Oleh: Mahbub Fauzie, S.Ag*
Berkeluarga dalam pandangan agama (Islam) adalah salah satu sarana menjaga martabat dan kehormatan manusia, baik di hadapan Tuhan Rabbul Izzati Allah Subhanahu wata’ala maupun di hadapan makhluk, termasuk di hadapan sesama manusia. Dengan berkeluarga yang diawali melalui pintu sacral pernikahan, sepasang suami dan isteri serta anak-anak yang dilahirkan akan terjaga martabat dan kehormatannya.
Berkeluarga yang diawali dengan melalui prosesi akad nikah yang sah secara agama dan legal secara aturan negara juga merupakan bentuk pertanggungjawaban sebagai hamba Allah sekaligus sebagai khalifah fil ardhi yang melekat pada diri manusia untuk memakmurkan bumi ini. Dan sekali lagi, dalam pandangan agama bahwa nikah itu adalah ibadah. Jika pandangan ini kita pahami, maka kita akan menyadari bahwa keluarga yang diwujudkan dari niat ibadah niscaya suasana Sakinah Mawaddah Warahmah akan lebih mudah diwujudkan oleh siapapun pasangan suami istri itu.
Dalam kaitan nikah sebagai ibadah dalam rangka menuju keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah, penulis mengajak kita pada ingatan literasi serta bincang-bincang keseharian kita tentang upaya menghadirkan Nuansa Kemasjidan dalam Keluarga Muslim. Suatu model keluarga yang barangkali tepat untuk dijadikan model keluarga di era mileneal ini.
Menurut Reza M. Syarief, dalam bukunya Life Excellence, Menuju Hidup Lebih Baik, bahwa keluarga bergaya Masjid merupakan sebuah gambaran keluarga yang penuh dengan ciri-ciri: ketulusan, kebersamaan, kesetiaan, dan kedamaian. (Reza M. Syarief, 2005:25).
Secara harfiah masjid artinya tempat sujud, tempat umat Islam untuk beribadah mendirikan shalat lima waktu, terutama dalam berjamaah. Maka, makna keluarga model masjid adalah adanya nuansa transendental dan sekaligus mengandung nuansa yang menjunjung tinggi nilai kefitrahan manusia sebagai makhluk sosial.
Ibadah ritual dalam masjid, seperti shalat, dzikir, i’tikaf dan berdoa merupakan akifitas habluminallah, dalam rangka menjalin kedekatan hamba dengan Maha Pencipta, Allah Swt atau Taqqarub ilallah. Disamping itu, di dalam aktifitas berjamaah dan lain sebagainya; masjid juga bisa menjadi sarana efektif dalam upaya menjalin hubungan antar sesama manusia atau habluminannas.
Nuansa-nuansa ke-Masjid-an yang penuh dengan ketulusan, kebersamaan, kesetiaan dan kedamaian dapat disingkap dan ditelusuri melalui: Pertama, Masjid adalah tempat shalat. Shalat tidak akan sah kalau tidak didirikan dan diawali dengan ber-wudhu. Tujuan wudhu adalah untuk membersihkan anggota badan dan juga mensucikan hati, karenanya didalam ber-wudhu ada niat. Di dalam niat itulah ada ketulusan jiwa. Rumah tangga model masjid adalah keluarga yang penuh dengan ketulusan jiwa.
Kedua, dalam ritual ibadah shalat berjamaah di masjid ada imam dan ada makmum. Alangkah indahnya sebuah rumah tangga, jika imamnya adalah suami, makmumnya adalah istri dan anak-anaknya. Suami, sebagai imam ber-takbirratul Ikram: Allahu Akbar! Istri dan anak-anakpun selaku makmum juga ber-takbirratul Ikram; suami bergerak ruku, istri dan anak-anak pun mengikuti. Dan selanjutnya. Ringkasnya di dalam berjamaah ada kebersamaan.
Ketiga, dalam aktifitas ibadah shalat, ada aturan yang disebut dengan syarat dan rukun. Itu harus dipenuhi, harus tertib. Demikian juga dalam shalat ber-jamaah. Ada aturan syar’i. Makmum tidak boleh mendahului imam. Imam juga harus menyadari kedudukan dan tanggung jawabnya. Sebagai makmum harus loyal dan setia pada imam. Demikian juga dalam keluarga sakinah harus ada loyalitas. Loyalitas juga bermakna kesetiaan mutlak dari seorang istri kepada suami. Kecuali jika telah melakukan penyimpangan. Dengan demikian dalam keluarga tidak ada pengkhianatan, apalagi perselingkuhan.
Keempat, shalat diakhiri dengan salam. Makna salam adalah keselamatan, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian. Di penghujung akhir shalat, kita salam ke kanan dan ke kiri. Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabara kaatuhu. Orang yang shalat adalah orang senantiasa menjadi pelopor kedamaian. Demikian juga suami dan istri yang benar-benar mendirikan shalat, adalah orang-orang yang melestarikan kedamaian dan perdamaian dalam kehidupan rumah tangganya.
Lebih luas, dari sisi sosial kemasyarakatan orang yang shalat adalah orang-orang yang dalam aktifitas kesehariannya selalu menjadi agent social of salam. Agen sosial pencipta perdamaian dalam masyarakatnya. Para penegak dan pelestari perdamaian.
Sekiranya empat ilustrasi dari nuansa ke-Masjid-an di atas dapat teraktualisasikan dalam sebuah rumah tangga muslim, sungguh alangkah indah dan ideal. Sebuah asa yang benar-benar menjadi sesuatu yang nyata. Bukan tidak mungkin jika suasana model masjid ini menjadi impian semua keluarga muslim. Dan memang tidak salah jika hal ini menjadi pilihan untuk diimplemtasikan.
Sisi lain yang juga bisa disingkap dari keluarga model masjid adalah, bahwa masjid merupakan baitullah (rumah Allah). Dalam ibadah shalat diawali dengan takbirratul ikram. Allahu Akbar! Allah Maha Besar. Hanya Allah yang besar, manusia selaku hamba-Nya adalah kecil. Artinya, orang yang shalat adalah orang yang seharusnya menyadari bahwa hakekatnya adalah hamba-hamba Allah yang kecil, yang dhaif, dan yang tidak pantas untuk sombong.
Suami-istri serta anggota keluarga yang shalat adalah orang-orang yang tidak menjadikan kesombongan sebaga panglima dalam arena rumah tangganya. Ke-takabur-an sebagai tahta dalam singgahsana keluarganya. Suami-istri yang shalat adalah orang-orang yang ‘tahu-diri’ hakekat dirinya.
Dalam shalat terdapat banyak doa-doa harapan, gerak-gerak dinamis. Dengan diiringi dengan bacaan takbir, dalam ritual shalat ada gerakan ruku, i’tidal, dan sujud. Di sana ada nuansa ke-khidmat-an dan kedisiplinan. Orang-orang yang shalat adalah orang yang pandai untuk saling memahami dan menyadari akan eksistensi dirinya. Inilah, sekali lagi gambaran yang terpotret dari suasana keluarga model masjid.
Di penghujung tulisan singkat ini bisa diambil ikhtisar yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an bahwa keluarga model masjid, setidak-tidaknya adalah: keluarga yang individu-individunya pandai bersyukur atas segala nikmat Allah Swt (QS. Ibrahim[14], Ayat 7); Keluarga yang setiap anggotanya selalu mengisi kesempatan hidupnya untuk senantiasa beriman, beramal shaleh, serta saling ingat-mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran (Al-Asr[103], ayat 1-3).
Keluarga model masjid adalah keluarga yang anggotanya selalu dapat menjaga dan memelihara dari siksa api neraka (At-Tahrim[66], ayat 6). Keluarga yang dengan shalatnya senantiasa bisa mencegah perbuatan keji dan munkar (QS. Al-Ankaabut[29], ayat 45).
Yang menarik, adalah adanya harapan mulia dalam keluarga ber-nuansa masjid, yakni agar personal-personalnya di dalam kehidupannya bisa menjadi ‘pemimpin’ bagi orang-orang yang bertaqwa. Tidak hanya sekadar menjadi orang bertaqwa. Tapi lebih dari itu, menjadi pimpinan atau imamnya! Subhanallah. Maha suci Allah.
Setidaknya ini terlukis dari untaian doa yang termaktub dalam Al-Qur’an yang artinya: “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Al-Furqan[25], ayat 74).
Insya Allah sekiranya nuansa-nuansa ke-masjid-an menjadi model setiap keluarga muslim di sekitar kita, maka bisa dibayangkan bagaimana suasana idealnya kondisi masyarakat kita. Masyakat Muslim pada khususnya. Pertanyaannya, bisakah hal ini terwujud? Wallahu a’lam.
*Penghulu Muda / Kepala KUA Kec. Pegasing Kab. Aceh Tengah