran Jumhur (YQ 2:943). Satu sha` gandum menurut Yusuf al-Qaradhawi adalah 2176 gram dibulatkan menjadi 2,2 Kg ((YQ 2942).

Mengenai penunaiannya dengan uang sebagai pengganti dari makanan, tidak disepakati oleh para ulama. Jumhur ulama cenderung mengharuskannya dengan makanan, yaitu makanan pokok dari orang yang berzakat atau makanan pokok yang umum digunakan di daerah tersebut.

Namun Abu Hanifah dan al-Tsawri, yang sebelumnya merupakan pendapat al-Hasan al-Bashri dan Umar bin Abd al-`Aziz, membolehkannya dengan uang, seharga (qimah) dari makanan tersebut (dalam surat Umar bin Abdul Aziz sebesar setengah dirham). Yusuf al-Qaradhawi juga mengutip riwayat yang menyatakan bahwa Abu Ishaq dan `Atha’ juga mengizinkannya dengan uang (YQ 2:948, M 4:425).

Yusuf al-Qaradhawi ketika mendiskusikan masalah ini mengutip beberapa riwayat dan lantas menyimpulkannya sebagai berikut:

Dalam salah sebuah hadis Rasul ada pernyataan, “Kayakanlah mereka ….” Dari hadis ini dipahami bahwa megayakan seseorang mungkin dengan uang sebagaimana mungkin dengan makanan. Bahkan membayarkan dengan uang akan lebih mudah, karena kalau diberi makanan dalam jumlah yang relatif banyak, menyebabkan mereka harus menjualnya terlebih dahulu, kalau akan digunakan untuk keperluan lain; sedang kalau diberi uang mereka dapat menggunakannya secara langsung.

Praktek sebagian Sahabat; bahwa zakat fitrah apabila dibayar dengan jenis makanan yang berbeda dari jenis makanan yang disebutkan di dalam hadis, boleh dinilai dengan harganya. Maksudnya dibayar seharga satu sha` tamar atau yang lainnya (bukan satu sha`), sehingga ada yang jumlahnya hanya setengah takaran makanan yang ada dalam hadis.

Membayar dengan uang akan lebih maslahat dan lebih lapang untuk kaum muslimin pada masa sekarang, terutama di daerah industri. Di sana, hampir semua transaksi dilakukan dengan uang (gaji mereka dibayar dengan uang) dan juga lebih maslahat untuk orang miskin yang akan menerimanya.

Yusuf al-Qaradhawi menyimpulkan, (i) kuat dugaan bahwa Rasulullah menyuruh umat menunaikan zakat fitrah dengan makanan adalah karena uang boleh dikatakan masih sangat langka pada waktu itu, dan (ii) harga makanan boleh dikatakan cenderung akan selalu berubah dari waktu ke waktu, berbeda dengan makanan yang akan selalu akan mengenyangkan walaupun harganya berubah.

Dari uraian di atas ada beberapa hal yang dapat kita garis bawahi, sepanjang bacaan penulis, tidak ada ulama yang memahami hadis ini murni ta`abbudiah sehingga harus membayar zakat hanya dengan salah satu benda (makanan) yang disebutkan di dalam hadis, walaupun tidak menjadi makanan pokok di daerah mereka.

Berdasarkan hadis-hadis yang ada dan praktek yang terjadi pada masa Sahabat, penulis cenderung berpendapat bahwa zakat fitrah bukan masalah ta`abbudiah murni. Zakat fitrah mengandung unsur ta`aqquliah, sehingga bisa dicarikan `illatnya. Dengan kata lain zakat fitrah bukan ibadah mahdhah, karena itu mungkin dicarikan `illatnya.

Para ulama telah menggunakan makanan pokok sebagai `illat pembayaran zakat fitrah, karena itu mereka mengizinkan pembayarannya dengan jenis makanan yang tidak disebutkan di dalam hadis, misalnya dengan beras.

Dengan demikian, kalau pada masa sekarang kita memperbincangkan pembayaran zakat fitrah dengan uang, maka yang kita perbincangkan sebetulnya hanyalah menukar `illat dari pembayaran zakat, bukan menukar metode pemahamannya (misalnya dari bukan ta`liliah menjadi ta`liliah).

Diantara dalil yang dapat memberi petunjuk mengenai kebolehan menukar `illat, dalam hal ini menjadikan harga sebagai `illat, adalah hadis yang di atas sudah dikutip “kayakanlah mereka pada hari itu”. Dalam hadis ini ada petunjuk bahwa zakat fitrah bukan hanya untuk dimakan, tetapi boleh digunakan untuk yang lainnya.

Bahkan kalau zakat fitrah itu hanya boleh untuk dimakan dan mereka sangat miskin, maka untuk mengolahnya/ memasaknya pun mereka harus menukar/menjual sebagian beras tersebut agar mereka mempunyai uang, misalnya untuk membeli kayu api atau gas atau minyak tanah, atau untuk membeli lauk pauk dan bumbu dan seterusnya.

Kalau mereka perlu membeli yang lain dalam rangka mengayakan mereka, seperti pakaian, maka jelas sekali mereka harus menjual sebagian dari beras yang mereka terima terlebih dahulu.

Kalau dia menerima beras lalu menjualnya maka biasanya beras tersebut dihargai dengan rendah, karena beras berkualitas baik tidak dipisah dari yang berkualitas rendah. Semuanya akan dianggap berkualitas rendah. Sedang kalau dibayar dengan uang, maka yang berzakat dengan beras berkualitas bagus akan membayar dengan uang yang lebih banyak.

Di dalam kenyataan orang miskin akan lebih untung kalau diberi uang dibandingkan dengan menerima beras.

Pertimbangan maslahat juga cenderung mengharuskan kita mengizinkan pembayaran zakat fitrah dengan uang senilai harga makanan yang wajib dikeluarkan, karena hal inilah yang lebih lapang untuk umat. Lapang untuk orang yang akan membayarnya, lapang untuk panitia (amil) yang akan mengelolanya dan lapang juga untuk fakir dan miskin yang akan menerimanya.

Barangkali yang harus kita pertimbangkan dalam pembayarn zakat dengan uang adalah kemudahan memperoleh beras untuk dibeli oleh orang miskin yang menrima uang tersebut. Kalau sesudah menerima uang mereka tidak dapat membeli beras, maka pembayaran dengan uang tidak patut dilakukan, karena yang pokok pada zakat fitrah adalah benda (hasil tumbuhan atau hewan) yang dapat dijadikan makanan pokok, bukan uang. Tetapi hal ini mungkin tidak perlu terlalu dipertimbangkan apalagi dirisaukan pada masa sekarang, karena pemerintah di Indonesia menjamin ketersediaan beras sedemikian rupa, bahkan dengan harga yang terjangkau.

Sampai disini penulis merasa telah dapat menarik kesimpulan bahwa membayar zakat fitrah dengan uang seharga makanan pokok relatif sama kuatnya dengan membayar zakat fitrah dengan makanan pokok yang tidak disebutkan di dalam hadis.

Membayar dengan makanan pokok yang tidak disebutkan di dalam hadis adalah hasil ijtihad dengan cara mempertimbangkan `illat yang ada dalam nash, bukan nash itu sendiri. Menetapkan zakat fitrah boleh dibayar dengan uang adalah hasil ijtihad yang metodenya sama dengan penetapan para ulama masa lalu, bahwa zakat fitrah boleh dibayar dengan makanan pokok yang tidak disebutkan di dalam hadis.

Wallahu a`lam bi al-shawab wa ilayh al-marji` wa al-ma`ab.

Kepada Allah penulis berserah diri, kepada Nya penulis mempersembahkan bakti, Kepada Nya dimohon hidayah penerang hati dan pencerah nurani. Wassalamu `alaikum warahmatullah.

Daftar Bacaan

Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, Dar al-Fikr, Beirut, 1994.

Al-Nawawi, Al-Majmu` Syarh al-Muhadzdzab, Jeddah;

Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Fath li al-A`lam al-`Arabi, Kairo, cet. 2, 1999.

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh al-Zakat, Mu’assasah al-Risalah, Beirut, cet 4, 1980.

Penulis adalah guru besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh juga mantan Kadis Syari’at Islam Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.